ForSains

AI Paranoia, Cemas pada Kecerdasan

Ancaman AI pada kemanusiaan, paranoia atau fakta?

Oleh: Lukas Luwarso

Alam semesta dan kehidupan menunggu teka-teki dan potensinya terungkap. Potensi atom, sebagai energi nuklir yang dahsyat, baru ditemukan pada 1940an. Satu dekade kemudian kode genetik kehidupan (DNA) diketahui, dua dekade berikutnya dunia digital lahir, berlanjut awal abad 21, Artificial Intelligence (AI) muncul.

Berbagai penemuan teknologi dan pengungkapan saintifik penting, kurang dari 100 tahun terakhir, telah mengubah dunia. Banyak hal yang tidak pernah ada dalam sejarah manusia, dari bom atom, internet, gunting genetik, hingga realitas virtual dan kecerdasan buatan kini ada. Hadir dalam hidup kita.

Berbagai perubahan itu, mustinya, mengubah perspektif kita dalam memahami semesta kehidupan dan manusia. Namun alih-alih mengubah paradigma seiring dengan berbagai penemuan baru dan hal-hal baru, sebagian orang justru meringkuk dan tertekuk dalam paranoia dan kecemasan. Cemas pada perubahan dan kebaruan, termasuk pada kecerdasan buatan (AI)

Esai Goenawan Mohammad (GM) “HAL 9000” adalah simptom kemeringkukan dan ketakutan pada perubahan dan kebaruan itu. GM memakai kisah film sains-fiksi 2001: A Space Odyssey, sebagai nubuat untuk mengabarkan kecemasannya pada AI. Tentu boleh saja cemas pada ancaman AI, namun memakai dongeng film distopian untuk menjustifikasi kecemasan sepertinya kurang valid.

GM mengangkat soal ancaman AI, dengan mencari hikmah dari kisah fiksi. Ia bahkan perlu mencemooh “mereka yang tak cemas-AI” sebagai “para superoptimis” yang melihat kemajuan teknologi dengan berser-seri, dan menyambut AI seakan-akan juru selamat.

Problem paradigmatik GM, sebagai punggawa superpesimis, adalah gemar memakai kisah fiksi untuk menyuarakan pesiimismenya. Film 2001: A Space Odyssey jelas tidak memadai sebagai referensi untuk memahami problematik AI di dunia real. Kutipan yang dipilih GM sebagai pembuka tulisan juga terasa aneh dan karikatural, karena justru menggambarkan “ketakutan AI pada manusia”, bukan sebaliknya. HAL 9000, komputer super-cerdas yang memiliki kesadaran, dan ingin mengontrol manusia, ternyata takut mati. Menghiba-hiba pada manusia agar jangan di bunuh.

Dari film ini, kita jadi tahu, manusia bakal mudah menaklukkan AI, cukup dicabut stopkontak aliran listriknya. Sesimpel itu. Jadi GM mustinya tidak perlu khawatir atau paranoid pada AI, Niatnya untuk menyebarkan kecemasan pada teknologi, menjadi tidak sinkron dengan pesan  tulisannya.

Alih-alih mengabarkan tentang ancaman teknologi pada eksistensi manusia, melalui film 2001: A Space Odyssey, GM justru menunjukkan manusia justru sintas dan sejahtera.

AI yang direpresentasikan GM melalui HAL 9000, ternyata tidak mengerikan. Sekadar komputer pintar bermata merah, yang pasti kurang tidur karena getol ngawasi, nguping dan kepo pada manusia. AI adalah paranoid android yang punya kesadaran dan memiliki personalitas, karena itu takut mati, seperti manusia yang menciptakannya. (Belum diketahui, apakah HAL 9000 atau AI di masa depan juga beragama, memuja manusia sebagai penciptanya, dan berkhayal masuk surga).

AI bukanlah entitas mistik berkekuatan jahat, bukan kecerdasan yang berasal dari dunia antah berantah. AI bukan “alien” pintar dari dari planet luar angkasa atau galaksi lain yang berniat menginvasi dan mengkoloni manusia. AI juga bakan dajjal yang dinubuatkan agama bakal muncul ke bumi untuk menghancurkan manusia menjelang kiamat.

AI adalah kode algoritma yang dibuat di laptop atau ruang kerja para coder dan programer komputer. Kode yang diprogram, antara lain, oleh para geek atau nerd (digital engineer) yang terobsesi dengan dunia alternatif, sebagai eskapisme dari dunianya sehari-hari. Dunia yang mungkin bisa lebih baik dan lebih menyenangkan.

Kecuali kita tipikal orang yang menganggap film 2001: A Space OdysseyMatrix, atau Terminator adalah kenyataan di masa depan, AI mustinya tidak perlu dicemaskan secara berlebihan. Saat ini AI memang terkesan menjadi ancaman, terkait hilangnya sejumlah lapangan pekerjaan.

AI terbukti lebih kompeten, lebih efektif, efisien, dan lebih presisi, selain lebih pintar, dalam menjalankan tugas yang diprogram manusia. Namun, AI tidak berniat merebut pekerjaan manusia. Hilangnya sebagian besar pekerjaan, justru karena manusia membutuhkan bantuan agar tidak harus bekerja banting tulang atau stres berpikir mencari solusi untuk problem yang tidak bisa ia diatasi hanya dengan memakai akal pikiran dan tenaganya.

Bahwa relasi simbiosis urusan pekerjaan dengan AI itu menyebabkan manusia “kehilangan pekerjaan dan pendapatan finansial”, ini adalah problem lain, yang perlu ditemukan solusi dan konsensusnya. Mungkin kita perlu bertanya pada AI, Chat GPT, misalnya, jika tidak kunjung bisa mendapatkan solusi.

Dugaan saya, di masa depan, manusia akan mengubah dan menyesuaikan sistem ekonomi (kapitalistik) agar bisa mendistribusikan kekayaan dengan lebih fair. Selaras dengan hadirnya era kelimpahan (abundance) ketika mayoritas pekerjaan dikerjakan oleh robot atau AI. Manusia bisa fokus untuk berkreasi, berinovasi, atau berwisata, alih-alih memeras keringat, membanting-tulang, atau stress memikirkan pekerjaan untuk mencari sesuap nasi atau segenggam berlian.

Konsep Universal Basic Income (UBI) atau freedom dividend, misalnyasudah diintroduksi sebagai pengaman sosial untuk menjamin tersedianya dukungan finansial bagi setiap warga yang tidak memiliki penghasilan. Ini cuma soal kemauan untuk menerapkan konsep UBI, yang di sejumlah negara telah diterapkan saat dunia dua tahun didera wabah Covid-19.

Selalu ada cara atau jalan bagi manusia untuk bisa kreatif menemukan solusi menghadapi era AI. Mungkin saat ini UBI terasa utopia, namun setidaknya bisa menjawab kecemasan para penggemar film distopia-sains-fiksi, seperti GM.

Ancaman AI?

Saya tidak sepenuhnya menolak bahwa AI memang bisa menakutkan, setidaknya secara konsepsi, terkait kebaruannya. Karena untuk pertama kali manusia berhadapan dengan entitas tak kasat mata yang sepertinya lebih pintar atau sempurna. Dulu, entitas itu disimbolikkan dengan mahluk ghoib, seperti jin atau malaikat, yang bisa muncul atau hadir secara khusus untuk “orang-orang terpilih”.

AI mirip seperti mahluk ghoib dalam dongeng mitologis itu, bedanya, AI bisa diundang oleh siapa saja yang memiliki akses atau aplikasi (sebagai portal) di smartphone atau komputernya.

AI bisa menakutkan, karena tidak seperti teknologi informasi sebelumnya yang analog, pasif dan bebal. AI mampu berdialog, membuat keputusan, menganalisa, dan bahkan dapat mengarahkan pilihan atau selera kita. Kita bisa terhanyut dalam buaian “sihir” AI untuk memelototi layar gajet berjam-jam menikmati tontonan dan segala informasi yang kita sukai.

Dalam dunia kapitalistik saat ini, atensi kita bisa terjerat oleh AI, dan menjadi komoditi untuk dimonetize. Hasrat untuk meraup untung dengan gampang, dan haus atensi, adalah kelemahan manusia yang mudah difasilitasi AI. Harus diakusi, kita belum sepenuhnya tahu bagaimana berurusan dengan teknologi AI ini. Karena AI memang belum pernah ada sebelumnya sebagai produk teknologi. Apakah AI “jin baik” yang membantu atau “dajjal” yang akan menghancurkan, itu sepenuhnya tergantung pilihan kita.

AI adalah temuan sekaligus tantangan baru, yang lazimnya, seperti semua teknologi, berpotensi maslahat atau mudharat. Stephen Hawking pada 2016 pernah menyebut AI bisa menjadi hal terbaik atau terburuk untuk kemanusiaan. Saat memberikan sambutan pada pembukaan Pusat Riset AI di Universitas Cambridge, Ia menyatakan, “kita telah banyak belajar dari sejarah manusia, yang umumnya berisi sejarah kebodohan. Jadi, agak lebih menyenangkan rasanya mempelajari masa depan kecerdasan”.

Hawking dikenal sebagai salah satu ilmuwan yang bersikap kritis pada potensi ancaman AI. Namun ia juga mengamini banyak peluang baik yang bisa dimanfaatkan dari AI. Menurutnya, kita belum bisa memprediksi apa yang bakal bisa capai, ketika kecerdasan otak manusia diamplifikasi dengan AI. Mungkin kita mampu lebih baik mengetahui teka-teki alam semesta, bisa membasmi penyakit, atau menghapus kemiskinan.

AI memungkinkan manusia berdiskusi dan berinteraksi dengan entitas super-cerdas yang intuitif. Entitas yang mampu mengoleksi dan mempelajari ribuan tahun pengalaman, pengetahuan, dan wisdom kemanusiaan. Menjawab pertanyaan, memberikan opsi, membantu mewujudkan ide atau merumuskan solusi.

Mungkin itu perspektif “superoptimis”, AI seakan-akan juru selamat, yang dimaksud GM. Namun, kenapa tidak? Mengapa memilih cemas dan superpesimis, jika boleh optimis pada sesuatu yang bisa diwujudkan? Jika milyaran manusia bisa memiliki utopia  meyakini bakal datangnya “kerajaan surga”, setelah kematian. Mengapa tidak mewujudkan utopia itu di dunia melalui teknologi?

Era digital,, internet, dan munculnya AI menumbuhkan kesadaran, kita sedang berproses membangun komunitas dan pemikiran global. Kecerdasan kolektif manusia sedang ditumbuhkan melalui jaringan internet. Dalam proses ini, tentu ada banyak hal-hal buruk kemanusiaan yang terbawa serta (carry-over).

Amarah, kebencian, prasangka, politik identitas, populisme, dimuntahkan dalam internet, selain informasi dan pengetahuan yang berguna. Media sosial menjadi medium untuk menumpahkan segala hoaks, fake news, teori konspirasi dan fitnah untuk saling berseteru.

Namun itulah soalnya. Kelemahan dan keburukan secara genetik melekat pada manusia.  Masalah utama saat ini, menurut pakar biologi E.O. Wilson, adalah manusia memiliki emosi level purba, institusi era abad pertengahan, dan teknologi tingkat dewa (the real problem of humanity is, we have paleolithic emotions; medieval institutions; and god-like technology.).

Manusia memiliki hasrat untuk terus memperbaiki diri, menghilangkan kekurangan dan kelemahan biologisnya, itu juga bersifat genetik. Sebagai entitas biologis, sebagai individu, manusia adalah sel-sel neuron yang masih terpisah. Milyaran sel individu itu kini bisa berinteraksi dan bisa bekerja sama dalam satu entitas pikiran global (global brain).

Otak dan kecerdasan manusia disinergikan dengan “kecerdasan alam”. Bukan saja untuk memunculkan kecerdasan super (superintelligence), melainkan juga kesadaran kosmik. Kesadaran, yang manifestasinya belum sepenuhnya kita ketahui saat ini. Mungkin saja itu semacam kesadaran ketuhanan, sebagaimana difatwakan dalam keyakinan agama.

GM tentu tidak menyukai superoptimisme-utopia yang saya uraikan di atas, dan memilih terus meringkuk dalam superpesimisme-distopia nya. Seperti kecenderungan menyukai film-film distopia yang ia tonton. Namun, saya tetap berharap agar GM tidak perlu paranoid pada teknologi, tidak usah terlalu cemas berlebihan dengan AI.

Kalaupun, misalnya, nanti terbukti AI jahat dan berniat memusnahkan manusia, saya optimis pasti selalu ada solusi untuk mengalahkannya. Seperti lazimnya akhir kisah film-film sains-fiksi distopian, dari MatrixTerminatorWar of the WorldsAliensTranscendence, termasuk 2001A Space Odyssey, umumnya mengisahkan menangnya kemanusiaan.

Akhir kisah film 2001: A Space Odyssey bukan  memenangkan komputer HAL 9000. Ia mati, dibunuh manusia, dan gagal beranak-pinak menginvasi bumi. Seperti dikemukakan Stanley Kubrick, manusia selamat menyatu dengan entitas energi murni nan cerdas (God-like beings). David, astronot, tokoh utama film, tetap hidup dalam keabadian mengarungi semesta yang tak terhingga.

Lukas Luwarso

Add comment

Ukuran Huruf