ForSains

Pengakuan Seorang Transhuman (6): Kesadaran Akan Tuhan

Novel Non-fiksi oleh: Lukas Luwarso

Entah kenapa, sejak terdeteksi terkena tumor otak, aku semakin sering merenung dan memikirkan tentang Tuhan. Mungkin ini gejala sikap “religius” normal ketika orang menderita penyakit yang fatal. Namun kegemaran memikirkan apa itu Tuhan sebenarnya sudah menjadi obsesiku yang lama, sejak remaja.

Pernah pada satu masa, saat kuliah, tahun 1980-an, aku beli banyak buku atau baca artikel apapun yang berjudul “Tuhan” untuk memuaskan obsesiku pada konsep misterius ini. Kegetolan membaca Tuhan agak surut, setelah memasuki dunia kerja dan berkeluarga.

Waktuku habis untuk urusan rutin pekerjaan. Kalaupun baca buku, cuma tertarik buku-buku motivator atau buku self-help. Termasuk buku yang harus kuedit karena itu tugas profesiku sebagai editor utama di satu perusahaan penerbitan buku, yang aku ikut dirikan. Mengurangi bacaan tentang Tuhan, bukan berarti kegairahanku memikirkan Tuhan menjadi  hilang.

“Dunia harus ber-Tuhan; namun konsep kita tentang Tuhan harus diselaraskan dengan  pemahaman kita pada dunia yang makin meluas.” Ungkapan Pierre Teilhard de Chardin, seorang pastor Jesuit dan paleontolog ini terekam kuat di memoriku. Membaca buku-bukunya, saat aku mahasiswa, adalah salah satu pendorong yang membuatku mualaf-panteis dan kemudian mualaf-transhuman.

Jauh sebelum konsep transhuman populer, Teilhard dalam bukunya The Phenomenon of Men  sudah menyinggung soal potensi manusia dalam skema besar evolusi kehidupan. Sebagai imam agama ia mencoba menafsirkan kitab Injil dengan menggunakan sains sebagai sudut pandang. Menurutnya, alam semesta yang teratur (kosmos) sedang mengarah untuk menjadi Tuhan, dan manusia adalah “otak” yang ikut mengarahkan proses evolusi kosmik ini.

Melalui upaya kecerdasan-kolektif manusia, akan muncul dunia baru yang Teilhard namai sebagai: “noosphere”. Planet Bumi menjadi semacam jaringan komputer cerdas, konsep yang saat ini bisa disetarakan dengan dunia digital. Ketika, melalui internet dan teknologi informasi, manusia dengan pengetahuan dan kreativitasnya bisa menyatu dalam entitas dunia global. Konsep noosphere ini ia uraikan dalam artikelnya, tahun 1922, berjudul Hominization.

Teilhard adalah “filsuf” teori evolusi terbesar pada masanya, awal abad kedua puluh. Ia menafsirkan Teori Evolusi Darwin, memadukan dengan mistik agama keyakinannya, menjadi narasi kosmik yang menarik. Evolusi alam semesta yang bertujuan, teleologi, dan manusia menjadi bagian terpenting, sebagai otak, dari proses evolusi itu.

Sejak membaca tulisan-tulisannya, persepsiku tentang Tuhan—versi agama langit (Samawi, Abrahamik)—sepenuhnya lenyap. Tuhan yang antropomorfik, yang memiliki “sifat” seperti (maha)manusia, sudah tidak lagi bisa aku terima secara logika. Apalagi dengan semakin  terungkapnya misteri alam semesta dan kehidupan, sosok Tuhan yang ikut campur tangan mengawasi dan mengatur manusia menjadi terasa janggal.

Meskipun demikian, bagiku, semakin berkembangnya logika dan majunya sains, bukan berarti manusia hidup dalam alam semesta tanpa “Tuhan”. Berbeda dengan kaum ateis, aku merasa konsep Tuhan masih bisa dipakai untuk mengidentifikasi adanya “sesuatu” yang mendasari adanya dunia.  Sesuatu itu, lebih mirip konsep-konsep abstrak spiritualitas, seperti EinSoft, Monad, Brahman atau Dao.

Menurutku, semesta teleologis yang bertujuan (meski belum diketahui apa tujuannya), cukup masuk akal. Bahkan adanya arah dan tujuan alam semesta sebenarnya menjadi lebih jelas dengan memakai paradigma sains—atau bolehlah disebut pseudo-sains.

Saat membayangkan Tuhan, penting untuk membedakan antara Tuhan antropomorfik dengan Tuhan kosmik. Tuhan yang pertama, memiliki karakteristik personalitas, berpikir, bertindak, dan berinteraksi seperti manusia. Tuhan yang dekat dan selalu berdialog dengan manusia, serba jelas kehendak atau perintahnya. Tuhan yang kedua, termanifestasi sebagai hukum alam dan properti penyusunnya. Energi dan vibrasi berbagai medan, daya, gelombang, partikel, yang mendorong gerak alam semesta. Yang misterinya sedang terus diungkap melalui sains. 

Jika aku menolak atau tidak meyakini konsep Tuhan, itu sudah pasti Tuhan antropomorfik. Aku membuka pikiran untuk mengamini adanya Tuhan kosmik. Tuhan yang menggerakkan evolusi kosmik dan evolusi kehidupan. Tuhan yang berada dalam ruang dan waktu, yang kinerjanya dapat dijelaskan melalui metode sains. Semesta yang memiliki pola konsisten dan terukur. Meskipun belum semua teka-teki Tuhan kosmik bisa dijelaskan, namun melalui sains manusia terus berupaya mengakumulasi pengetahuan untuk mengudentifikasi keberadaannya dengan bukti-bukti valid.

Sains tidak harus dipertentangkan dengan konsep Tuhan kosmik, dan justru, menurutku, tujuan sains adalah mengungkap misteri Tuhan kosmik, a.k.a alam semesta, ini. Werner Heisenberg, pemenang Nobel Fisika 1932, pernah mengatakan: “Tegukan pertama dari gelas sains mungkin membuatmu menjadi ateis, namun di dasar gelas Tuhan sedang menunggumu.”

Max Planck, pemenang Nobel Fisika 1918, dalam satu ceramah, pernah menyampaikan: Tuhan adalah tata tertib semesta (cosmos) yang, bagi kaum agama, Tuhan adalah awal;  bagi ilmuwan, Tuhan adalah akhir semua pemikiran nalar ilmiah. “For believers, God is in the beginning, and for physicists He is at the end of all considerations. To the former He is the foundation, to the latter, the crown of the edifice of every generalized world view.

Dan Teori Evolusi tidak harus bertentangan dengan konsep Tuhan kosmik. Menurut Alfred Russel Wallace, evolusi adalah proses berkesinambungan dari munculnya mahluk hidup sederhana menjadi semakin kompleks, dari bakteri hingga manusia. Bagi Wallace, proses itu adalah indikasi arah tujuan evolusi kehidupan. Wallace tidak sepakat dengan Charles Darwin yang menganggap evolusi sekadar proses mekanis alam, seleksi dan mutasi, secara acak tanpa tujuan. Munculnya manusia, bagi Wallace, bukan cuma kebetulan, melainkan bertujuan.

Terus terang, soal teori evolusi  aku lebih menganut paradigma Charles Darwin, ketimbang Wallace. Tidak logis sepertinya, evolusi memiliki tujuan. Tujuan mengandaikan adanya sesuatu yang sudah jelas dan pasti arah dan destinasinya. Apa tujuan eksistensi semesta kehidupan dan evolusinya, sayangnya Wallace tidak menjelaskan.

Agama atau spiritualitas sering menempatkan manusia sebagai mahluk utama alam semesta. Seolah-olah alam semesta dirancang untuk manusia, sebagai panggung drama kehidupannya. Dunia dan mahluk lainnya cuma sebagai latar atau dekorasi panggung itu. Namun paradigma dunia sebagai panggung manusia, sebagai pertunjukan, jelas tidak memadai. Karena, jika hidup adalah pertunjukan, lantas siapa penontonnya?

 Jadi, alih-alih evolusi memiliki tujuan, seperti asumsi Wallace, lebih faktual menganggap tujuan adalah aspirasi manusia. Karena baru pada manusialah rumusan dan konsepsi tujuan muncul. Planet dan semua benda mati sudah pasti tak bertujuan. Tumbuhan dan hewan juga tidak pernah merumuskan tujuan hidup mereka, selain agar terus hidup dan mewariskan genetiknya.

Manusialah, sepertinya, satu-satunya mahluk yang mempunyai tujuan dan mampu membayangkan adanya masa depan. Baik bersifat utopia, adanya surga; atau distopia adanya neraka. Termasuk membayangkan adanya kesempurnaan, dalam konsep ketuhanan. Manusia memiliki level kesadaran akan adanya Tuhan, sebagai tujuan kesempurnaan. Kesadaran tertinggi.

Dengan kesadaran itu, manusia mulai mempertanyakan eksistensinya. Menolak menerima kondisi biologisnya yang banyak memiliki kekurangan, dengan berupaya memperbaiki dan meningkatkan kapasitas diri. Kondisi manusia terlahir dengan banyak problem bawaan genetik, dari cacat hingga organ tubuh yang mudah rusak. Berbagai penyakit dan penderitaan harus ditanggung manusia saat menjalani hidup.

Dengan kesadaran akan adanya kesempurnaan (Tuhan), dengan sains dan teknologi yang terus maju, manusia ingin mampu mengendalikan lingkungan dan hidupnya.  Manusia berupaya merekayasa kondisinya dan lingkungannya agar bisa selaras dengan keinginannya.

Sampai saat ini manusia terlahir dengan struktur genetik yang bukan kemauannya, juga pada waktu dan tempat yang bukan pilihannya. Manusia hanya bisa menerima, tiba-tiba lahir, menjalani hidup, untuk kemudian mati. Siklus yang manusia tak bisa menolak.

Seperti nasib yang sedang menimpaku saat ini, tiba-tiba mendapat penyakit tumor, yang entah datangnya dari mana. Sel tumor menempel di jaringan otakku tanpa seijinku dan tidak memberitahu. Jika hidup memiliki tujuan, apa coba tujuan tumor ini bertengger di otakku? Entahlah.

Yang jelas agendaku sore dan malam ini adalah bertemu dengan dua dokter untuk memeriksa diri, berkonsultasi, dan bertukar pikiran terkait tumor dan kondisi kejiwaanku. Bertemu Dokter Hasan dan psikiater Ruslan, adalah tujuan hidupku hari ini.

Aku naik taksi, menyusuri jalan yang, tumben, sore ini agak lenggang. Pikiran kosongku kusibukkan dengan membaca berbagai spanduk, papan reklame atau  videotron di sepanjang tepi jalan yang kulalui. Mataku terantuk pada grafiti di satu tembok pagar gedung yang kusam, Tulisannya menggelitik: “Oh Jalan tunjukkan aku Tuhan yang benar.”

(Bersambung).

 

 

Lukas Luwarso

Add comment

Ukuran Huruf