Indonesia gagal meluncurkan satelit baru pada 2022, yang kemudian memunculkan bau tak sedap dibaliknya. Ada aroma korupsi dan konspirasi berhembus. Dugaan ada kesalahan prosedur, berbalut konspirasi merebak. Urusan menyewa dan membuat satelit berkelindan dengan soal integritas keamanan nasional dan problem penguasaan teknologi angkasa luar.
Ini problem tipikal negara berkembang yang belum menguasai teknologi tinggi, seperti teknologi satelit ruang angkasa. Ketergantungan pada teknologi produk negara lain membuat Indonesia menjadi permainan “bisnis politik teknologi” para pemain. Drama kolusi, korupsi dan konspirasi berkelindan mirip jalinan kisah “thriller” espionase internasional,, ala plot novel Tom Clancy.
Dugaan korupsi sewa dan beli satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan) menyebar saat Menkopolhukam Mahfud MD, melakukan konferensi pers pada 13 Januari 2022. Mahfud, berdasarkan temuan Kejaksaan Agung, mengumumkan ada kesalahan prosedur di Kementerian Pertahanan (Kemhan) dalam membuat kontrak penyewaan dan pengadaan satelit.
Dua sidang gugatan di pengadilan arbitrase internasional, di London dan Singapura, mengharuskan pemerintah Indonesia membayar uang sewa, pembuatan satelit, beaya konsultan serta arbitrase senilai 849 milyar rupiah. Masing-masing sebesar 515 milyar ke perusahaan pengadaan satelit, Avanti, dan 314 milyar ke Navayo.
Jumlah itu belum termasuk potensi kerugian tagihan yang harus dibayarkan ke perusahaan Airbus, Detente, Hogan Lovells, dan Telesat. Pemerintah telah membayar gugatan Avanti, dan masih harus membayar tagihan Navayo. Juga kemungkinan menghadapi gugatan dari perusahaan lainnya.
Kekisruhan ini bermula tujuh tahun lalu, persisnya pada 19 Januari 2015, ketika satelit Garuda 1 keluar dari Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT). Garuda 1 adalah satelit untuk layanan komunikasi telepon yang diluncurkan pada Februari 2000. Tersesatnya satelit Garuda 1 menyebabkan terjadi kekosongan pengelolaan.
Berbagai upaya dilakukan agar orbit Garuda 1 tetap dikelola Indonesia, tidak jatuh ke negara lain. Ketentuan International Teleommunication Union (ITU), badan PBB yang mengatur urusan telekomunikasi dunia, negara yang telah diberi hak mengelola jalur satelit, diberi tenggang waktu mengisi kembali orbit, dengan satelit lain, dalam waktu 3 tahun.
Untuk mengisi kekosongan itu, Kemhan menyewa satelit Artemis milik Avanti, per 6 Desember 2015, dengan beaya sewa US$ 30 juta. Pengisian sementara itu sembari menunggu pembuatan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) baru. Kemhan menggandeng Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat untuk pembuatan satelit baru, per 2016. Akar persoalan adalah, saat menandatangani kontrak sewa dan pembuatan satelit, Kemhan belum memiliki anggaran.
Namun, pada 2015 Presiden Jokowi telah mengeluarkan diskresi menganggarkan pengadaan satelit, melalui APBN tambahan 2016, senilai 1,3 triliun. Anggaran untuk menyewa dan membuat satelit baru. Bagaimana “sisik-melik kerumitan” proses pemanfaatan anggaran diskresi ini, soal itulah yang kini sedang dibidik Kejaksaan Agung.
Tahun 2018, Kemhan menyerahkan pengelolaan slot orbit 123 BT ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), pada Desember 2018. Prosesnya ditangani oleh PT Dini Nusa Kusuma (DNK). Namun, sepertinya PT DNK tidak mampu menuntaskan keribetan masalah yang ditinggalkan oleh Kemhan. Dan kemudian justru dianggap ikut tersangkut dalam modus korupsi urusan sewa dan beli satelit ini.
PT DNK adalah perusahaan rekanan Kemhan, yang dipercaya mengelola dan mengoperasikan Satelit. Kejaksaan telah memeriksa sejumlah petinggi DNK, dua diantaranya telah ditetapkan sebagai tersangka. Bagaimana kelanjutan kisahnya ,masih harus menunggu proses pengadilan.
Ada sejumlah persoalan yang perlu diungkap tuntas, bukan cuma soal dugaan korupsi atau kesalahan prosedur. Melainkan juga terkait kebijakan pemanfaatan teknologi tinggi, soal ketergantungan dan ketidakmandirian. Pengadaan satelit adalah proyek strategis infrastruktur nasional, yang mustinya penguasaannya menjadi prioritas.
Ketidakjelasan terkait “hilangnya” sateli Garuda 1 hingga pemesanan satelit baru (2015) telah memunculkan adanya kisah konspirasi. Berkelindannya vested interest ekonomi, yang mengompromikan keamanan negara. Jangan-jangan ini soal buruknya manajemen komunikasi dan koordinasi antar-kementerian dan instansi di pemerintah. Antara Kemenhan, Kominfo, Kemenkeu, juga melibatkan BRIN dan LAPAN, yang belum lama ini dibubarkan.
Jika soal pengadaan satelit ini diduga korupsi, perlu diperjelas aspek tindak korupsinya. Apakah semata-mata karena kesalahan prosedur (soal administratif) atau ada kepentingan lain. Bisakah dana untuk membayar putusan hukum arbritase dianggap korupsi?
Tidak terlalu rumit mengurai kasus ini, baik memakai teori korupsi atau konspirasi, tinggal melacak dan mengidentifikasi, siapa yang diuntungkan dan kemana dana mengalir. Yang kebih penting untuk dipersoalkan adalah, kegemaran menyewa satelit untuk soal sensitif terkait keamanan negara, alih-alih memiliki satelit sendiri. Juga kegagalan untuk mampu menguasai teknologi satelit.
Indonesia termasuk salah satu negara yang paling awal mengadopsi pemakaian satelit untuk sarana telekomunikasi. Satelit Palapa A1 pertama kali diluncurkan pada 1976 sebagai solusi praktis untuk mengkover luasnya wilayah kepulauan.
Namun setelah 46 tahun mengadopsi teknologi satelit, Indonesia terus berpuas diri hanya menjadi konsumen. Cuma bisa menyewa dan membeli, ogah untuk mampu membuat sendiri. Sedikitnya ada 16 negara yang kini memiliki kemampuan penguasaan teknologi satelit, termasuk Kenya dan Ukrania.
Kemampuan menguasai teknologi satelit adalah salah satu indikasi kemajuan bangsa. Kemampuan itu akan beriringan dengan kejelasan visi-misi dan kompetensi manajemen pemerintahan dalam penguasaan sains dan teknologi. Kita-kira, kapan Indonesia bisa?
Lukas Luwarso
Add comment