Oleh: Abdullah Wong
Dr. Zakir Naik dikenal publik sejak tahun 1990-an. Lewat aktivitas dakwahnya bersama Islamic Research Foundation (IRF), atau Yayasan Penelitian Islam, Zakir Naik dikenal sebagai ahli sains Islam. Sebagai cendekiawan muslim dan mubaligh ia menulis sejumlah buku keislaman dan perbandingan agama. Dokter medis ini terkenal lewat berbagai ceramah yang memukau audiensnya, dengan gaya tutur dan logika yang ia bangun.
Bagi penulis, sosok Zakir Naik adalah salah satu potret dari sekian ulama Islam yang memberi pandangan atau reaksi terhadap sains modern plus gerak dan sikap politik global. Menurutnya, sejumlah temuan sains modern jauh sebelumnya sudah dinujumkan oleh Al-Quran. Dengan piawai ia menyitir ayat tertentu yang ia tafsirkan mengarah kepada perolehan atau perkembangan sains modern.
Sejatinya, tidak ada hal yang baru dari metode Zakir Naik. Sejauh ini, belum ditemukan suatu metodologi tertentu yang ditawarkan yang kemudian dapat disebut sebagai metodologi sains Islam. Sependek pengamatan penulis, apa yang dilakukan oleh Zakir Naik dalam memahami sains berupa labelisasi atau ayatisasi terhadap sains modern.
Bagi saya, ayatisasi yang dilakukan sarjana muslim seperti Zakir Naik, seperti menyiratkan pesan bahwa Islam tak perlu pusing soal sains, karena Al-Quran begitu komprehensif memberikan informasi tentang segalanya. Jika hal demikian yang “sampai” kepada audiens, upaya Zakir Naik bukan memberikan inspirasi, alih-alih hanya meninabobokan kaum muslim.
Tanpa sadar, sikap Zakir Naik yang demikian justru menjadikan Al-Quran sekadar sebagai rujukan dalil ketika ditemukan sejumlah fakta atau kasus sains tertentu. Nalar aqal yang sebenarnya diagungkan oleh Al-Quran ternyata cukup ditempatkan sebagai juri untuk memberikan afirmasi moral semata. Sains yang dibangun berdasar penalaran logis cukup digerus oleh pandangan moral mengatas-namakan dalil agama atau firman Tuhan, karena dinggap akan memengaruhi eksistensi Tuhan.
Misalnya teori Big Bang. Sebuah teori besar yang menjelaskan asal usul munculnya alam semesta, dimulai dari singularitas energi hingga mengembang menyusun ruang-waktu, dan materi. Bermula dari spekulasi Einstein (1917), teori persamaan medan gravitasi, hingga observasi dan perhitungan matematis Edwin Hubble.
Dari teori ini muncul sejumlah spekulasi, di antaranya, bagaimana kedudukan Tuhan? Saat sains menjelaskan teori ini, menurut saya, tidak sedang berkepentingan untuk menjelaskan tentang kedudukan Tuhan. Maka sepatutnya, kaum agamawan tak perlu risau terhadap teori Big Bang ini.
Problem muncul ketika fakta sains itu dibarengi atau didukung dengan pandangan filsafat yang memertanyakan tentang asal usul realitas, termasuk keberadaan Tuhan. Polemik pun terjadi. Muncul pandangan bahwa Tuhan tidak ada karena alam bekerja secara mekanis dengan sendirinya.
Jika pandangan atau sikap tentang tidak ada Tuhan disebut ateis, maka sikap ber-ateis sebenarnya bukan perkara baru dalam hal keberimanan seseorang. Di abad pertengahan, sejarah menyebut banyak pemikir atau filsuf yang memilih ateis. Menurut saya, sikap ateis mereka lebih karena kekecewaan terhadap para agamawan, ketimbang persoalan temuan sains.
Untuk new-atheis sedikit berbeda. Sikap dan pilihan mereka berangkat dari temuan sains yang meyakinkan, bahwa asal usul realitas itu telah ditemukan. Mungkin mendiang Stephen Hawking berada pada sikap ini. Dalam buku The Grand Design, Hawking mengungkap asal-usul alam semesta. Baginya, alam semesta dan kehidupan tercipta secara spontan, serta merta karena ada peluang untuk itu. Sehingga Alam semesta tidak butuh campur tangan sang pencipta.
Merujuk pandangan tauhid, penulis setuju pada sikap ateis. Jika ateis yang dimaksud adalah sikap tidak percaya kepada tuhan yang dikonsepsikan, dinalar, dimaterialkan, dibayangkan, maka saya setuju. Justru sikap demikian sejalan dengan prinsip tauhid dalam tradisi Islam. Tauhid tidak mengenal tuhan yang dibuat oleh akal.
Dalam pandangan Tauhid, manusia tidak perlu menyembah tuhan yang dikonsepsikan, atau dilahirkan oleh apa dan siapapun termasuk oleh pikiran manusia (lam yalid wa lam yulad). Jika tuhan yang disembah adalah produk pikiran, maka ia hanya berhala. Dan sikap penyembahan terhadap berhala adalah batal dalam pandangan Tauhid.
Kasus lain. Dalam pandangan Islam, percaya kepada yang ghaib termasuk salah satu Rukun Iman. Tapi jika seorang muslim berasumsi bahkan meyakini bahwa Tuhan itu ghaib sebagaimana ghaibnya makhluk seperti jin, malaikat, surga dan neraka, maka ia telah keluar dari prinsip Tauhid. Karena ia telah menyamakan Tuhan dengan sesuatu yang lain (wa lam yakun lahu kufuwan Ahad).
Kaum beriman mesti berterima kasih kepada sains dengan adanya teori Big Bang. Teori itu justru
menunjukkan keagungan Tuhan, dan kaum beriman makin yakin bahwa Tuhan ada di luar itu semua.
Kaum beriman disadarkan betapa proses kebermulaan alam begitu menakjubkan karena alam ternyata memiliki potensi untuk berproses dengan sendirinya. Pada titik itu apakah kemudian Tuhan dilupakan atau dikukuhkan, itu soal lain. Karena Tuhan bukanlah materi sekaligus bukan non materi; karena Tuhan yang menciptakan materi sekaligus non materi.
Dalam konteks ini, apakah sains dapat membedakan susu yang halal dan yang haram? Apakah susu yang diperoleh dari mencuri akan berubah struktur atom dan nutrisinya? Karena secara materi, susu yang haram dan yang halal sama-sama lezat untuk dinikmati.
Lebih jauh lagi, Tuhan bukan sebab bukan pula akibat; karena Tuhan yang menciptakan sebab sekaligus akibat. Karena sebab dan akibat hanyalah proses berpikir yang sebelumnya dimulai dari sejumlah premis. Apakah sains dapat menalar sesuatu tanpa premis dan predikat dari apa dan siapapun?
Sains dan agama dengan Kitab Sucinya tidak perlu saling menjatuhkan. Karena keduanya adalah Firman-Nya yang di beberapa titik saling melengkapi satu sama lain. Termasuk labelisasi, ayatisasi, dan glorifikasi ajaran Islam untuk memahami atau mengklaim temuan sains ala Zakir Naik, jelas tidak perlu.
Penulis adalah pengaji tasawuf.
Lukas Luwarso
Add comment