Percakapan antara Lukas Luwarso dan Nirwan Dewanto tentang sains dan sastra, korelasi dan kohabituasinya. Benarkah bahasa sains berbeda dengan bahasa sastra, dan saling menegasi sebagai dua bidang yang tidak saling berkomunikasi. Bagaimana dengan karya sastra yang menarasikan sains, atau temuan sains yang dinarasikan dengan gaya sastra? Atau imajinasi sastra yang menginspirasi temuan sains?
Nirwan Dewanto dikenal sebagai sastrawan, penyair, dan pengamat sastra. Pernah mengelola rubrik sastra di Koran Tempo, juga salah satu kurator di pusat kebudayaan Salihara. Alumni Fakultas Teknik Geologi ITB ini menerima Penghargaan Ahmad Bakrie untuk Bidang Sastra pada Agustus 2022. Perbincangan ini merupakan transkip dari dialog yang pernah disiarkan secara langsung melalui Instagram Live.
Lukas: Apa perbedaan atau kesamaanya antara sastra dan sains?
Nirwan: Bisa dibedakan pada dua contoh kalimat berikut. Pertama, “matahari terbit di Timur tenggelam di Barat”. Ini kalimat sastra. Sains akan mendeskripsikan “Bumi berputar pada porosnya”. Yang pertama, sastra, bahasa figuratif, metafor, dan simbolisme; tidak ada itu “matahari terbit dari Timur”. Itu persepsi orang sejak dulu. Yang kedua bahasa deskriptif, berbasis fakta. Contoh lain, bahasa sastra, “manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang terusir dari surga”. Menurut sains “manusia adalah hasil proses evolusi yang panjang”. Jadi bahasa sains dan sastra memang berbeda. Sastra mengekspresikan ketakjuban manusia pada hal-hal yang belum diketahui, pada keajaiban dan ketakutan pada alam. Sedangkan sains mengungkapkan hukum-hukum alam. Persamaannya, baik sains atau sastra bekerja memakai bahasa. Bahasa sastra mudah dipahami dan dipakai orang pada umumnya, sedangkan bahasa sains seringkali hanya dimengerti di kalangan terbatas komunitas saintis.
Apakah ada pertentangan bahasa sastra dengan bahasa sains? CP Snow dalam buku “The Two Cultures” (1959) menguraikan adanya persepsi berbeda antara dunia humaniora (sastra) dan sains, yang seolah tidak berkomunikasi satu sama lain. Benarkah sastra dan sains saling menegasi?
Terpisahnya bidang-bidang disiplin ilmu dan kehidupan memang konsekuensi dari proses evolusi perkembangan peradaban. Sastra dan sains untuk efektivitas tujuan masing-masing memang tidak perlu berkomunikasi. Seorang ilmuwan yang melakukan penelitian di lapangan atau di laboratorium, atau mengamati benda-benda langit di observatorium, memang terkungkung oleh tujuan penelitian dan pengamatannya. Dia fokus untuk melahirkan penemuan terbaik. Dia tidak perlu berkomunikasi dengan kesenian, sastra atau bidang yang lain, selain bidang disiplinnya sendiri. Hasil temuannya itu lah yang nanti dikomunikasikan, termasuk melalui narasi sastra, jika terbukti valid dan memberikan paradigma baru. Pada akhirnya sains juga perlu menggunakan bahasa naratif dan deskriptif, seperti sastra, untuk mengkomunikasikan temuan. Ini titik persinggungan Komunikasinya.
Bagaimana dengan karya sains-fiksi, seperti karya-karya Michael Chrichton, Jurrasic Park, atau karya klasik seperti Frankenstein. Apakah sains-fiksi menjembatani Komunikasi antara sastra dengan sains?
Akar kata sastra, dalam bahasa Sanskrit, artinya adalah tulisan. Semua tradisi tulis bisa disebut sebagai sastra. Namun dalam bahasa Indonesia kata sastra mengalami pergeseran arti, sebagai susastra, karya tulis yang indah. Sains-fiksi penekanannya bukan pada sains, tapi pada fiksi-nya. Ketika paradigma sains mulai menguat sejak Abad 19, sastrawan di Eropa terilhami oleh tema-tema sains, misalnya karya Jules Verne, HG Wells, pada masanya dianggap karya sastra berkualitas tinggi. Karya sains-fiksi kemudian mengilhami munculnya temuan sains atau teknologi baru. Misalnya teknologi kapal Selam diilhami oleh novel Jules Verne “20.000 Leagues Under The Sea”. Pendaratan manusia di bulan atau pembuatan bom atom, yang menjadi tema novel-novel HG Wells, apakah menginspirasi kisah nyata? Mungkin saja, bisa jadi tidak.
Imajinasi sastra, seperti dalam kisah sains-fiksi, setidaknya memicu saintis dan teknolog sebagai inspirasi untuk berupaya keras mewujudkan imajinasi itu?
Boleh jadi, penemu kapal selam pernah membaca karya Jules Verne saat remaja. Penemuan smartphone dan video-call juga terinspirasi kisah sains-fiksi seperti Star Trek. Tapi logika perkembangan sains dan teknologi memang berproses menuju ke arah penemuan itu. Penemuan atom, misalnya, akan mengarahkan untuk mendapatkan energi nuklir dari kekuatan atom itu.
Bagaimana dengan sains yang ditulis secara sastrawi, misalnya buku fisikawan Lawrence Krauss “Atom: An Oddisey from The Big Bang to Life on Earth and Beyond” (2001). Buku sains ini menarasikan sejarah atom seolah kisah biografi, berkualitas sastra. Ada juga karya sastrawan Isaac Asimov, berjudul “Atom: Journey Across the Subatomic Cosmos” (1991). Kedua buku ini menarasikan tema sains sebagai sastra yang mudah dipahami dan menarik.
Narasi sains memang ada dua level cara mendeskripsikan. Level pertama, ilmuwan biologi, paleontologi atau geologi menggunakan penuturan sastra. Misalnya karya Charles Darwin “On The Origin of Species” atau karya Alfred Russell Wallace “Malay Archipelago”, Dua buku Teori Evolusi itu ditulis layaknya karya sastra, seperti kisah petualangan naratif sains. Karya-karya Richard Dawkins, EO Wilson, Jared Diamond, atau Siddartha Mukherjee, juga dikenal karya sains berkualitas sastra. Tulisan sains bergaya sastra sebagai cara ilmuwan untuk dikomunikasikan, membuka pemahaman, masyarakat. Namun ada juga, level kedua, para saintis yang mempopulerkan temuan sains, sebagai sains-komunikator, misalnya fisikawan Michio Kaku atau sejarahwan Yuval Noah Harari. Mereka berjasa membangun budaya saintifik.
Dengan demikian sains dan sastra saling mendukung sebenarnya, alih-alih saling menegasi. Sejumlah leksikon atau jargon sains sumber ya dari karya sastra, misalnya penemuan “quark” sebagai partikel subatomik pada 1964. Penemunya, Murray Gell-Mann dan George Zweig, meminjam istilah dari novel James Joyce “Finnegans Wake”, menamai temuan quark sebagai unsur elemen atom. Jadi sepertinya sains dan sastra saling menginspirasi dan berbagi gagasan.
Ilmuwan sebagai manusia pasti mencari inspirasi dari berbagai sumber, termasuk karya sastra. Itu bagian dari pengembangan imajinasi atau fantasi. Ketika imajinasi saintifik berproses menjadi fakta sains, ilmuwan tidak bisa hanya mengandalkan imajinasi, melainkan harus bereksperimen dan membuat penelitian untuk mendapatkan bukti faktual. Imajinasi sastra boleh liar dan bebas sekedar untuk membangkitkan daya tarik emosional. Namun imajinasi saintifik harus diverifikasi dan difalsifikasi agar menjadi temuan atau teori sains yang valid. Sains memberikan fakta keras (brute facts) realitas yang sering berlawanan dengan imajinasi atau persepsi, misalnya temuan Heliosentrisme, yang menggugurkan keyakinan berabad-abad Geosentrisme. Termasuk ketika bakteri dan virus ditemukan sebagai penjelasan atau adanya wabah yang dulu dianggap terjadi karena dewa-dewa marah.
Sains modern baru muncul belakangan, 300 tahun terakhir, menggantikan mitologi, agama, atau filsafat yang sudah hadir ribuan tahun sebelumnya. Sains baru bisa muncul ketika tingkat kematangan berpikir manusia siap untuk menerima fakta sains. Menunggu akumulasi pengetahuan manusia semakin banyak, ketika manusia tidak lagi hanya mempercayai asumsi, persepsi, intuisi, termasuk “akal sehat”. Fakta sains terbukti merevisi asumsi atau akal sehat dalam hal, misalnya, bumi dikira datar, matahari terbit dari Timur. Sains menunjukkan akal sehat atau persepsi inderawi bisa salah, sekadar ilusi. Inilah yang membedakan sains dengan sastra. Imajinasi sastra tidak soal jika tidak berbasis realitas, sedangkan imajinasi sains harus berbasis realitas. Sastra menyukai misteri tetap sebagai misteri, sains ingin mengungkap misteri. Inilah yang memunculkan kesan sains bertentangan dengan sastra. Tugas kita, sebagai komunikator-sains yang tergabung dalam ForSains, adalah memastikan wilayah sastra dan sains bisa berkorelasi sesuai fungsinya.
Manusia bisa memiliki kualitas kemanusiaan karena berbahasa. Secara genetik beda manusia dengan hewan primata cuma sedikit, cuma 3%, namun perbedaan kecil itu sudah cukup untuk membuat manusia mampu berpikir abstrak dan berkomunikasi dengan bahasa. Primata juga punya “bahasa” yang sederhana, namun tidak memadai untuk bisa berabstraksi, seperti manusia. Manusia muncul ke dunia dengan kemampuan berfantasi, berupa rasa takut dan kagum pada alam. Rasa kagum dan takut itu dinyatakan dalam bentuk nyanyian, puisi, seni, dongeng, dan sastra. Manusia menciptakan mahluk (dewa-dewa) yang bisa menguasai alam. Sejalan dengan majunya pemikiran manusia, upaya memahami alam itu kemudian dirumuskan melalui sains. Imajinasi sastra dilengkapi dengan fakta sains, membentuk peradaban manusia.
Lukas Luwarso
Add comment