“Sila pikirkan tentang kemarin, dari pagi hingga ujung hari. Pikirkan di mana anda berada, apa yang anda lakukan, siapa bersama anda, dan bagaimana perasaan anda.”
Itu pertanyaan yang diajukan sejak awal abad ke-21 oleh perusahaan analitik Gallup kepada jutaan orang dari 165 negara.
Selanjutnya, Gallup menanyakan emosi yang “banyak” dirasakan sepanjang hari kemarin itu, baik positif maupun negatif. Jawaban responden terhadap pertanyaan tersebut, dan banyak pertanyaan lainnya, menjadi dasar penyusunan “Laporan Emosi Global Gallup”.
Perasaan Resah (Distess)
Dua psikolog, Michael Daly dari Maynooth University di Irlandia dan Lucía Macchia dari City University of London di Inggris, baru-baru ini menggali data tersebut dan mengajukan temuan yang mengkhawatirkan: keresahan emosional meningkat cukup signifikan antara 2009 dan 2021.
Dalam makalah berjudul “Global trends in emotional distress” yang diterbitkan di Proceedings of the National Academy of Sciences, Daly dan Macchia menjelaskan bagaimana mereka tiba pada kesimpulan tersebut. Keduanya menganalisis tanggapan dari 1,5 juta orang dewasa di 113 negara, hanya menggunakan data dari negara-negara aktif menanggapi survei, untuk memastikan konsistensi dan kelengkapan. Seseorang dianggap merasakan keresahan emosional jika mereka melaporkan diri mengalami banyak stres, kekhawatiran, kesedihan, atau kemarahan pada hari kemarin.
“Prevalensi perasaan resah naik dari 25,16% pada 2009 menjadi 31,19% pada 2021, peningkatan keseluruhan sebesar 6,03 persen,” kata Daly dan Macchia.
Angka-angka dalam studi mereka menunjukkan kenaikan secara stabil selama dekade terakhir, dengan lonjakan tajam bertepatan dengan pandemi COVID-19 pada 2020.
Berdasarkan latar belakang sosial ekonomi, orang-orang dari latar belakang pendidikan dasar dan mereka dengan pendapatan terendah mengalami keresahan emosional paling banyak, meskipun secara umum peningkatan itu terjadi pada orang-orang dari semua latar belakang sosial ekonomi.
Berdasarkan kelompok umur, orang-orang dari usia 15 hingga 35 tahun mengalami peningkatan keresahan terbesar dibandingkan dengan orang dewasa paruh baya (35 hingga 54 tahun) atau yang lebih tua (55+ tahun).
Berdasarkan jenis kelamin, perempuan memiliki tingkat keresahan yang lebih tinggi, yaitu sepertiga, sementara lelaki 29%.
Menariknya, meskipun pandemi COVID-19 baru mulai surut sekitar pertengahan 2022 untuk sebagian besar negara, masyarakat tampaknya mampu bertahan secara mental dengan baik. Temuan ini konsisten dengan studi lain yang baru-baru ini diterbitkan, yang menunjukkan bahwa dampak pandemi terhadap kesehatan mental jauh lebih kecil daripada yang dikhawatirkan sebelumnya.
“Populasi secara fleksibel beradaptasi dengan keadaan stres yang ditimbulkan oleh pandemi dan pulih cukup cepat dari dampak menyedihkan setelah periode lockdown awal,” tulis Daly dan Macchia.
Temuan yang lebih luas dari studi ini, yakni bahwa para penghuni bumi ini semakin stres, juga ditunjukkan oleh penelitian lain “Prevalence of Psychological Distress Among Working-Age Adults in the United States, 1999-2018”, yang diterbitkan oleh Michael Daly pada Juli 2022.
Jadi, apa penjelasannya?
Para peneliti memilih tidak berspekulasi, tetapi bukan berarti gejala itu tidak bisa dijelaskan. Mereka melihat sebuah korelasi yang mencolok: Sejak sekitar 2009, judul berita di media populer menjadi semakin negatif. Penanda kemarahan, ketakutan, jijik, dan kesedihan dalam judul berita meningkat tajam, menurut sebuah artikel di website Big Think yang berjudul “Negative, emotionally manipulative news headlines have skyrocketed since 2000”. Artikel tersebut meringkaskan hasil studi tiga peneliti Selandia Baru yang menganalisis sentimen emosional dari 23 juta berita utama Internet yang diterbitkan oleh 47 media berita paling populer di AS antara 2000 dan 2019.
Selajutnya, pasangkan tren ini dengan munculnya media sosial, di mana berita mudah dilihat dan cepat dibagikan. Nah, kita memiliki resep untuk meningkatnya keresahan emosional.
Survei tentang perilaku remaja yang paling baru, yang dirilis awal tahun ini, menyoroti tren yang mengkhawatirkan. Salah satu temuan yang menonjol adalah 57% siswi SMA pada 2021 melaporkan mengalami “perasaan sedih atau putus asa yang berkepanjangan” selama setahun terakhir. Pada 2011, perasaan tersebut masih di angka 36%. (Survei ini tidak mengeksplorasi penyebab potensial, meskipun beberapa psikolog mengarahkannya pada media sosial.)
Untuk mengatasi keresahan emosional yang terkait dengan media, psikolog merekomendasikan untuk mematikan notifikasi smartphone dari sumber-sumber berita, membatasi waktu yang dihabiskan di media sosial, dan lebih memahami persepsi risiko. Kebanyakan hal yang membuat kita cemas pada kenyataannya tidak perlu menjadi alasan kekhawatiran.[]
Add comment