Pada tahun 1945, tidak lama setelah bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki, dalam sebuah forum diskusi tentang fisika, yang pembicaranya Albert Einstein, ada wartawan yang bertanya. Mengapa otak manusia yang sudah mampu mengungkap misteri dan struktur atom, tidak mampu mencegah agar (bom) atom tidak menghancurkan manusia? Einstein merespon, “jawabannya mudah, itu karena politik lebih rumit dari fisika.”
Jawaban Einstein adalah sebuah ironi. Anekdot tentang kompleksitas realitas politik, kebodohan, ambisi dan obsesi manusia pada kekuasaan, yang jauh lebih rumit untuk dipahami ketimbang ilmu yang paling rumit, fisika kuantum.
Film Oppenheimer, disutradai Christopher Nolan, yang kisahnya berbasis dari buku American Promotheus, memvalidasi kebenaran narasi Einstein soal rumitnya politik. Film biopic ini mengisahkan drama kehidupan J. Robert Oppenheimer, fisikawan teoritis yang dijuluki “Bapak Bom Atom”.
Seorang fisikawan sosialis dan pasifis, pembaca buku Bhagawat Gita yang ambigu. Hidupnya berkabut kontroversi, kontradiksi, dan tragedi. Bagi publik Amerika ia adalah pahlawan perang, bagi lawan politiknya ia adalah komunis dan pendusta.
Oppenheimer menjadi martir persekongkolan politik dan perburuan penyihir (witch hunt) McCarthyism, paranoia berlebihan pada komunisme di Amerika pasca-perang dunia kedua.
Sosok humanis yang cerdas, penjunjung prinsip keadilan sosial, namun naif secara politik. Oppenheimer mendukung program Amerika untuk memenangkan perlombaan senjata nuklir melawan Nazi Jerman dalam Perang Dunia Kedua.
Namun ia mempertanyakan, ketika bom atom yang ia buat dijatuhkan di Jepang. Kemudian ia bahkan menolak untuk terlibat dalam program pembuatan bom nuklir hidrogen, dan penggunaan bom atom.
Oppenheimer mengabdikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan dan pemikiran rasional. Namun pilihan hidupnya untuk berpartisipasi, mengkoordinasi pembuatan senjata pemusnah massal, Bom Atom, dianggap mirip kisah metaforis Faustus “perjanjian dengan setan”.
Seperti kisah Faustus, Oppenheimer berupaya menegosisasi perjanjiannya dengan pemerintah Amerika – dan ia dipersekusi karena berubah pikiran. Ia sukses memimpin fisikawan Amerika membuat bom atom, namun ketika ia mengingatkan bahaya senjata nuklir, negara mempertanyakan loyalitasnya. Dan mengadilinya.
Oppenheimer menghadapi persekusi politik dan cercaan publik, masa lalunya dibongkar, bahkan dianggap berkhianat dan menjadi ancaman bagi keamanan negara. Ia diinterogasi selama empat minggu, atas keterlibatannya dengan simpatisan komunis, pada masa mudanya.
Banyak koleganya menyarankan agar dia mencari suaka politik ke luar negeri. Pasti banyak universitas dan pusat riset nuklir di berbagai negara siap menerimanya. Ia menolak, dengan pedih ia berucap: “Saya terlalu mencintai negeri ini.” Satu ironi besar, Amerika yang dicintainya justru ingin menyingkirkannya.
Cuma kurang dari sembilan tahun, dari sosok yang dipuja sebagai pahlawan nasional, “Bapak bom atom” pada 1945, menjadi pesakitan tertuduh sebagai pengkhianat pada 1954. Tahun ketika kekuasaan politik berubah, pemerintahan beralih ke Partai Republik di bawah Presiden Dwight D. Eisenhower, sekonyong-konyong ia menjadi “ancaman keamanan” (security risk).
Oppenheimer menjadi korban kegilaan paranoia “ancaman komunisme” yang melanda Amerika, pasca-Perang Dunia Kedua. Setelah berhasil menaklukan Nazi Jerman, Amerika menghadapi musuh baru, Komunisme Soviet, yang ditakuti karena juga mampu membuat bom atom.
Gelombang paranoia antikomunisme di Amerika pasca perang, membuat Oppenheimer menjadi target perburuan. Ia harus menghadapi interogasi ala inkuisis era abad kegelapan, yang dilakukan komite kongres untuk mempersekusi siapapun yang dianggap simpatisan komunis. Rumahnya diawasi, telpon disadap, masa lalunya dikorek, termasuk privasi kehidupan seksualnya di masa muda.
Tuduhan dan penghinaan yang didakwakan ke Oppenheimer pada 1954 tidak unik di era McCarthy. Banyak elite politik dan selebriti yang dianggap bersimpati pada gerakan kiri, dianggap komunis. Namun yang dialami Oppenheimer unik dan menarik.
Pasca 1945, ketika hubungan Amerika Serikat-Soviet mulai memburuk, Oppenheimer giat berkampanye untuk perdamaian. Penolakannya untuk terlibat dalam pengembangan bom atom hidrogen (yang kekuatannya jauh lebih dahsyat dari bom atom berbasis Uranium dan Plutonium) mengkhawatirkan politikus di Washington dan militer di Pentagon.
Naiknya Partai Republik ke Gedung Putih, pada 1953, meningkatkan posisi para pendukung pengembangan bom nuklir. Oppenheimer berseberangan dengan Ketua Atomic Energy Commission (AEC) Lewis Strauss dan Direktur FBI J. Edgar Hoover, dan militer garis keras. Mereka bertekad membungkamnya, karena bisa menggagalkan atau menentang kebijakan mereka.
Aktivitasnya yang dianggap kiri, sesuatu yang lumrah di kalangan kaum muda, era 1930-an di Berkeley, dikait-kaitkan dengan penolakannya pengembangan senjata nuklir, rencana yang ia sebut sebagai genosida. Sikapnya membuat marah politik establishment di Washington.
Sedikitnya ada tiga puluh empat tuduhan yang didakwakan kepada Oppenheimer. Dari yang konyol, seperti “terdaftar sebagai pendukung kegiatan Friends of the Chinese People“, hingga yang bersifat politis, “menentang pengembangan bom hidrogen.”
Kebodohan politik mengalahkan kerumitan fisika. Bapak bom atom, pahlawan Amerika, dipersekusi oleh kebodohan politik. Einstein benar, politik memang lebih rumit dari fisika.
Add comment