ForSains

Al-Quran dan Sains

Oleh: Abdullah Wong

Al-Quran sebagai Firman Tuhan, sebenarnya tak cukup jika dibatasi hanya dengan kumpulan teks-teks yang telah dikodifikasi atau dibukukan itu. Sebenarnya ada tiga buku yang menjadi Firman Tuhan, yaitu buku, manusia dan alam.

Dalam pandangan Islam, Nabi Muhammad memeroleh wahyu dari Allah.  Ketika Allah menurunkan wahyu kepada Nabi artinya ada sesuatu yang tersembunyi kemudian ditampilkan kepada Nabi. Jika al-Quran menampakkan yang tersembunyi, lalu apa yang tersembunyi itu?

Yang tersembunyi itu ada dua, yaitu Al-Ghaib (the Hidden) dan ghaib (a hidden). Al-Ghaib adalah yang tersembunyi secara utuh dan mutlak sedangkan ghaib adalah segala yang tersembunyi secara partikular, misalnya jin, malaikat, rahasia ilmu Tuhan, rahasia alam, dan seterusnya. Semua itu ghaib. Tapi  Tuhan Maha Tersembunyi (Al-Ghaib) sehingga melampaui semua yang ghaib.

Sebagai Yang Maha Tersembunyi, Tuhan tidak bisa diakses manusia lewat rasionalitas manusia, apalagi hanya dengan panca indra. Karena mengakses Yang Maha Tersembunyi secara langsung tidak mungkin, maka dibutuhkan perantara yang kemudian disebut wahyu.

Akan hal ini, sebagian ulama menjelaskan bahwa sesuatu yang tersembunyi itu adalah hakikat-hakikat Ilahiyah (Divine Realities). Lebih jauh bisa dijelaskan bahwa Divine Realities itu tersembunyi di “sini”, di dalam batin, kemudian ditampakkan, be real. Sampai di sini kita sadar bahwa hakikat wahyu adalah penyingkapan Tuhan (revelation).

Pertanyaannya, pewahyuan (revelation) ini berlangsung di mana? Dalam pandangan Tauhid, pewahyuan itu berlangsung di dalam Jiwa Nabi. Secara spesifik di Qalbu Nabi. Maka Qalbu seperti wadah dari the Divine Realities. Karena qalbu Nabi itu berada di dalam batin Nabi, maka siapa pun tidak dapat melihat.

Peristiwa ini begitu personal karena hanya Nabi yang menyadari dan mengalami. Jika penyingkapan itu berlangsung di dalam hati Nabi, itu artinya Diri-Nya telah dimanifestasikan dalam qalbu Sang Nabi. Di sini, Nabi melihat segala yang tersingkap di dalam diri Nabi, bukan di luar diri Nabi.

Setelah Nabi mengalami ketersingkapan, Nabi menyampaikan kepada kita. Inilah penyingkapan kedua. Penyingkapan Pertama dari Tuhan kepada Nabi, penyingkapan kedua dari Nabi kepada kita dengan menggunakan bahasa manusia.

Satu hal yang kemudian menjadi problem bagi kita adalah ketika Nabi harus menyampaikan kepada kita dengan menggunakan bahasa manusia. Karena Nabi secara geografis berasal dari Arab dimana komunikasi yang berlangsung saat itu adalah dengan Bahasa Arab maka bahasa yang paling mungkin digunakan adalah Bahasa Arab.

Tentu saja al-Quran adalah pembicaraan Tuhan (kalamullah), bukan pembicaraan Nabi. Karena apa yang ada dalam al-Quran itu bukan yang ingin dikatakan Nabi, tapi segala apa yang tersingkap dari-Nya.

Di sini kita dapat merenungkan bahwa transmisi pewahyuan dapat berlangsung melalui buku (kitab). Artinya, al-Quran adalah satu di antara bentuk pewahyuan yakni dalam bentuk (form) buku. Ketika format buku yang dipilih niscaya ada bahasa di dalamnya.

Sementara, pewahyuan (revelation) tidak terbatas hanya dalam bentuk buku atau kitab, tapi terjadi dalam bentuk alam. Segudang ayat menjelaskan akan hal ini. Dalam hal ini, ketika pewahyuan adalah penyingkapan Yang Tersembunyi, maka begitu juga dengan segala apa yang terjadi pada alam semesta. Artinya, jika kita mau merenungkan dan menembus semesta secara mendalam melalui sains misalnya, akhirnya bermuara kepada-Nya juga.

Selain buku dan alam sebagai bentuk pewahyuan, manusia juga menjadi salah bentuk pewahyuan. Ini berlangsung pada Isa al-Masih yang menjadi the word of God.

Dalam al-Qur’an disebutkan, ketika Allah mengatakan kepada Maryam bahwa “Aku akan karuniakan kepada kamu satu kata (a word).” Di sana Allah tidak menggunakan istilah anak, tetapi Allah menggunakan kata.

Kata di sini tentu bukan dalam arti kata benda, kata sifat, kata ganti, atau kata keterangan, tapi keberadaan (existent). Artinya, keberadaan manusia adalah wahyu itu sendiri.  Al-Quran dalam Surat Az-Zariyat ayat 21 menyebutkan, “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memerhatikan?”

Dari ketiga uraian di atas, kita menemukan bahwa pewahyuan dapat berlangsung dalam ragam bentuk. Berbentuk buku (kitab) seperti dalam tradisi Islam dan Yahudi; berbentuk manusia seperti dalam tradisi Kristiani. Dan berbentuk alam semesta seperti yang ditemukan dalam tradisi Hindu atau Buddha.

Bila al-Quran adalah pewahyuan dalam bentuk buku, itu artinya apa yang kita peroleh adalah bukan penyingkapan itu sendiri sebagaimana yang dialami Nabi tapi Ekspresi yang disampaikan Nabi atas penyingkapan yang Nabi alami.

Pertanyaannya, al-Quran yang kita hadapi ini wahyu atau hanya ekpresi wahyu itu? Tentu saja al-Quran adalah ekspresi wahyu.  Sehingga ketika Nabi mengartikulasikan wahyu dalam satu bahasa spesifik kepada kita sementara kita belum mendapat penyingkapan maka kita hanya mendapatkan sebuah interpretasi.

Dalam situasi ini, Nabi tidak butuh interpretasi atau tafsir sebagaimana kita. Karena Sang Nabi sendiri yang menyadari dan mengalami pewahyuan. Sehingga dapat kita simpulkan, upaya memahami al-Quran adalah upaya tafsir atas apa yang disampaikan Sang Nabi, bukan menguak hakikat dari apa yang dialami dan diwahyukan atas Sang Nabi. Inilah mengapa upaya menafsir al-Quran merupakan pekerjaan yang sangat berat.

Relasi Sains dan Al-Quran

Terkait relasi Sains dan Al-Quran, penulis pernah mendapat sebuah pertanyaan, “Mungkinkah Al-Qur’an yang di antaranya berisi pengetahuan tentang misteri alam semesta dapat membantu para ahli astrofisika dunia yang belum mampu menguak misteri Dark Energy dan Dark Matter sebagai elemen terbesar penyusun alam semesta?”

Jawaban penulis, pertama mungkin dan kedua tidak mungkin.

Mungkin terjadi jika ahli Quran menempatkan al-Quran, alam dan manusia secara sejajar sebagai Firman Allah. Tapi faktanya, kebanyakan ahli al-Quran menganggap hanya al-Quran sebagai firman Tuhan yang sakral. Kalau pun menganggap alam semesta sebagai ayat (sign), hal demikian hanya dalam konteks untuk meneguhkan siapa penciptanya.

Mestinya ahli al-Quran sadar, jika untuk melakukan tafsir terhadap kitab suci dibutuhkan perangkat-perangkat pendukung seperti pemahaman kaidah-kaidah bahasa, metafor, lambang-lambang, dan sebagainya yang terkumpul dalam ilmu-ilmu al-Quran (Ulum al-Qur’an); maka begitu pula saat menafsir alam dan manusia. Ahli Al-Quran mesti patuh kepada kaidah-kaidah sains dan manusia.

Selama ini, yang berlangsung dalam sistem kerja tafsir adalah upaya menyingkap makna-makna yang tersembunyi pada kata atau kalimat di dalam al-Quran. Mengapa kita mesti menyingkap makna yang ada di balik huruf atau kata-kata itu semua? Tentu saja demi menemukan tujuan obyektif atau pesan al-Quran sesungguhnya.

Dalam pandangan ahli batin Al-Quran dikenal empat tahapan dalam menemukan pesan al-Quran. Pertama pendekatan yang baru sampai di wilayah isyarah (marking); kedua masuk dalam wilayah ‘Ibarah (metafor); ketiga masuk lagi ke dalam wilayah lathaif (software); dan keempat masuk dalam wilayah haqaiq (The Real).

Wilayah pertama biasanya disadari oleh mereka yang akrab dalam dunia gramatika bahasa. Mereka adalah para ahli susastra. Wilayah kedua akan ditemukan oleh mereka yang menyadari bahwa al-Quran adalah sistem kode yang kompleks dan komprehensif. Wilayah ini akan ditembus oleh mereka yang dibukakan kesadaran nalar yang sangat kuat. Wilayah ketiga dinikmati oleh para ‘arifin yang telah tersingkap hatinya; sedangkan untuk wilayah keempat hanya bisa dinikmati oleh para Nabi.

Rahasia-rahasia semesta yang menjadi diskursus para astrofisikawan misalnya, sering menjadi pembahasan dan ekspresi ringan para sufi dalam stasiun-stasiun spiritual mereka. Bagi yang tak memahami wilayah ini, mereka sering bicara tentang sisi gelap dan relung tak berwarna yang tak terbayang dalam imaji dan kata-kata.

Sebagai sebuah analogi dari temuan sains tentang dark matter atau dark energy, perkenankan saya mengajak dalam sebuah renungan. “Semua kaum beriman percaya bahwa Tuhan Maha Memberi. Tapi apakah Tuhan Memberi karena permintaan hamba-Nya?”

Jika Tuhan memberi karena permintaan hamba, maka tuhan adalah obyek yang menjadi akibat, dan kita adalah sebab. Jika kita berasumsi bahwa tuhan memberi karena permintaan kita, maka ada momen ketika tuhan tidak sedang memberi. Jika tuhan tidak sedang memberi, maka Maha Pemberi yang dimaksud sejak awal menjadi terbatas.

Padahal, secara azali, Tuhan Maha Pemberi terus menerus memberi secara perpetual sebelum hamba meminta, bahkan jauh sebelum alam semesta ini diciptakan. Karena keberadaan semesta ini juga merupakan anugerah pemberian Tuhan.

Lalu kenapa kita mesti meminta dengan berdoa kepadaNya? Itu artinya, khazanah Maha PemberianNya begitu berlimpah ruah tinggal bagaimana kita bersedia dalam mengakses atau kesungguhan dalam mengunduh limpahan Rahmat atau Kasih-Nya. Dan berdoa atau meminta itu tak melulu dengan teks-teks atau mantra-mantra, bisa juga dengan kerja nyata. Selama di dalamnya berlangsung kesadaran tidak berdaya dari hamba, lalu dia bekerja keras memohon limpahan Rahmat-Nya, maka ia telah berdoa.

Dari sini, kita bisa membayangkan bagaimana teori Big Bang, Black Hole, Dark Matter atau Dark Energy yang menggemparkan itu. Sejumlah teori itu seakan baru disadari lantaran temuan para ahli sains. Apakah fakta atau temuan para ahli astrofisika itu sebagai puncak tersingkapnya realitas? Tentu bukan. Para astrofisikawan akan terus mengungkap misteri alam yang sejauh ini dianggap tak terbatas itu.

Bicara Dark Matter atau Dark Energy misalnya, meski tak sepadan, mungkin kita dapat mengingat fakta fisika mengenai bola gas raksasa yang terdiri atas gas hidrogen yang kita sebut matahari. Di bagian inti matahari, gas-gas hidrogen saling bertumbukan dalam tekanan yang super dahsyat dan suhu yang sangat panas.

Ini mirip reaksi fusi nuklir, ketika dua unsur hidrogen diubah menjadi helium. Sehingga memungkinkan suhu inti matahari menjadi sangat panas; konon sekitar 15 juta derajat Celcius, sehingga atom-atom hidrogen itu menjadi campuran plasma yang pada akhirnya membuat proton dan elektorn dapat bergerak begitu bebas.

Proses pembakaran matahari berbeda dengan pembakaran yang terjadi di bumi. Matahari tidak butuh oksigen dalam menghasilkan panas, sehingga matahari sendiri tidak terbakar. Dalam bahasa fisika, panas yang dihasilkan matahari bukan melalui reaksi oksidasi tapi melalui reaksi fusi.

Lalu bagaimana panas matahari sampai ke bumi sementara melewati ruang hampa yang gelap? Sementara di bumi kita merasakan cahaya matahari begitu terang benderang? Fisika menjawab bahwa dalam peristiwa radiasi, kalor berpindah dalam bentuk cahaya. Karena cahaya dapat merambat dalam ruang hampa udara, maka kalor dari matahari juga dapat merambat melintas ruang hampa sehingga sampailah panasnya di permukaan bumi.

Ketika para ilmuwan punya ide tentang Dark Matter, salah satunya menyatakan bahwa Dark Matter terdiri dari partikel yang tidak dapat berinteraksi dengan materi normal seperti cahaya, tapi masih memiliki efek gravitasi, maka al-Quran secara koding membahas sistem barzakh yang di dalamnya tidak tercampuri wilayah yang lain.

Akhirnya, secara harfiah, Al-Quran memang tidak menjelaskan secara gamblang seluruh fakta dan misteri alam. Tapi secara koding, begitu banyak rahasia yang mesti disingkap dari Al-Quran. Dan ini hanya akan berlangsung jika pembaca al-Quran tak berhenti kepada susunan teks dan sistem bahasa belaka, tapi jauh menembus itu semua.

Diperlukan kejernihan batin yang diperoleh melalui rangkaian perjalanan ruhaniah. Karena manusia secara paripurna bukan semata raga (jasmani), tapi juga jiwa (mind), dan ruhani (spirit). Untuk itu penulis sangat yakin, bahwa setelah temuan Dark Matter dan Dark Energy, kelak ditemukan juga Light Matter atau Light Energy, atau apapun istilahnya; dan begitu seterusnya sebagai bukti bahwa misteri alam begitu tak terperi. Wallahu a’lam.

Penulis adalah pengaji tasawuf.

Lukas Luwarso

Lukas Luwarso

Add comment

Ukuran Huruf