ForSains

Jurnalisme Berkualitas Vs Platform Digital

Jurnalisme berkualitas, dengan prinsip etika dan profesionalisme, sedang menghadapi tantangan berat. Teknologi informasi digital, yang membantu memudahkan penyebarannya, justru bisa menjadi faktor yang membuatnya tamat.

Banyak media cetak berkualitas berhenti beroperasi, karena tidak lagi mampu bertahan secara ekonomi. Langganan berbayar dan perolehan iklan, sumber pendapatan yang menghidupi industri jurnalisme, kini berpaling. Konsumen ogah membayar informasi, produsen enggan beriklan.

Jurnalisme sebagai industri sedang tergilas platform digital. Agar bisa bertahan meraih pembaca dan pengiklan, banyak media harus mendompleng platform digital, seperti Google atau Facebook. Namun justru karena itu eksistensinya terancam, platform digital yang mendapat untung. alih-alih media online yang memproduksi konten.

Sebagian besar media online hidup bergantung pada asupan “infus” pendapatan iklan dari Google atau Facebook. Asupan yang jelas tidak memadai untuk bisa menopang bisnis media berkualitas agar tetap hidup sehat.

Situasi mengenaskan, relasi “parasitisme” antara jurnalisme vis a vis platform digital, ini sedang dipersoalkan di sejumlah negara, termasuk Indonesia, di ranah hukum. Australia dan Canada telah mensahkan aturan untuk meningkatkan posisi tawar media berkualitas. Indonesia sedang memproses rancangan Peraturan Presiden tentang “Tanggung Jawab Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas” (Perpres PDMJB),

Rancangan Perpres PDMJB, yang diusulkan komunitas pers Indonesia, adalah upaya paksa agar platform digital ikut  “bertanggung jawab dan mendukung” jurnalisme berkualitas. Namun, alih-alih fokus pada posisi tawar untuk bagi hasil ekonomi, seperti model Australia dan Canada, Perpres ini juga mengatur agar platform digital  juga ikut bertanggungjawab menyebarkan jurnalisme berkualitas. 

Jika disahkan, dan serius diterapkan, Perpres ini akan kuat bernuansa otoriter, selain kemungkinan tidak akan efektif. Google mengancam akan “hengkang” dari Indonesia ketimbang harus mengikuti aturan aneh ini. Selain itu, secara teknis, ketentuan terkait “mendukung jurnalisme berkualitas” juga sulit diterapkan. Karena kualitas jurnalisme tidak berkorelasi langsung dengan algoritma platform teknologi penyebarannya. 

Dalam konteks itu, perlu diperjelas duduk perkara esensi yang ingin diatur dalam Perpres PDMJB. Benarkah aturan ini masalah kualitas karya jurnalistik atau soal tuntutan bagi hasil ekonomi? Secara prinsip, karya jurnalisme berkualitas tetap berkualitas apapun medium penyebarannya,. Dan juga sebaliknya, jurnalisme buruk akan tetap buruk apapun platformnya.

Dibalik nama panjang Perpres PDMJB, sebenarnya poin pentingnya adalah: permintaan agar pemilik platform bersedia membayar lebih besar. Agar perusahaan media pemilik karya jurnalistik bisa cukup mendapatkan penghasilan untuk melanjutkan aktivitas jurnalismenya. Menyangkut kualitas jurnalisme, tidak semestinya platform digital dituntut untuk ikut bertanggung jawab atau mendukung.

Perpres PDMJB perlu fokus pada urusan bagi hasil pendapatan ekonomi yang diperoleh dari iklan. Tidak perlu berpretensi mengatur ihwal  “jurnalisme berkualitas”, yang sepenuhnya adalah wilayah  otonom ruang redaksi (newsroom) media.

Dan sudah pasti tidak perlu menginisiasi  pendirian lembaga “pelaksana” (anak Dewan Pers?) untuk mengawasi dan menentukan konten apa yang muncul di media online. Lembaga “pelaksana” yang mengatur dan mengawasi konten informasi hanya akan menjadi semacam lembaga sensor. Mengingatkan adanya “Big Brother” ala novel distopian 1984 George Orwell.

Meskipun niatannya cukup baik dan valid, untuk memupuk relasi mutualisme platform digital dengan usaha media online. Perpres PDMJB, sebagaimana rumusan draft yang beredar, berpotensi menjadi pintu masuk upaya mengontrol informasi online.

Google sepuluh tahun terakhir memang sukses menjadi platform yang bukan hanya sukses menggaet iklan, namun juga mendistorsi gaya penulisan berita media online. Melalui algoritma “indeks berita,”  Google ikut membentuk trend jurnalisme online. Redaksi media online  mengacu pada Google Trend agar konten informasinya terindeks di halaman pertama mesin pencarian Google, untuk meraih lebih banyak pembaca.

Hegemoni Google, dan sejumlah platform media sosial, seperti Facebook, memang perlu diregulasi di Indonesia. Namun cukup mengatur aspek monopoli pendapatan ekonominya, bukan konten informasinya,  Upaya itu berhasil ditetapkan di Australia dengan disahkannya  News Media Bargaining Act. UU ini fokus rnedukung posisi tawar media online, dengan mengatur ketentuan bagi hasil pendapatan ekonomi, antara platform digital (Google dan Facebook) dengan perusahaan media.

Tidak ada salahnya Indonesia mengadopsi mekanisme aturan ala Australia, yang terbukti memuaskan kedua pihak. Perusahaan media berkualitas mendapat dukungan finansial yang memadai, dan platform digital dapat memanfaatkan konten jurnalisme berkualitas dengan leluasa.

Soal tanggung jawab dan dukungan untuk mengupayakan jurnalisme berkualitas, itu adalah tugas komunitas jurnalis Indonesia, organisasi, asosiasi jurnalis, dan perusahaan media. Jangan pula diserahkan kepada algoritma mesin cerdas platform digital.

Lukas Luwarso

Add comment

Ukuran Huruf