ForSains

Teori Chaos dan Tragedi Kanjuruhan

Laga sepakbola antara Arema dan Persebaya berjalan baik, lancar, dan aman, sejalan dengan prinsip sportivitas. Namun kerusuhan terjadi setelah usai pertandingan, bukan antar-pemain yang berlaga, namun antara aparat dan suporter Arema yang turun ke lapangan. Kekalahan 3 -2 melawan Persebaya, mengecewakan sebagian suporter Arema, dan memicu rangkaian kekerasan yang mengubah stadion Kanjuruhan menjadi ladang kematian bagi sedikitnya 150 suporter.

Bagaimana pertandingan yang berlangsung aman dan lancar, dalam sekejap berubah menjadi tragedi kekerasan yang memilukan? Dipicu oleh segelintir pendukung Arema yang masuk ke lapangan untuk, menurut kesaksian, menumpahkan kekecewaan kepada pemain Arema. Kalau saja rasa kecewa itu direspon dengan simpatik, dan aparat keamanan tidak berlebihan dalam menghalau suporter, mungkin tragedi tak akan terjadi.

Namun aparat keamanan yang terbiasa berasumsi, kekecewaan suporter sepakbola  adalah “bom waktu” yang mudah meledak, bersikap over-reaktif. Alih-alih memadamkan kekecewaan, aparat justru menyalakan amarah, melalui aksi kekerasan.

Seperti terlihat di sejumlah video yang tersebar di media sosial, aksi aparat menghalau suporter dari lapangan menjadi tontonan kekerasan yang kemudian memicu rangkaian ledakan kekacauan. Upaya mengendalikan potensi kekacauan justru memicu kekacauan yang lebih besar. Seperti memadamkan api dengan minyak. Penggunaan gas air mata, menjadi pamungkas. Kekacauan bersimaharajalela, membunuh ratusan anak manusia.

Bagaimana memahami kekacauan bisa terjadi, dalam hitungan menit, dari situasi yang semula damai dan ceria? Ribuan pendukung bola datang ke stadion untuk merayakan kegembiraan menyaksikan tontonan. Termasuk mengantisipasi kekecewaan secara wajar, jika kesebelasan idolanya kalah. Bagaimana kekacauan bisa muncul dari keteraturan?

Dalam dunia fisika proses terjadinya kekacauan itu bisa dideteksi, atau diantisipasi, dengan menggunakan pendekatan “Teori Chaos”. Sains yang menjelaskan perilaku alam yang bersifat kontingen, tidak pasti, sulit diprediksi karena sangat dinamis.

Contoh penerapan teori chaos adalah mengidentifikasi pola gerakan awan di langit, ombak di lautan, aliran sungai, perubahan cuaca, kebakaran hutan, munculnya badai dan semacamnya.  Teori chaos berupaya menemukan pola umum adanya “keteraturan” dibalik terjadinya kekacauan.

Edward Lorenz merumuskan Teori Chaos, pada 1961, setelah berhasil membuat simulasi pola cuaca—berbasis 12 variabel, dari temperatur hingga kecepatan angin—menggunakan komputer sederhana. Lorenz berteori: dibalik keacakan sistem dan fenomena alam yang  kompleks terdapat pola, fraktal, keteraturan yang berulang dan ada pengorganisasian-diri.

Keacakan (randomness) dan terbentuknya pola kekacauan bergantung pada kondisi awal. Teori Chaos, secara salah-kaprah, populer dengan analogi “The butterfly effect”, perubahan kecil (sistem atau kondisi) bisa berakibat perbedaan besar. “Kepakan kupu-kupu di China bisa menyebabkan badai di Amerika”. Kekecewaan satu dua suporter Arema yang turun ke lapangan, memicu kekerasan aparat, dan menyebabkan tragedi ratusan jiwa mati di stadion Kanjuruhan.

Contoh lain, wabah Covid-19 adalah situasi yang bisa dijelaskan dengan Teori Chaos. Virus yang menginfeksi beberapa orang di Wuhan bisa mengguncang dunia. Dunia virus berpola deterministik, namun ketika terjadi perubahan situasi, berpindah menginfeksi manusia, pengaruhnya tidak lagi mudah diprediksi. Virus memicu kekacauan (chaos) namun tetap bisa dideteksi polanya.

Edward Lorenz mengintroduksi istilah “determinist chaos:” apa yang terjadi saat ini menentukan masa depan, namun tidak pasti (bersifat kontingen)—tergantung banyak faktor. Lima menit lalu situasi masih teratur, namun lima menit kemudian kekacauan terjadi. Dalam konteks tragedi Kanjuruhan, ekspresi kekecewaan segelintir suporter, laiknya virus, menginfeksi sejumlah aparat untuk bertindak brutal dan mendorong kekacauan seluruh penonton di stadion.

Teori Chaos dapat memprediksi suatu kondisi dengan tiga syarat: seberapa besar ketidakpastian bisa ditolerir, seberapa akurat kondisi bisa diukur, dan skala waktu dinamika situasi. Teori Chaos telah mengubah paradigma manusia dalam memahami dunia dan peristiwa, dar perubahan cuaca, bencana alam, hingga peperangan.

Bagaimana menjelaskan “kekacauan” alam dan perilaku manusia dalam keramaian, serta cara mengelolanya, bisa dilakukan dengan memakai simulasi Teori Chaos. Bagaimana mengantisipasi dan memitigasi terjadinya wabah penyakit, bencana alam, kekacauan sosial, hingga kerusuhan akibat sepak bola.

Sepakbola adalah salah satu sarana untuk menyalurkan agresivitas manusia. Sifat agresif yang tertanam dalam DNA manusia, sering memicu percekcokan, perkelahian hingga peperangan. Itu sebabnya ada sejumlah aturan yang disepakati dalam permainan bola. Termasuk juga ketentuan diberlakukan untuk penonton, aparat keamanan, serta persyaratan stadion tempat diselenggarakan.

Kekacauan mematikan di stadion Kanjuruhan mungkin tidak akan terjadi jika kapasitas stadion yang hanya menampung 30 ribu orang tidak dijejali lebih dari 47 ribu penonton. Juga akses keluar masuk untuk penonton diperbanyak, pintu dibuka beberapa menit sebelum pertandingan usai, untuk mempermudah penonton yang ingin pulang awal.

Kekacauan stadion Kanjuruhan tidak akan terjadi jika pagar yang membatasi stadion dan tribun penonton tidak mudah dilompati; jika aparat lebih simpatik; jika polisi tidak menembakkan gas air mata secara membabi buta, dan jika-jika lainnya.

Namun kekacauan telah terjadi, merenggut ratusan nyawa manusia. Pengandaian hanya akan berguna jika digunakan sebagai pelajaran (lesson learned) untuk memastikan tragedi dan kekacauan tidak akan terjadi lagi. Setidaknya bisa diantisipasi.

Teori Chaos yang lazim dipakai untuk memprediksi fenomena alam, untuk menemukan pola keteraturan dalam kekacauan, juga bisa diterapkan dalam sistem sosial. Dengan asumsi, ketidakpastian sitasi sosial bisa disimulasi melalui upaya preventif dan mitigasi, sehingga ketidakpastian bisa dipastikan. Dan kekacauan, seperti yang terjadi di stadion Kanjuruhan, bisa diantisipasi, tanpa meminta banyak korban.

 

Lukas Luwarso

Lukas Luwarso

Add comment

Ukuran Huruf