Albert Einstein, Steve Jobs, Ludwig van Beethoven, John Rockefeller, Ada Lovelace, dan Neil deGrasse Tyson. Apa yang dimiliki oleh orang-orang ini?
Mereka semua sangat sukses dalam bidang masing-masing, dan semuanya adalah pribadi yang dikaitkan dengan label “jenius”. Pelajaran yang dapat dipetik dari contoh-contoh mereka jelas: Kesuksesan dan kecerdasan saling terkait.
Dan ada kebenaran dalam hal itu. Kecerdasan yang diukur dengan tes IQ — yaitu kecerdasan umum — berkorelasi dengan hasil hidup yang menguntungkan, seperti pencapaian pendidikan dan harapan hidup.
Namun, penelitian ini telah berubah menjadi asumsi salah bahwa IQ adalah segalanya dalam kecerdasan. Sebenarnya bukan. Kecerdasan umum tidak sama dengan “kecerdasan mutlak”; sebaliknya, itu adalah penilaian terhadap keterampilan dalam sekelompok domain kognitif tertentu (pemahaman perseptual, pemahaman verbal, dll.). Seperti ditulis Jonny Thomson untuk Big Think:
“Masalah muncul ketika orang salah memahami hal ini. Mereka menganggap IQ mewakili ‘kekuatan otak’ yang murni. Bahkan lebih buruk, beberapa orang menyamakan IQ dengan nilai seseorang. Pemberi kerja, utamanya, mungkin menolak seseorang berdasarkan IQ yang rendah. Mereka gagal menghargai bahwa banyak karyawan dapat memberikan keterampilan dan kemampuan yang berada di luar cakupan tes IQ.”
Sebenarnya, meskipun persepsi ini populer, IQ mungkin bukanlah kemampuan yang membedakan antara pekerja bintang dan orang lain. Perbedaan itu mungkin ditemukan dalam bentuk kecerdasan lain: kecerdasan emosional.
Bekerja dengan kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional memiliki pendahulu yang berasal dari tahun 1930an. Psikolog Abraham Maslow memperkenalkan gagasan serupa dengan konsep kekuatan emosionalnya, dan psikolog Howard Gardner memasukkan kecerdasan antar dan intra-pribadi dalam teori yang dirumuskannya.
Tetapi psikolog dan jurnalis sains Daniel Goleman-lah yang membawa kecerdasan emosional ke dalam kesadaran publik dengan buku terlarisnya pada 1995, Emotional Intelligence.
Model Goleman didasarkan pada karya psikolog Peter Salovey dan John Mayer, dan dalam buku lanjutan pada 1998 yang berjudul Working with Emotional Intelligence, ia secara luas mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai “kapasitas untuk mengenali perasaan kita sendiri dan orang lain, untuk memotivasi diri sendiri, dan untuk mengelola emosi dengan baik dalam diri kita sendiri dan dalam hubungan kita.”
Dia juga berpendapat kecerdasan umum dan kecerdasan emosional adalah hal yang berbeda, dan sementara budaya memandang kecerdasan sebagai variabel utama kesuksesan, persepsi tersebut membuat kita mengabaikan peran penting kecerdasan emosional di tempat kerja dan dalam kehidupan.
“Banyak orang yang pintar secara akademis tapi kurang memiliki kecerdasan emosional, akhirnya bekerja untuk orang-orang yang memiliki IQ lebih rendah dari mereka tetapi sangat unggul dalam keterampilan kecerdasan emosional,” tulis Goleman.
Dalam wawancara dengan Big Think, Goleman membagikan sebuah studi untuk menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi. Dalam studi tersebut, para peneliti meminta insinyur perangkat lunak untuk mengevaluasi rekan-rekan mereka tentang seberapa sukses mereka dalam pekerjaan mereka.
Evaluasi-evaluasi tersebut kemudian dibandingkan dengan skor IQ dan kecerdasan emosional para insinyur. Ternyata, kecerdasan tidak berkorelasi dengan kesuksesan (sebagaimana dinilai oleh rekan-rekan), tetapi kecerdasan emosional berkorelasi tinggi.
Dalam studi lain yang dikutip dalam Working with Emotional Intelligence, para peneliti menganalisis studi kompetensi di 286 organisasi. Dua pertiga dari organisasi-organisasi tersebut berada di Amerika Serikat dan sepertiga lainnya di luar negeri.
Dari 21 kompetensi yang diidentifikasi oleh para peneliti untuk pekerja yang unggul, 18 di antaranya berkaitan dengan kecerdasan emosional. Sisanya adalah keterampilan analitis, pemikiran konseptual, dan keahlian teknis.
“Dengan kata lain, sebagian besar — lebih dari 80 persen — kompetensi umum yang membedakan pekerja unggul dari yang biasa bergantung pada kecerdasan emosional,” tulis Goleman.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Seperti dijelaskan Goleman dalam wawancara, untuk peran tertentu, akan ada batas IQ yang harus dicapai.
Jika Anda menjadi seorang insinyur perangkat lunak profesional, kemungkinan IQ Anda di atas rata-rata. Jika tidak, Anda tidak akan memiliki keterampilan dan keahlian yang diperlukan untuk mendapatkan pekerjaan tersebut.
Namun, hal yang sama dapat dikatakan untuk semua insinyur lain yang bekerja dengan Anda. Kecerdasan tidak lagi menjadi faktor yang membedakan Anda. Sebaliknya, kecerdasan emosional dapat membantu Anda membangun hubungan yang diperlukan untuk kolaborasi dan mengendalikan respons emosional Anda dalam situasi sulit.
“Anda tidak lagi menulis kode secara terisolasi,” kata Goleman. “Semua orang bekerja pada proyek bersama… Anda harus berkoordinasi, Anda harus mempengaruhi, Anda harus meyakinkan, Anda harus menjadi anggota tim yang baik.
“Jadi, ketika Anda memikirkannya dengan cara itu, masuk akal bahwa bahkan di antara insinyur, kecerdasan emosional akan memprediksi siapa yang menjadi bintang dan siapa yang hanya biasa-biasa saja.”
Meta-analisis lebih lanjut telah menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berkorelasi dengan kesehatan, kepuasan kerja, kinerja di sekolah, dan kepuasan hidup.
Secara keseluruhan, ada bukti yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional ada, bahwa kecerdasan emosional berbeda dari kecerdasan umum, dan bahwa kecerdasan emosional berkorelasi dengan berbagai manfaat.
Add comment