Novel non-fiksi oleh: Lukas Luwarso
Kini di era teknologi digital, rutinitas yang dilakukan oleh hampir semua orang adalah meraih telepon genggam saat bangun pagi. Aku meraih smartphone-ku dan berselancar memindai pesan-pesan di aplikasi whatsapp.
Aku terantuk pada pesan WA dari Ruslan, psikiater sohibku, yang kemaren sore mengajakku bercakap soal penderitaan manusia dan kematian. “Kawan kita, Ikhsan, meninggal dunia dini hari tadi, serangan jantung. Rest in Peace.” Pesan pendek Ruslan disertai foto wajah Ikhsan yang familiar.
Aku tercekat. Ikhsan adalah salah satu teman dekat, yang cukup lama tidak bersua, selain sesekali berkabar lewat whatsapp. Tidak pernah terdengar ia sakit atau mengeluh, kawan yang selalu berpesan “jangan lupa bergembira”. Namun kematian mendadak telah merenggutnya.
Dalam seminggu terakhir ini berturut-turut aku menerima kabar tiga kawan meninggal. Masing-masing meninggal karena stroke, kanker, dan serangan jantung. Ini mengingatkan saat terjadi pandemi Covid-19, tahun 2020 -2022, ketika belasan kawan dan handai taulan meninggal karena terpapar virus.
Di usia paruh baya, ketika konsep “kawan” semakin sayup dan samar, kabar tentang kawan yang kerap kuterima cuma dua hal: sedang sakit atau meninggal. Orang-orang yang pernah aku kenal satu per-satu berpulang meninggalkan kehidupan. Saat tercenung memikirkan kabar kematian Ikhsan, pesan WA masuk, dari Ruslan:
“Apa itu kehidupan dan kematian? Dulu orang menganggap ada vitalisme, adanya dzat khusus, sejenis energi, yang menggerakkan kehidupan di luar raga fisik tubuh. Dinamai ruh, chi, atman, jiwa, soul, dan sebagainya. Ruh tidak bisa mati, ruh hidup abadi. Kau mengamini adanya dualisme jiwa dan raga; ruh yang otonom dari tubuh?”
“Entahlah, kalau menurutmu?,” balasku, tak terlalu antusias bercakap untuk sesuatu yang memang belum jelas perkaranya. Terlebih saat baru saja menerima kabar kematian seorang kawan. Aku lanjutkan dengan menulis pesan, “kita ketemu di rumah duka untuk melayat?”
“Yup, jam 11.30. Jenazah akan dikuburkan sekitar jam 13.00,” jawab Ruslan. Ia melanjutkan dengan mengirim serangkaian tulisan panjang:
“Rene Descartes menganggap tubuh manusia adalah mesin, yang diberi kehidupan, ditiupkan ruh oleh Tuhan. Dan ruh itu bersemayam di kelenjar pineal otak. Namun pemikiran filsafat dualisme Descartes, mulai memudar di Barat setelah era pencerahan. Kalau menurutku, ruh itu tidak ada sebagai entitas otonom yang terpisah dengan tubuh.”
“Filsafatku monisme, ruh dan tubuh adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Ruh lenyap bersamaan dengan matinya, atau berhentinya, metabolisme tubuh. Ruh mustahil bergentayangan, menjadi hantu, atau suatu ketika berreinkarnasi, masuk ke tubuh orang lain. Itu cuma dongeng yang aneh. Nggak logis.”
Ratusan juta penganut keyakinan Hindu dan Budha percaya reinkarnasi lo,” aku merespon terpancing narasi Ruslan. “Hidup, mati, dan lahir kembali, sekadar siklus yang terus berputar. Benar atau tidak, baik-baik sajalah bagi yang meyakininya. Setidaknya untuk mengingat leluhur, keluarga, atau kawan yang telah meninggal.”
“Kalau urusannya cuma soal untuk mengingat dan mengenang yang sudah meninggal, teknologi penyimpan foto dan video digital sudah memadai. Momen kenangan yang bukan cuma ingatan, tapi adio-visual yang terus bisa kita putar ulang. Yang sudah mati bisa terus hidup dalam dunia digital.”
“Poinku,” tulis Ruslan melanjutkan, bahkan sebelum aku merespon balik, “kehidupan bukanlah dzat ghoib atau percikan mistik. Hidup adalah proses biologis yang bersifat mekanis, poduk kinerja atom, molekul, sel, dan organ tubuh yang terakumulasi dalam individu. Di dalam setiap sel tubuh, terjadi reaksi kimia terus-menerus. Penggerak kehidupan adalah glukosa dan oksigen, molekul yang mengalirkan energi ke setiap sel tubuh.”
“Ada setidaknya 70 triliun sel yang menyusun tubuh individu manusia yang bekerja agar terus hidup. Sel menggunakan energi untuk menjaga kita tetap hidup, dengan memperbaiki diri, menumbuhkan, dan mereproduksi sel baru. Apakah sel, sebagai entitas hidup terkecil, memiliki ruh? Kalau ya, maka setidaknya ada 70 triliun ruh di dalam tubuh kita. Apakah virus dan bakteri, yang juga mendiami tubuh kita, memikili ruh yang berbeda dengan ruh sel-sel tubuh?
Aku harus menghentikan percakapan digital ini, sebelum Ruslan ngelantur terlalu jauh dengan narasinya yang absurd. “Oke, nanti kita lanjutkan obrolan soal triliunan ruh dalam sel tubuh ini di rumah duka. Aku mau mandi dan berkemas.”
Sulit untuk tidak setuju dengan uraian Ruslan, kehidupan bukanlah percikan keajaiban atau fenomena mistik, sebagaimana dipahami atau diyakini oleh manusia di masa lalu. Kehidupan adalah proses organisasi yang sangat kompleks, tunduk pada mekanisme hukum alam, dan hasil proses evolusi selama milyaran tahun.
Dalam buku From Matter to Life: Information and Causality, Sara Imari Walker, astobiologis dari Universitas Arizona, menguraikan, kehidupan adalah proses akumulasi informasi. Kehidupan berkembang melewati proses tahapan evolusi yang berbeda. Informasi terakumulasi sebagian melalui proses biologis, dan berlanjut melalui kognisi di pikiran manusia. Kehidupan adalah rangkaian sejarah panjang akumulasi evolusi informasi.
Setiap sel tubuh, yang jumlahnya 70 triliun, masing-masing memiliki informasi untuk menjalankan fungsi dalam tubuh. Setiap sel harus menjaga agar proses entropi energi terkendali, memastikan molekul terus bekerja agar kerja biologis terus berlangsung.
Kematian terjadi ketika proses kinerja sel-sel tubuh, untuk menjaga energi agar tidak berentropi, tidak lagi berfungsi. Kematian adalah berhentinya semua fungsi biologis yang semula menjaga kelangsungan hidup individu.
***** *****
Siang itu, suasana mendung menyelimuti langit dan aura muram di rumah duka tempat Ikhsan disemayamkan. Aku dan Ruslan tiba hampir bersamaan, kami mengenakan pakaian dan celana hitam. Kami memasuki ruang beraroma bunga segar, di tengah ruangan, peti mati berwarna putih terlihat begitu kontras dikelilingi pelayat yang umumnya berbaju hitam.
Aku terpaku, melihat sebuah peti mati putih yang begitu kokoh menjadi tempat peristirahatan terakhir hidup Ikhsan yang rapuh. Aku dan Ruslan mendekati peti putih itu, kutatap wajah Ikhsan, yang terlihat seperti tertidur lelap.
Kematian adalah bagian alami dari siklus kehidupan, 67 juta manusia mati per tahun di seluruh dunia, atau sekitar 183.000 kematian per-hari. Sampai tahun 2023, setidaknya diperkirakan 110 miliar manusia–sejak era munculnya homo sapien–telah mati. Itu jumlah total dari 93,8% dari semua manusia yang pernah hidup. Kematian adalah rutinitas, tetapi tetap saja sulit untuk dipahami ketika kematian mendatangi orang yang dekat dengan kita.
“Saat berada di depan kematian, kita merasa rentan. Semua hal penting dalam hidup kita, tiba-tiba terasa tidak berarti,” Ruslan berkata lirih pada dirinya sendiri di depan jazad Ikhsan. Ia mengucapkan kalimat itu, mungkin karena tidak tahu cara berdoa. Sama seperti aku.
Aku hanya diam menatap wajah Ikhsan. Aku membayangkan seperti apa kematian ketika datang merenggut hidupku. Hidup sungguh rapuh. Kematian mengingatkan untuk menghargai setiap momen kehidupan, khususnya bagiku yang didera penyakit tumor.
Usai pemakaman, Ruslan mengajakku minum kopi di sebuah cafe. Suasana murung masih menggelayutiku, beda dengan Ruslan yang sepertinya sedikitpun tak ada rasa duka. “Kematian musti disambut dengan suka cita, karena itu artinya terlepas dari segala derita hidup,” katanya.
Aku sudah terbiasa dengan ketidaklaziman retorika Ruslan, namun suka cita menghadapi kematian kawan agak keterlaluan rasanya. “Saat melihat peti mati putih diturunkan ke liang lahat tadi, aku merasa ada keanggunan dan kedamaian dalam kematian. Warna putih lebih pas untuk mengiringi kematian, ketimbang hitam,” lanjutnya.
Aku mengangguk setuju. “Peti mati putih itu memberikan nuansa bersih, tenang, dan damai. Warna awan, yang secara simbolik menggambarkan perjalanan ke alam lain, menuju keabadian,” kata Ruslan sambil tersenyum, menggodaku.
“Mengapa, warna hitam dikaitkan dengan kematian, kesedihan, dan rasa berkabung dalam banyak budaya. Apakah cerminan ketidakpastian dan kegelapan di balik kematian?,” kataku mencoba mengikuti pikiran Ruslan.
“Hitam sering diasosiasikan dengan situasi gelap, artinya ketiadaan cahaya. Itu alasan mengapa kematian selaras dengan warna hitam. Kehidupan adalah cahaya, kematian adalah kegelapan. Seperti aliran listrik, lampu hidup menerangi, lampu mati menggelapi. Kematian adalah kegelapan karena ketiadaan aliran listrik.”
“Bahkan menentukan kapan seseorang dianggap mati juga cukup problematik,” lanjut Ruslan semakin antusias. “Mendefinisikan kematian bisa berbeda dari sudut pandang medis dan hukum. Menentukan kapan mati tidak mudah, karena berhentinya fungsi kehidupan tidak terjadi secara serentak di seluruh organ tubuh.”
“Semula, definisi kematian adalah ketika pernapasan dan detak jantung berhenti,” Ruslan makin antusias berceramah soal kematian. “Namun, dengan adanya teknologi CPR dan defibrilasi, alat bantu pernapasan dan jantung, kematian busa ditunda. Kematian otak adalah definisi berikutnya, karena dengan tidak berfungsinya otak, kepribadian dan karakter sebagai individu manusia sudah mati. Tidak adanya aktivitas sinyal listrik di otak adalah indikasi kematian, berakhirnya kesadaran.”
Aku mulai tertarik dengan uraian Ruslan, mengaitkan kematian dengan kesadaran. “Apakah konsep ruh boleh jadi terkait dengan kehidupan berbasis kesadaran, adanya aliran listrik di otak? Ada banyak mahluk hidup namun tidak memiliki kesadaran, sehingga tidak dianggap memiliki ruh?”
“Dalam tradisi agama Abrahamik dan Dharmaik, kematian diyakini bukan berarti berakhirnya ruh kesadaran. Ruh yang sadar akan masuk dalam kehidupan melalui lahirnya manusia baru. Jangan-jangan kesadaran, atau ruh dalam keyakinan agama, adalah aliran listrik semesta yang tertangkap otak manusia sebagai receiver?” Tanyaku dengan nada menggoda.
Hidup manusia, dan kesadarannya, mirip seperti smartphone, mati ketika kehabisan daya listrik. Smartphone hilang kemampuan operasionalnya (kesadarannya), saat tidak ada kuota internet atau sinyal WiFi. Kalau saja daya hidup manusia bisa diisi ulang, recharged, sebagaimana baterei smartphone, sehingga manusia tidak perlu mati. Mungkinkah?
(Bersambung)
Pertama, saya akan membahas tentang konsep kesadaran dan ruh dalam pandangan Einstein. Einstein adalah seorang ilmuwan yang percaya pada keberadaan Tuhan, tetapi bukan dalam arti agama Abrahamik atau Dharmaik.
Ia mengagumi hukum-hukum alam yang harmonis dan indah, dan menganggapnya sebagai ekspresi dari kecerdasan tertinggi yang ia sebut sebagai “Tuhan”. Ia menulis dalam suratnya pada tahun 1950¹:
> A human being is a part of the whole called by us universe, a part limited in time and space. He experiences himself, his thoughts and feeling as something separated from the rest, a kind of optical delusion of his consciousness. This delusion is a kind of prison for us, restricting us to our personal desires and to affection for a few persons nearest to us. Our task must be to free ourselves from this prison by widening our circle of compassion to embrace all living creatures and the whole of nature in its beauty.
Dari kutipan ini, kita bisa melihat bahwa Einstein tidak memandang kesadaran atau ruh sebagai sesuatu yang terpisah dari alam semesta, melainkan sebagai bagian dari keseluruhan yang terbatas oleh ruang dan waktu. Ia juga mengkritik pandangan yang menganggap diri sendiri sebagai pusat dari segala sesuatu, dan mengajak kita untuk memperluas cakrawala belas kasih kita kepada semua makhluk hidup dan alam semesta. Jadi, bagi Einstein, kesadaran atau ruh bukanlah aliran listrik semesta yang tertangkap otak manusia sebagai receiver, melainkan suatu pengalaman subjektif yang timbul dari keterhubungan kita dengan alam semesta.
Kedua, saya akan membahas tentang rumus anti materi dan kemungkinan untuk mengisi ulang daya hidup manusia.
Anti materi adalah materi yang terdiri dari antipartikel, yaitu partikel yang memiliki massa, muatan listrik, dan momen magnetik yang sama dengan partikel biasa, tetapi berlawanan tanda.
Misalnya, antipartikel dari elektron adalah positron, yang memiliki muatan positif. Bila materi dan anti materi bertemu, mereka akan saling menghancurkan dan melepaskan energi besar dalam bentuk sinar gamma atau partikel elementer. Proses ini disebut anihilasi, dan energinya dapat dihitung dengan rumus E = mc2, di mana E adalah energi, m adalah massa, dan c adalah kecepatan cahaya².
Rumus ini menunjukkan bahwa massa dan energi adalah dua sisi dari koin yang sama, dan dapat saling berubah. Ini berarti bahwa teoretis mungkin untuk menciptakan materi dari energi, atau sebaliknya.
Namun, dalam praktiknya hal ini sangat sulit dilakukan, karena membutuhkan energi yang sangat besar dan teknologi yang canggih.
Salah satu tantangan utama adalah bagaimana menyimpan dan mengendalikan anti materi tanpa menyebabkannya anihilasi dengan materi biasa.
Salah satu cara yang digunakan oleh para ilmuwan adalah dengan menggunakan perangkap Penning³, yaitu suatu alat yang menggunakan medan listrik dan magnet untuk menjebak antipartikel dalam ruang hampa udara.
Jika kita bisa membuat anti materi dalam jumlah besar dan menggunakannya sebagai sumber energi, maka mungkin kita bisa mengisi ulang daya hidup manusia dengan cara mengubah sebagian massa tubuh kita menjadi energi.
Namun, hal ini juga memiliki risiko yang sangat besar, karena jika terjadi kesalahan dalam prosesnya, maka kita bisa meledak dengan dahsyat. Selain itu, kita juga harus mempertimbangkan dampak etis dan moral dari hal ini.
Apakah kita berhak untuk memperpanjang hidup kita dengan cara seperti ini? Apakah kita tidak akan kehilangan makna hidup kita jika kita tidak pernah mati? Apakah kita tidak akan merusak keseimbangan alam semesta dengan cara ini?
Source:
(1) Albert Einstein Quotes About Consciousness | A-Z Quotes. https://www.azquotes.com/author/4399-Albert_Einstein/tag/consciousness.
(2) ALBERT EINSTEIN quotes about Consciousness – Inspiring Quotes. https://www.inspiringquotes.us/author/3804-albert-einstein/about-consciousness.
(3) 35 Brilliant Albert Einstein Quotes | Reader’s Digest. https://www.rd.com/article/albert-einstein-quotes/.
(4) Antimatter – Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Antimatter.
(5) Antimatter | Definition & Facts | Britannica. https://www.britannica.com/science/antimatter.
(6) Antimatter – The Physics Hypertextbook. https://physics.info/antimatter/.
Thanks Nugi untuk komentar yang komprehensif
Ikuti terus sampai akhir Mbak Tati, endingnya Epic, “membuka rahasia semesta cosmic.” 🙂
Keren.
Menarik untuk terus baca