Barangkali Carl Edward Sagan merupakan pemopuler sains yang paling sukses dalam meraih misinya. Ia juga bisa dibilang salah satu perintis di bidang ini; yaitu upaya menanamkan pemahaman dan kecintaan terhadap sains di kalangan awam.

Dua rekan science populizer sezamannya juga sukses, terutama melalui karya-karya fiksi ilmiah (sci-fi) mereka, yaitu Issac Asimov (profesor kimia yang melahirkan lebih dari 500 buku) dan Arthur C. Clarke (peminat fisika, yang juga meminati dunia bawah-laut, yang karyanya difilmkan dengan sukses, 2001: The Space Oddyssey).
Tapi Carl Sagan tak tertandingi. Film dokumenter yang dibuat berdasarkan karyanya, Cosmos, ditonton lebih dari 500 juta orang; ia sendiri yang menjadi narator film ini. Ia juga menulis novel yang kemudian difilmkan dengan sukses, Contact. Karya lainnya yang mashur adalah A Pale Blue Dot, predikat puitis yang kemudian populer untuk menyebut ketakberartian bumi di tengah alam semesta raya yang maha besar dan luas, yang sekadar bagaikan “bintik biru-pucat” belaka.
Belakangan makin banyak ilmuwan yang ingin menjangkau publik yang lebih luas, dengan cara menyajikan temuan-temuan sains dengan sederhana agar dapat dipahami orang awam, bukan hanya menjadi bahan perbincangan di kalangan sesama ahli.
Fisikawan-fisikawan seperti Michio Kaku, Neil deGrasse Tyson, Brian Greene, Lawrence Krauss, Sean Carrol, Stephen Hawking (melalui bukunya yang laris di seluruh dunia, dan dibuat pula versi anak-anaknya, A Brief History of Time) termasuk dalam barisan ini. Juga ahli neurosains dan filosof Daniel Dennet. Yang termasuk paling menonjol, karena telak membidik kepercayaan agama dengan temuan-temuan sains, adalah ahli biologi molekuler dari Inggris, Richard Dawkins.
Sagan juga terkenal karena prosanya yang indah, yang juga terlihat dalam pernyataan-pernyataan lisannya yang fasih. Bagi Richard Dawkins, keistimewaan Sagan dalam hal ini membuatnya layak mendapatkan Hadiah Nobel Kesusastraan. Hadiah Nobel di bidang ini memang tidak eksklusif hanya untuk para sastrawan atau seniman. Di tahun 1950an Perdana Menteri Inggris Winston Churchill meraihnya untuk pidato-pidato politiknya yang inspiratif, kuat dan berprosa baik.
Berikut ini adalah pernyataan Carl Sagan menjelang kematiannya (1996), yang dimuat dalam kumpulan esai yang diterbitkan setelah ia wafat, Billions and Billions: Thoughts on Death and Life at the Brink of the Millenium:
Saya sangat ingin mempercayai bahwa saat saya mati, saya akan hidup lagi; bahwa ada bagian dari diri saya yang akan terus berlanjut, dalam hal berpikir, merasa dan mengenang. Namun, betapapun saya ingin mempercayainya, dan meskipun ada tradisi budaya kuno di seluruh dunia yang mengatakan ada kehidupan setelah kematian, saya tidak pernah tahu ada bukti konkret yang menunjukkan hal itu, selain harapan belaka.
Saya ingin menjadi tua bersama isteri saya, Annie, yang sangat saya cintai. Saya ingin melihat anak-anak saya yang lebih muda tumbuh dewasa, dan saya ingin ikut berperan dalam perkembangan karakter dan intelektual mereka. Saya ingin bertemu cucu-cucu yang belum lahir. Ada pertanyaan ilmiah yang saya ingin saksikan jawabannya — seperti eksplorasi beragam dunia di Tata Surya kita dan pencarian kehidupan di tempat lain.
Saya ingin memahami bagaimana tren utama dalam sejarah manusia memengaruhi dunia kita, baik yang membawa harapan maupun kekhawatiran; saya ingin tahu bahaya dan harapan yang dihadirkan oleh teknologi kita; saya ingin tahu hasil dari gerakan pembebasan perempuan; meningkatnya kekuatan politik, ekonomi dan teknologi Cina; penerbangan antarbintang, interstellar. Jika ada kehidupan setelah kematian, saya mungkin bisa memenuhi sebagian besar rasa ingin tahu dan kerinduan yang mendalam ini, tak penting kapanpun saya meninggal.
Namun, jika kematian hanya berarti tidur tanpa mimpi yang tak berujung, ini adalah harapan yang mustahil terwujud. Mungkin pandangan ini memberi saya motivasi ekstra untuk tetap hidup. Dunia ini sangat indah, penuh dengan cinta dan kedalaman moral, sehingga tiada alasan untuk menipu diri sendiri dengan cerita-cerita yang indah tanpa bukti yang baik.
Jauh lebih baik, menurut saya, dalam kerentanan kita, adalah menatap Kematian dengan tulus dan bersyukur setiap hari atas kesempatan singkat namun luar biasa yang diberikan oleh kehidupan ini.
***
Carl Sagan, yang lahir di New York pada 1934 dari orangtua imigran Ukraina, wafat dalam usia relatif muda, 62 tahun. Isterinya yang terakhir (ke-3), Ann Druyan, menuturkan:
Ketika suami saya meninggal dunia, karena ia termashur dan dikenal sebagai orang yang tak beriman, banyak orang yang bertanya kepada saya — sampai sekarang pun masih ada saja yang bertanya — apakah Carl akhirnya berubah dan percaya kehidupan di akhirat.
Mereka juga sering bertanya apakah saya percaya akan berjumpa lagi (dengan suami saya). Carl menghadapi kematian dengan keberanian yang kokoh dan tak pernah mencari pengungsian di dalam khayalan-khayalan. Memang tragis bahwa kami tahu tidak akan saling bertemu lagi. Saya sendiri tidak berharap bisa bersama lagi dengan Carl. ***
Terima kasih Pak Hamid untuk tulisan yang selalu hening bening lembut dan syahdu.
Tulisan lembut oenuh kerendahan hati yang selalu menginspirasi dan memberi ilmu.
Salam hormat