Novel Non-fiksi oleh: Lukas Luwarso
“Untuk memahami penyakit tumor, bandingkan dengan perang,” kata psikiater Ruslan mengawali percakapan, setelah sedikit berbasa-basi menanyakan kondisi kesehatanku. Ia gemar memakai analogi untuk menjelaskan persoalan atau konsep rumit, memastikan kawan bicaranya paham.
Ia melanjutkan, “pertumbuhan tumor yang kemudian ber-metastasis, menyebar menjadi kanker ganas, mirip petualangan perang satu bangsa untuk menginvasi bangsa lain sebagai koloni. Tumor adalah pertumbuhan sel tubuh dengan mengabaikan dan melanggar aturan genetik. Proses mutasi genetik untuk menaklukkan dan membunuh sel-sel yang sehat.”
Agak kurang lazim sebenarnya, mengawali percakapan dengan orang sakit, yang butuh kekuatan psikis untuk menghadapi penyakit tumor, dengan kisah perang dan penaklukan. Tapi begitulah Ruslan sebagai Ruslan, ia gemar mengajak berdebat untuk menegaskan posisi sikap dan pemikirannya. Mungkin itu metode terapi untuk mengajak pasiennya berpikir, agar mampu memahami realitas dengan lebih baik. Untuk menghalau ilusi atau halusinasi pikiran.
“Perang terjadi antara bangsa yang berbeda, masak perang dengan bangsa sendiri. Tumor bukannya sekedar pertumbuhan sel yang tak terkontrol?” tanyaku memastikan ia sedang tidak memperlakukanku sebagai pasien.
“Ada yang disebut civil war, perang saudara. Poinku, kau sedang berada dalam situasi perang melawan penyakit, musuh yang entah dari mana asalnya. Musuh yang harus kau lawan dan kalahkan. Atau kau yang akan tumbang. Perang melawan tumor, kanker, sama seperti perang yang harus dihadapi manusia, baik sebagai individu maupun spesies. Perang untuk bertahan hidup dan tetap sintas.”
“Tidak semua orang ingin perang. Saya pasifis, anti-perang. Jutaan orang yang terkena kanker mungkin tidak memiliki daya juang. Meninggal dalam waktu beberapa minggu atau bulan setelah didiagnosis terkena kanker,” kataku berupaya meredam semangat retorikanya.
“Hidup adalah peperangan, itu berlaku baik di dunia binatang atau manusia. Perang adalah pendorong peradaban, tidak ada kemajuan tanpa peperangan. Ingat adagium war has always been the mother of invention.”
“Itu tidak salah dalam konteks kemajuan teknologi, manusia perlu inovasi. Namun untuk urusan penyakit, masak kita bertempur dengan tubuh kita sendiri?”
“Tubuh kita adalah benteng untuk mempertahankan eksistensi kita, mengekalkan pikiran dan hasrat kita. Dari gempuran penyakit dan kematian.”
“Bukannya lebih menyakitkan berjuang maju perang, untuk tumbang. Apakah minum obat pereda nyeri, itu masuk kategori berperang? Bukannya lebih baik berdamai dengan situasi?”
“Maksudmu pasrah dan tawakal? Menerima nasib atau takdir, karena hidup cuma mampir minum, atau sudah ada yang mengatur? Sepertinya kau sedang mendapat sinyal dari langit, penyakit memberimu hidayah. Beri tahu saya saat keajaiban menyembuhkanmu. Atau kau mulai putus asa?”
Nada bicara Ruslan akan makin sinis dan sarkastis jika aku lanjutkan mendebat dia. Aku menunggu keajaiban atau mulai putus asa? Enggaklah. Aku bukan sedang ngomong soal kondisiku, dan aku tidak memerlukan terapi psikis dari Ruslan. Aku sedang mencoba realistik, kanker bukan penyakit biasa.
Sejumlah penderita kanker yang kukenal, mencoba melakukan apa pun yang mereka bisa untuk bertahan hidup lebih lama, dalam penderitaan. Analogi perang untuk memberi semangat pada diri sendiri dalam melawan kanker, itu bersifat psikologis, bukan medis.
Kanker, dari referensi yang kupelajari, bukanlah tipikal penyakit yang diakibatkan gagal berfungsinya organ tubuh penting, seperti gagal jantung, gagal ginjal, gagal paru-paru, hati, empedu, dan sejenisnya. Penyakit yang jelas penyebab dan identifikasinya.
Sains dan teknologi kedokteran kini sudah mampu mencangkok organ tubuh, termasuk menggantikan organ tubuh yang gagal berfungsi dengan organ buatan. Namun penyakit kanker tidak sesederhana itu. Kanker terkait dengan kode genetik, kode DNA, penyusun kehidupan. Bukan soal gen yang gagal berfungsi, melainkan gen yang bermutasi.
Kanker pada abad 19 dijuluki sebagai The Emperor of All Maladies, The King of Terrors (Kaisar dari Segala Penyakit, Raja Segala Teror). Istilah yang kemudian dipakai oleh ahli onkologi Amerika, Siddhartha Mukherjee, sebagai judul buku yang sangat laris: “The Emperor of All Maladies: A Biography of Cancer”, terbit 2010. Buku yang menjadi rujukan penting sejarah penanganan kanker, upaya manusia menghadapi penyakit mengerikan ini.
Saat ini, menurut data statistik 2023, sekitar 9,6 juta penduduk dunia meninggal karena kanker setiap tahunnya. Satu dari tiga perempuan dan satu dari dua pria akan terkena tumor dalam hidupnya. Kanker menjadi pembunuh manusia utama, monster ganas pengancam manusia yang belum terkalahkan. Sultan dari segala penderitaan.
Apakah kanker bisa dilenyapkan di masa depan? Boleh jadi, namun kanker bukan satu jenis penyakit, melainkan berbagai macam jenis. Kita menyebutnya “kanker” untuk mengidentifikasi kesamaaan gejalanya: pertumbuhan sel secara abnormal.
Ada lebih dari 100 jenis kanker yang teridentifikasi menjangkiti berbagai organ dan jaringan tubuh manusia. Dari kanker paru-paru, payudara, prostat, pankreas, hati, kulit, ginjal, rahim, ovarium, kelenjar getah bening, darah, empedu, tulang, dan masih banyak lagi, termasuk kanker otak.
Setiap jenis kanker dapat memiliki variasi dan subjenis yang spesifik. Jenis kanker bertambah seiring dengan perkembangan penelitian medis dan pemahaman lebih lanjut tentang karakteristik kaisar dari segala penyakit ini.
Keberadaan kanker sudah dideskripsikan dalam teks hieroglip Mesir, 2500 tahun sebelum masehi. Bagaimana penderitaan manusia di masa lalu saat mengenyahkan kanker, sebelum ditemukan obat bius. Bayangkan mengangkat kanker payudara, masektomi, memakai peralatan sederhana tanpa anestesia.
Ketika Marie Curie menemukan radium, pada akhir abad 19, radiasi digunakan untuk terapi pengobatan kanker. Namun radiasi jika dipakai secara berlebihan justru dapat memicu pertumbuhan sel kanker (carcinogenic). Marie Curie meninggal akibat leukemia, kanker darah, karena bertahun-tahun terpapar radiasi sinar-X.
Saat Perang Dunia Kedua berkecamuk, perang bukan cuma terjadi antar-bangsa, melainkan juga perang manusia melawan kanker. Pada era ini ditemukan pengobatan kemoterapi untuk menghambat pertumbuhan dan pembelahan sel-sel kanker.
Senyawa kimia kemoterapi memang bisa menghambat bahkan membunuh sel kanker, namun efek samping kemoterapi juga bisa merusak sel-sel yang normal.
Perang dunia antar-bangsa, soal pertikaian politik, sudah lama berakhir, namun perang melawan kanker masih terus berlangsung. Analogi sohibku, psikiater Ruslan, melawan kanker seperti berperang tidak terlalu salah, karena ini soal hidup-mati.
Namun, persepsi bahwa pasien kanker harus “berjuang”, dan jika kalah artinya “tidak cukup berjuang” adalah beban psikologis tambahan. Kanker terlalu kompleks untuk dianggap sebagai musuh. Setiap pasien menghadapi tantangan spesifik dan personal yang berbeda dalam pengobatan kanker.
Seperti perang melawan kemiskinan atau ketidak-adilan, misalnya, tidak sepenuhnya perjuangan bisa diharapkan muncul dari kaum miskin dan kaum lemah yang memang kondisinya tidak memungkinkan untuk bisa berjuang.
***** *****
Usai bertandang ke psikiater Ruslan, untuk obrolan ringan sore, aku menemui Dokter Hasan, sesuai waktu yang ia jadwalkan. Pertemuan ini sangat penting terkait terapi pengobatan yang akan aku jalani untuk melawan tumor di otakku.
Dokter Hasan menjelaskan sejumlah pilihan pengobatan. Operasi bedah otak belum menjadi opsi, karena sel tumor di otakku belum cukup masif untuk diangkat, terlalu riskan. Opsi lain adalah gabungan terapi radiasi, kemoterapi, dan imunoterapi, untuk menghancurkan sel-sel tumor.
Penyinaran radiasi yang terarah secara presisi ke area tumor, dikombinasikan dengan kemoterapi dan imunoterapi akan diterapkan untuk pengobatanku. Untuk tahap awal, akan dipakai pengobatan imunoterapi, selama satu atau dua bulan pertama.
“Imunoterapi menggunakan sistem kekebalan tubuh Anda sendiri untuk melawan tumor, dengan merangsang atau memperkuat respons kekebalan tubuh untuk mengenali dan menghancurkan sel-sel tumor,” uraian penutup Dokter Hasan membuatku sedikit lega. Itu artinya tumor di otakku belum terlalu parah, sehingga tiak perlu diambil tindakan drastis, seperti operasi.
“Kita gunakan Terapi sel CAR-T (Chimeric Antigen Receptor T-cell). Dengan mengambil sel T, sel darah putih Anda yang berperan penting dalam kekebalan tubuh, dan merekayasa secara genetik untuk menjadi antigen. Sel-sel T Anda yang dimodifikasi akan dimasukkan melalui infus ke tubuh untuk melawan tumor.”
“Apa efek samping selama dan setelah pengobatan imunoterapi, dok?”
“Setiap orang bereaksi berbeda. Efek samping yang umum terjadi, peradangan kulit, ruam, gatal, atau alergi. Gangguan gastrointestinal: mual, muntah, diare, konstipasi, hilang nafsu makan. Juga kelelahan akut akibat gangguan hormon tiroid. Anda mungkin juga mengalami perubahan pada fungsi kognitif, seperti masalah ingatan atau kesulitan berkonsentrasi.
“Perlukah rawat inap?”
“Perlu rawat inap saat pengambilan sel T dari tubuh Anda dan memodifikasi genetiknya sebelum diinfuskan kembali ke tubuh. Sekaligus untuk mengawasi respons tubuh terhadap terapi dan mengatasi efek samping yang mungkin muncul.”
Aku merasa cukup “beruntung”, mengidap tumor ketika baru stadium 2, pengobatan dan efek sampingnya relatif masih ringan. Beruntung, perkenalanku dengan “Sultan Segala Penderitaan” terjadi ketika si sultan belum resmi dinobatkan, baru menjadi calon sultan yang sedang magang.
Aku pulang ke rumah dengan langkah ringan. Dan memutuskan tidak perlu memberi tahu anak istriku soal penyakit tumor ini. Tidak perlu mengganggu kedamaian hidup mereka dengan kabar buruk yang belum terlalu buruk. Aku akan jalani sendiri perang dengan penderitaan ini.
Aku teringat pesan buku Susan Sontag, Illness as Metaphor, buku lama yang baru kubaca. Penyakit adalah bagian gelap kehidupan, menurutnya. Kita terlahir dalam dua wilayah yang terpisah, wilayah sehat dan wilayah sakit. Kita semua berharap ada di wilayah sehat, tapi kita tak tahu bakal masuk di wilayah sakit.
Kini aku memasuki wilayah sakit yang gelap itu. Beruntung aku hidup di abad 21, ketika tumor atau kanker bukan lagi wilayah yang sepenuhnya gelap, bukan lagi vonis mati. Sebagaimana tuberkulosis (TBC) di abad 19 atau AIDS di abad 20, kanker pernah dianggap sebagai penyakit misterius yang tidak dipahami, pencuri kehidupan yang keji dan tak kenal ampun.
Pada kanker pernah berlaku adagium penyakit yang dilontarkan Voltaire, 300 tahun lalu: Doctors are men who prescribe medicines of which they know little, to cure diseases of which they know less, in human beings of whom they know nothing. Kanker, seperti berbagai penyakit yang mendatangkan penderitaan, adalah penyakit yang tak mengetuk pintu untuk masuk, menginvasi, dan mengakhiri hidup manusia. Malaikat pencabut nyawa sebenarnya.
Namun itu bakal tidak lagi berlaku. Sains kedokteran telah tuntas mengurutkan genom manusia (seluruh 23.000 gen), sehingga memungkinkan untuk mendokumentasikan setiap perubahan genetik. Termasuk mutasi gen pemicu munculnya kanker. Pengembangan berbagai obat baru cepat atau lambat akan mampu menyembuhkan kanker. Kanker, malaikat pencabut nyawa, harus mengetuk pintu, untuk masuk ke tubuhmu.
Memenangkan perang terhadap kanker, menaklukkan sultan segala penderitaan, adalah upaya mengungkap misteri kehidupan, juga kematian. Perang manusia yang sesungguhnya adalah melawan ketidaktahuan.
Upaya memahami kehidupan, melawan penderitaan, dan mengatasi kematian adalah tujuan eksistensial pasca-kemanusiaan. Penyakit dan penderitaan, sebagai bawaan genetis dan biologis, adalah wilayah gelap kehidupan. Wilayah yang perlu diterangi, bukan diperangi. Mampu mengatasi problem biologi melalui teknologi dan pengetahuan adalah harapan, kerinduan seorang Transhuman.
(Bersambung)
Artikel² “Pengakuan…dst” menjadi salah satu “sarapan pagi” saya.👍🙂
Tenkyu om Lukas🙏
Semoga menjadi sarapan bergizi untuk sampeyan 🙂