Novel Non-fiksi oleh: Lukas Luwarso
“Kalau saja saya boleh memilih, dan bisa memerintah otak saya untuk tidak berpikir, saya dengan senang hati akan melakukannya. Apa dokter tahu caranya?” Tanyaku dengan nada menggoda, meski itu serius.
“Coba lakukan meditasi, yoga, atau aktivitas olah raga ringan”.
“Pernah kulakukan itu semua, dok, tapi tidak ada efeknya. Saat meditasi justru pikiranku makin liar.”
“Ada obat untuk menenangkan pikiran, Fluoxetine, Alprazolam, Sertraline. Tapi anda perlu periksa ke psikiater dulu untuk mendapatkan resep obat itu.”
Aku coba menempatkan diri dalam cara berpikir dokter Hasan. Mungkin dia mengira aku stres atau mengalami depresi. Dalam beberapa kali pertemuan konsultasi aku memang selalu mendominasi pembicaraan, rewel dengan berbagai pertanyaan dan lontaran pikiran, yang sepertinya tidak menarik perhatiannya.
Dokter Hasan tidak selalu merespon pertanyaanku, khususnya yang tidak terkait langsung dengan keahliannya sebagai onkologis. Aku pernah bertanya, kenapa ada orang suka berpikir, tapi banyak juga yang enggan berpikir. Dia cuma menjawab pendek, “itu genetik dan hormonal,” tanpa mau menjelaskan lebih lanjut.
Dalam merespon lontaran pertanyaanku dokter Hasan selalu menekankan, tidak akan mengomentari hal-hal yang berada di luar keahliannya. Tipikal orang formalistik, meskipun pintar dan cerdas, namun bukan tipe pemikir. Atau mungkin juga dia cuma enggan berbicara pada orang rewel sepertiku, sakit tapi masih suku berceloteh.
Aku tahu, aku tidak sedang stres, atau apalagi depresi. Aku bukan jenis orang yang gampang stres untuk soal-soal sepele. Dan aku juga bukan orang rewel, dalam arti doyan ngomong apa saja yang tidak jelas juntrungnya. Aku cuma memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar.
Meski sadar tidak cukup cerdas, aku memang suka berpikir, memikirkan apa saja yang terlintas dalam otak. Kecerdasan dan pikiran, menurutku, dua hal yang agak berbeda, tidak selalu selaras. Orang bisa sangat cerdas tapi tidak berpikir, atau sebaliknya. Kecerdasan bukan cuma karakteristik manusia, namun juga ada pada tumbuhan dan hewan. Banyak tumbuhan atau hewan yang cerdas namun tidak berpikir. Benalu, misalnya, jelas tumbuhan cerdas, atau berbagai bunga yang memikat lebah dan kupu-kupu agar membantu penyerbukan.
Kecerdasan non-manusia itu bisa kita saksikan di lingkungan sekitar kita. Baru-baru ini aku nonton film dokumenter berseri tentang kemampuan tipu muslihat dunia hewan, yang dipandu Sir David Attenborough. “Carnivorous Undercover Caterpillar,” salah satu dokumenter yang mengisahkan bagaimana kecerdasan ulat bulu mengelabui kawanan semut.
Ulat bulu menyaru sebagai “ratu semut”, dengan cara menggelembungkan badan, mengeluarkan cairan dan aroma khas. Tipuan itu menarik semut pekerja, yang mengira si ulat bulu adalah ratu semut yang tersesat, sehingga membawanya pulang ke sarang. Di sarang semut, si ulat bulu diperlakukan sebagai ratu, dan dibiarkan memakan semua larva semut yang tersedia. Dengan persediaan makanan yang berlimpah si ulat bulu tumbuh besar, menjadi kepompong, dan bermetamorfosis menjadi kupu-kupu biru. Keindahan kupu-kupu yang dihasilkan dari proses “tipu daya dan kekejian” ulat bulu pada kawanan semut.
Contoh kecerdasan hewan lainnya, perilaku parasit, tawon wasp jenis glyptapanteles misalnya memasukkan telurnya ke dalam tubuh ulat. Saat menetas larva-larva tawon itu tumbuh berkembang dengan menyantap cairan tubuh ulat, sedikit demi sedikit, sebagai asupan nutrisi segar dan bergizi. Sampai si ulat mati sekarat dan larva kumbang bebas untuk melanjutkan proses hidupnya sebagai kepompong dan menjadi kumbang dewasa. Lingkaran hidup tawon wasp yang cerdas, sekalipun keji, berulang sepanjang zaman.
Contoh lain, beragam jenis virus atau bakteri, yang menginfeksi manusia dan hewan. Mereka sengaja bersemayam di rongga mulut atau hidung manusia, sebagai inang, sebelum masuk ke bagian tubuh lain. Tujuan mereka berada di rongga mulut adalah agar cepat berkembang biak dan mudah menular ke manusia lain, melalui air liur atau bersin-bersin.
Beragam cara strategi, termasuk dengan tipu muslihat, agar bisa bertahan hidup dan berkembang biak—dengan menjadi parasit—menunjukan, dunia hewan sangat cerdas. Tapi kecerdasan hewan itu apakah disertai pikiran, atau cuma insting mekanis? Cerdas tanpa melibatkan proses berpikir yang kompleks, seperti laiknya kecerdasan manusia?
Secara umum, kecerdasan dipahami sebagai kemampuan mendapatkan pengetahuan (informasi) dan menerapkannya untuk mengatasi masalah (beradaptasi). Kecerdasan pada level tertentu jelas dimiliki tumbuhan dan hewan agar mampu sintas dan adaptif. Kini di era artificial intelligence, mesin atau aplikasi komputer bisa sangat cerdas. tapi apakah kecerdasan non-manusia juga berpikir?
Berpikir dalam arti kemampuan reflektif untuk menilai dan mengevaluasi kecerdasan itu. Apakah tanaman benalu, ulat bulu, tawon wasp, virus, bakteri, melakukan refleksi atas aksi cerdas—tipu muslihatnya—untuk bertahan hidup dan berkembang biak? Atau memang begitulah mekanisme evolusi jalannya kehidupan. Mahluk hidup, dari serangga hingga singa (termasuk manusia) harus menjadi parasit atau pemangsa agar bertahan hidup?
Manusia, secara biologis, mustinya tidak berbeda dari hewan dalam hal berperilaku parasit atau pemangsa. Tapi mengapa pada level manusia muncul pikiran, penilaian moralitas, bahwa perilaku parasitisme dan kekejaman pemangsa, yang mengakibatkan penderitaan, tidak bisa dibenarkan. Mengapa kecerdasan benalu, virus, ulat bulu, atau singa tidak terbebani dengan moralitas? Richard Dawkins, pakar biologi evolusioner, pernah mengatakan “alam tidak kejam, cuma acuh tak acuh dengan penderitaan.” Apakah itu karena alam dan kehidupan pra-manusia, meskipun cerdas, tapi tidak berpikir? Alam belum sadar dengan perilaku dan perbuatannya. Dan kesadaran itu baru muncul pada manusia.
Manusia, yang juga memiliki sifat kejam, boleh jadi adalah satu-satunya spesies yang menyadari adanya kekejaman. Mungkin itulah yang membuat manusia istimewa. Dari kecerdasannya manusia membuat api, roda, bercocok tanam, menciptakan bahasa, agama, filsafat, matematika, teknologi, hingga sains. Namun kecerdasan itu tidak sepenuhnya bisa menghilangkan kekejamannya. Spesies manusia pernah melahirkan kaisar Caligula, Nero, Jenghis Khan, Hitler, Pol Pot, Soeharto, hingga Sumanto.
Sejarah peradaban manusia tidak pernah lepas dari rangkaian kekejaman silih berganti, kekejaman berbagai perang, termasuk yang mengatasnamakan kebaikan agama. Apakah kekejaman memang inheren dalam alam semesta? Mengapa alam semesta cerdas, yang melahirkan beragam kehidupan dan kecerdasan, tidak bisa menemukan cara-cara yang lebih cerdas sebagai solusi? Mengapa ada parasit yang penuh tipu daya, predator yang harus memangsa, serta ada bencana yang membawa derita? Mengapa pula tumor perlu ada?
Berbagai pikiran yang berkecamuk di otakku itu merasuk ke dalam melankoli perasaanku. Apakah itu sekedar drama pikiran, akibat tumor yang mendera otakku? Boleh jadi, tapi aku sudah suka berpikir jauh sebelum bergaul dengan tumor. Kenapa ada sel-sel otak yang memberontak, menolak mematuhi instruksi genetik DNA, menjadi tumor atau bahkan kanker, membuatku menderita pusing kepala?
Walaupun yakin tidak sedang stres, pikiran yang terus berkecamuk itu cukup mengganggu, menambah sakit kepala. Tapi aku tak bisa menghentikan otakku terus berpikir, kena tumor justru semakin menggiatkan pikiranku. Jangan-jangan benar kata dokter Hasan, aku sebenarnya sedang depresi, cuma aku tak mengakui.
Aku mengikuti saran dokter Hasan untuk menemui psikiater. Kebetulan aku punya teman dekat, seorang psikiater, dokter Ruslan. Kenal setelah berinteraksi sekian lama di sebuah WhatsApp group. Kami cocok dalam kesamaan minat suka berpikir, berbagai topik pemikiran. Dari sering bercakap di WAG, kami beberapa kali temu darat untuk berbagi pikiran tentang banyak hal, dari politik, psikologi, sains, hingga peristiwa paranormal.
Kali ini aku ketemu dokter Ruslan untuk konsultasi, bukan sekadar ngopi bercakap-cakap seperti biasa. Dia adalah orang pertama yang aku beritahu bahwa aku terkena tumor otak. Tapi aku konsultasi bukan soal tumor otak, melainkan soal bagaimana bisa membuat otak lebih tenang dan rileks. Aku butuh obat, agar otakku bisa beristirahat, berhenti berpikir, untuk sementara. Setidaknya sampai upayaku melawan tumor otak membuahkan hasil.
“Mustahil. Meminta otak berhenti berpikir itu sama seperti meminta jantung berhenti berdetak,” kata dokter Ruslan. (Bersambung)
Add comment