ForSains

Sains sebagai Kaki-kaki Tauhid?

Oleh Abdullah Wong

Bagi kaum muslim, rasanya tak dapat menyangkal bahwa Islam sebagai ajaran sangat mengapresiasi kedudukan Ilmu. Selain wahyu pertama yang menyeru untuk membaca secara menyeluruh sekaligus prinsip pengetahuan yang diajarkan Tuhan, berbagai literasi Islam juga menempatkan ilmu berikut ilmuwan begitu luhur dan mulia. (Misal dalam Surat Al-Mujadalah ayat 11). Jika kedudukan ilmu begitu mulia, lalu bagaimana relevansi ilmu sebagai sarana di satu sisi, dengan prinsip tauhid di sisi lain sebagai substansi Islam?

Ilmu pengetahuan, atau sikap ilmiah, sejatinya adalah ikhtiar untuk mengurangi subyektivitas. Subyektivitas dalam pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang didasari oleh pengalaman diri sendiri tanpa melewati rangkaian pembuktikan dan verifikasi pengetahuan. Jadi, menekuni dan mengaplikasikan ilmu itu sejatinya akhlak seorang hamba untuk mengurangi ego sentris yang subyektif untuk kemudian bersedia mengembalikan ego kepada-Nya dengan jalan bersedia menghadirkan realitas secara obyektif.

Tak ada yang bisa menjamin jika seorang pakar ilmu pengetahuan, seorang guru besar, seorang ulama besar, dapat berpikir secara obyektif. Karena pemikiran manusia seringkali dipengaruhi oleh ideologi, agama, politik, ketokohan, ormas hingga urusan ras dan keturunan. Dalam ungkapan lain, prinsip subykektivitas adalah tampilan lain dari ananiyah atau keakuan; sedangkan prinsip obyektivitas adalah manifestasi lain dari huwiyah atau kediaan.

Bayangkan jika gunung meletus, gempa, tanah longsor hingga banjir, selalu disikapi secara subyektif? Tentu kita tidak akan mencari sebab atau gejala alam yang melatarinya. Kecenderungan bersikap subyektif demikian sangat berbahaya karena dapat mengabaikan ayat-ayat-Nya bahkan pada titik tertentu akan menyalahkan Tuhan sebagai oknum yang gemar mengamuk.

Ketika orang berpikir bahkan mengutuk sekularisasi karena dianggap satu upaya merobohkan ayat-ayat Tuhan, kita jadi lupa bahwa sekularisasi sebenarnya hanya tengah berupaya untuk menjelaskan realitas dunia dengan menghubungkan fakta-fakta lain dari dunia yang tengah diuji dan dijelaskan. Terlebih ilmu pengetahuan tidak pernah final dan mutlak. Karena ketika ditemukan pengetahuan lain yang masuk akal dan sehingga mampu membanting “kebenaran” dari pengetahuan sebelumnya, maka pengetahuan sebelumnya dengan sendirinya roboh dan terjungkal.

Bila kita telah menyadari relativitas ilmu pengetahuan, tentu kita insyaf bahwa ilmu pengetahuan sekadar kaki-kaki atau wasilah untuk menopang kesadaran ilahiyah. Bukankah seluruh ayat-Nya (kauniyah dan qauliyah) adalah anugerah indah dari-Nya sebagai sarana (washilah) untuk sampai (wushul) kepadaNya? Bukan malah sebaliknya; subyektivitas diri yang dilambari ego malah digunakan untuk mengobrak-abrik dan merobek-robek ayat-ayatNya bahkan dengan atas nama Tuhan?!

Lalu ilmu seperti apa yang sejalan dengan Tauhid?
Tentu saja ilmu yang dipelajari dan dirasakan untuk menjadikan si hamba semakin tunduk dan rendah hati. Ilmu dalam Islam tidak pernah merekomendasikan agar siapapun yang berilmu diperbolehkan untuk takabur dan berbangga diri. Karena sedalam dan secanggih apapun ilmu pengetahuan yang dikuasai seseorang, tak akan pernah mampu menguasai semesta.

Di sini kita dapat menyimpulkan bahwa merasa final dalam pengetahuan yang kemudian berdampak kepada kesombongan bukanlah ilmu yang menjadi kaki-kaki Tauhid. Bagi Nietzsche, mendekati kebenaran dan menjauhi kesalahan sejatinya adalah sikap melepaskan kemelekatan dengan kehidupan. Karena dalam kehidupan itu adalah keberlangsungan keduanya; yakni kebenaran dan sekaligus kesalahan. Maka seorang yang hanya menerima kebenaran dan menolak sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran menurut asumsinya sendiri berarti telah memenggal nadi kehidupan.

Metode ru’yah dan hisab misalnya, hanyalah ijtihad berbasis sains yang masing-masing tak dapat dimutlakkan. Sebagai pendekatan yang bersifat saintifik, masing-masing berpeluang salah sekaligus berpeluang benar. Sehingga siapapun tidak dapat mengklaim sebagai yang paling benar. Jika ada yang merasa paling benar seraya menyalahkan pendekatan lain, maka peluang menjadi takabur tak dapat terbendung. Kita lupa kepada seruan takbir di ujung Romadhon sebagai jalan yang diperintahkan Allah agar kita tidak terjebak pada lembah takabur. Padahal, takabur adalah musuh utama ketauhidan. Wallahua’lam.

 

Penulis adalah kuncen umahsuwung pengaji tasawuf 

Lukas Luwarso

Add comment

Ukuran Huruf