Jika Anda diminta menyebut orang paling cerdas yang pernah hidup, Anda mungkin akan menyebutkan Albert Einstein, Leonardo da Vinci, atau Stephen Hawking. Anda tidak akan mengenal William James Sidis, yang diperkirakan memiliki IQ antara 250 hingga 300.
Sidis adalah jenius matematika, yang digambarkan oleh Washington Post sebagai ‘anak ajaib’. Ia membaca New York Times pada usia 18 bulan, menulis puisi bahasa Prancis pada usia 5 tahun, dan menguasai 8 bahasa pada usia 6.
Pada usia 9, ia lulus ujian masuk Universitas Harvard. Pada usia 11, ia memberi kuliah di Klub Matematika Harvard. Ia lulus dengan predikat summa cum laude 5 tahun kemudian.
Namun, William tidak pernah meraih sukes dengan kecerdasan luar biasanya. Ia meninggal dunia dalam keadaan miskin dan kesepian pada usia 46 tahun. Apa yang terjadi padanya, dan mengapa ia tidak memanfaatkan IQ-nya yang sangat tinggi?
Pengaruh Orangtua
William James Sidis (dibaca Si-dis) lahir pada 1898 di Manhattan, New York. Orangtuanya, Boris dan Sarah, adalah imigran Yahudi yang melarikan diri dari pogrom di Ukraina pada 1880-an.
Kedua orangtua William sama-sama cerdas dan ambisius. Ayahnya meraih gelar Sarjana dan Magister dari Harvard hanya dalam tiga tahun. Ia kemudian menjadi psikiater yang mengkhususkan diri dalam psikologi abnormal.
Ibu William juga sangat mengesankan. Ia salah satu wanita pertama yang masuk sekolah kedokteran di Boston University dan lulus sebagai seorang dokter.
Untuk memahami William, kita harus memeriksa niat orangtuanya. Mereka imigran Rusia miskin, tapi dalam waktu 10 tahun, Boris meraih gelar B.A, M.A, dan Ph.D. dalam psikologi. Sarah memiliki gelar M.D dalam bidang kedokteran.
Orangtua William ingin membuktikan bahwa jika orang tua cukup tangkas dan menggunakan metode yang tepat, anak-anak dapat mengembangkan potensi mereka. William menjadi semacam kelinci percobaan bagi mereka.
Alih-alih membesarkannya dengan kasih sayang, perlindungan, dan kehangatan, mereka fokus pada sisi intelektual dan publisitasnya. Ketika William berusia 5 bulan, orangtuanya memutuskan bahwa ia harus diperlakukan seperti orang dewasa.
Ia duduk di meja makan ikut serta dalam segala macam pembicaraan orang dewasa, belajar menggunakan alat makan sendiri, dsb. Orangtuanya selalu ada di sekitarnya untuk menjawab pertanyaannya dan mendorongnya dalam belajar. Mereka sebenarnya tidak perlu melakukannya. William menemukan cara-caranya sendiri untuk menghibur diri.
Anak Ajaib Berusia 18 Bulan
Ia memiliki IQ antara 250 hingga 300. Sebagai gambaran betapa cerdasnya William, rata-rata IQ manusia adalah 90 hingga 109. Jika IQ Anda di atas 140 berarti Anda seorang jenius.
Para ahli mengestimasi IQ Einstein – 160, Da Vinci – 180, Isaac Newton – 190, IQ Stephen Hawking 160. Jadi, William James Sidis benar-benar individu yang luar biasa.
Selain membaca New York Times pada umur 18 bulan, pada usia 3 tahun ia mengetik surat ke Macy’s untuk memesan mainan buat dirinya sendiri. Saat ia berusia 5 tahun, ayahnya memberinya kalender. Tak lama kemudian, ia bisa menghitung tanggal berapa jatuh di hari apa dalam sepuluh ribu tahun terakhir.
Pada usia 6 tahun, ia belajar sendiri bahasa Latin, Ibrani, Yunani, Rusia, Turki, Armenia, Prancis, dan Jerman. Ia mampu membaca Plato dalam bahasa Yunani asli pada usia 5 tahun. Ia menulis puisi bahasa Prancis dan menulis sebuah novel serta konstitusi untuk sebuah negara utopia.
Namun, ia semakin terisolasi dalam keluarganya. William hidup di dalam dunianya sendiri. Kebutuhan intelektualnya terpenuhi, kebutuhan emosionalnya tidak dipertimbangkan.
William juga menghadapi gangguan pers. Ia sering muncul di sampul majalah-majalah terkenal. Ia tumbuh dewasa di bawah sorotan media. Ketika ia benar-benar masuk sekolah, itu menjadi kehebohan media. Semua orang ingin tahu tentang bocah jenius ini.
Ia menderita. Ia tidak menginginkan perhatian berlebihan tersebut. Ia menyukai aturan dan kerutinan. Ia tidak bisa mengatasi perubahan dari kegiatan rutinnya. Di sekolah, ia tidak memiliki konsep interaksi sosial atau etiket. Jika ia menyukai suatu pelajaran, ia tidak mampu mengendalikan antusiasmenya. Namun jika ia tidak menyukainya, ia akan merajuk dan menutup telinganya.
William menyelesaikan tujuh tahun pelajaran sekolah dalam waktu 6 bulan. Namun, ia tidak bisa menjalin pertemanan. Ia semakin menjadi anak yang penyendiri.
Antara usia 6 dan 8 tahun, ia menulis beberapa buku, termasuk studi astronomi dan anatomi. Ia juga menulis satu buku tentang tata bahasa untuk Vendergood, bahasa yang ia ciptakan sendiri.
Pada usia 8, ia menciptakan tabel logaritma baru yang menggunakan basis bilangan 12, bukan 10.
Mahasiswa Termuda Harvard
Meskipun William lulus ujian masuk ke Harvard pada usia 9, universitas tersebut tidak mengizinkannya untuk menghadiri kuliah karena usianya. Namun, setelah lobi intensif dari Boris, ia diterima pada usia muda ini dan diakui sebagai ‘mahasiswa khusus’. Namun, ia baru diizinkan menghadiri kuliah saat berusia 11.
Tapi ia tidak bisa belajar dengan tenang di Harvard, sebab ayahnya terus mencari perhatian pers dan mengawasi apa yang mereka lakukan. Ayahnya sibuk mengatur pemberitaan media tentang William; memburu sensasi publisitas.
Pada usia 11, William menyampaikan kuliah tentang ‘Benda-Benda Empat Dimensi’ di Klub Matematika, Januari 1910. Kuliah ini dihadiri sekitar 100 profesor matematika terkemuka dan mahasiswa tingkat lanjut, yang memadati aula di Cambridge, Massachusetts.
Ia, sebagai anak berumur 11, tampil dengan malu-malu, mengenakan celana panjang beludru, berdiri di atas podium, dan dengan canggung menyampaikan pidatonya. Tapi kemudian ia semakin bersemangat dan kepercayaan dirinya meningkat.
Materi yang ia sampaikan tidak bisa dimengerti oleh para wartawan yang ikut hadir, bahkan tidak dipahami oleh sebagian besar profesor matematika yang diundang. Namun kemudian mereka berhasil juga memahaminya, dan menyatakan bahwa William akan menjadi kontributor besar di bidang matematika. Pers kembali memuat wajahnya di halaman depan, dan para reporter meramalkan masa depan cerah bagi bocah berbakat ini.
William lulus setelah 5 tahun kuliah. Namun, hari-harinya di Harvard tidak menyenangkan. Perilaku eksentriknya membuatnya menjadi target perundungan.
Amy Wallace, seorang biografer Sidis, mengatakan:
“Di Harvard, dia dijadikan bahan tertawaan. Dia mengakui bahwa dia belum pernah mencium seorang gadis. Dia diolok-olok dan dikejar, dan itu sangat memalukan. Dia ingin menjauh dari dunia akademik dan menjadi pekerja biasa.”
Pers mengantri untuk mendapatkan wawancara dengan anak jenius ini. Dalam salah satu interviu, William berkata: “Saya ingin menjalani hidup yang sempurna. Satu-satunya cara untuk itu adalah dengan hidup dalam kesendirian. Saya selalu membenci kerumunan.”
William ingin menjalani kehidupan pribadi, namun ia kemudian menerima pekerjaan mengajar matematika di Rice Institute di Houston, Texas. Masalahnya, dia jauh lebih muda daripada para mahasiswanya, dan mereka tidak serius menerima kuliahnya.
Setelah itu, William menghindari kehidupan publik, berpindah-pindah dari satu pekerjaan sepele ke yang lain. Ia berhasil sembunyi dari pandangan publik. Namun, begitu ia dikenali, ia akan berhenti dan mencari pekerjaan di tempat lain.
Ia sering menerima pekerjaan di bidang akuntansi dasar. Namun, ia akan mengeluh jika ada orang yang mengetahui identitasnya.
“Melihat rumus matematika saja sudah membuat saya merasa sakit secara fisik,” katanya. “Saya hanya ingin mengoperasikan mesin penjumlahan, tapi mereka selalu mengganggu saya.”
William mengabaikan bakat matematikanya dan menjauh dari kehidupan publik. Dia menyendiri, lebih memilih kesendirian. Pada usia 20, ia telah menjadi seorang penyendiri.
William tinggal di sebuah kamar kos yang buruk di Boston, ketika ia berumur 39. Ia bekerja sebagai operator mesin penjumlahan, dan mengurus segala urusan kesehariannya sendirian. Di luar jam kerja, ia menghabiskan waktu dengan menulis novel di bawah nama samaran. Ia juga mengembangkan hobi baru: mengumpulkan tiket transfer kereta.
Gugatan Privasi
Akhirnya, pers menemukannya. Pada 1937, New York Post mengirim reporter wanita yang menyamar untuk menjadi teman William, si jenius yang menjauh dari publik. Tetapi artikel hasil percakapan-percakapan mereka tersebut dirasa William merugikannya.
Artikel itu menggambarkan dirinya sebagai seorang yang gagal dan tidak mampu memenuhi janji-janji di masa kecilnya.
William marah dan memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya, kembali ke sorotan publik. Ia menggugat New York Post atas pencemaran nama baik — ini dianggap sebagai gugatan privasi pertama dalam sejarah. Ia kalah di pengadilan. Lalu kembali tenggelam dalam ketidakberartian.
Pada 1944, ia ditemukan meninggal dunia oleh pemilik kamar kosnya. Usianya 46 tahun. Penyebab kematian: pendarahan otak. Jenius matematika itu wafat dalam kesendirian dan kemiskinan akut.
Kasus William James Sidis mencuatkan beberapa isu, hingga hari ini. Apakah anak-anak harus mengalami tekanan intens di usia yang begitu muda? Apakah figur publik tidak punya hak terhadap kehidupan pribadi?
Sumber
William James Sidis: the Tragic Story of the Smartest Person Ever Lived
Add comment