ForSains

Tafsir Tuhan Teori Evolusi Darwin

Menjelang tanggal kelahiran Charles Darwin, Goenawan Mohamad (GM) menulis esai pendek berjudul “Darwin”. Momen yang tepat untuk mengapresiasi Darwin, lahir 12 Februari  1809, dan Teori Evolusi, sebagai temuan sains paling penting dalam mengubah paradigma manusia.

Namun tulisan GM tidak mengupas validitas saintifik Teori Evolusi, atau sebaliknya menginvalidasi—seperti lazimnya kontroversi tentang Teori Darwin. GM memilih membuat “tafsir ketuhanan”, sembari mengingatkan “keguyahan ilmu,” pada teori evolusi Darwin sebagai sains.

Tidak ada yang baru dari tulisan GM itu, karena sekedar mereplikasi penggalan kisah pergulatan pikiran Darwin. Namun ada yang sedikit menggelitik di alinea pertama dan terakhir. GM memulai dengan kalimat: “Darwin, lelaki pemalu itu, tak ingin membunuh Tuhan.” Kemudian menutup dengan: “Bagi Darwin itu bukan persoalan. Yang penting adalah mengakui pengetahuan kita yang guyah….”.  Sembari melafalkan kredo agama, kepada pembaca, untuk bersyukur dan tawakal.

Soal bunuh-membunuh Tuhan, atau pemalu, kita tidak tahu. Kalau saja Darwin bukan lelaki pemalu, mungkinkah ia akan nekad “membunuh Tuhan?” Yang pasti, dalam buku “On The Origin of Species” (1859), Darwin tidak menyebut Tuhan dalam urusan mencari penjelasan tentang asal-usul keragaman kehidupan.  Apalagi nekad ingin membunuh-nya.

(“Pembunuh Tuhan,” kita tahu, adalah Nietzsche, pada 1882. Melalui tulisannya “The Joyful Pursuit of Knowledge and Understanding”, yang ia umumkan dalam “Also sprach Zarathustra”).

Sebelum menemukan Teori Evolusi, Darwin yang berlatar Kristen Anglikan adalah pemuja Tuhan. Ia pernah bercita-cita menjadi pendeta. Sebelum resmi diangkat menjadi pengkhotbah Injil, ia  ingin menyaksikan langsung kebesaran Tuhan. Saat berusia 22, ia ikut ekspedisi kapal Beagle, untuk melihat keindahan alam ciptaan Tuhan dan keragaman mahluk di kepulauan Pasifik.

Darwin mengikuti sejumlah ekspedisi pelayaran dan meneliti keberagaman hayati, melihat fakta dan bukti, yang mengubah pemikirannya. Darwin mengurungkan niat menjadi pendeta, dan memilih bersikap agnostik. Soal ada atau tidaknya Tuhan, ia tak lagi tertarik memikirkan. “Agnostic would be the most correct description of my state of mind,” tulisnya pada 1979. Tuhan tidak lagi hadir dalam pikiran Darwin.

Tafsir Evolusi Tuhan

Teori Evolusi telah berusia 163 tahun, hingga kini terus menjadi kontroversi, ajang perdebatan agama dan sains. Dogma agama “Imago Dei,” bahwa Tuhan menciptakan manusia menurut “gambaran dan rupa Tuhan” pastilah sulit menerima Teori Evolusi. Teori yang menjelaskan, manusia adalah produk mutasi genetik dan seleksi alam, seperti spesies mahluk hidup lain.

Belakangan, kubu agama yang lebih moderat mengajukan konsep “rancangan cerdas” (intelligen design) untuk mengikuti perkembangan sains evolusi yang terbukti semakin valid. Gereja Vatikan, melalui pernyataan Paus Pius XII, pada 1950, menerima Teori Evolusi juga Teori Big Bang sebagai penjelasan yang valid. Namun, dalam perdebatan, konsep Tuhan Sang Pencipta belum sepenuhnya ditinggalkan. Tuhan diganti dengan istilah “perancang cerdas”, Intelligence designer. Namun benarkah evolusi dan keragaman spesies produk dari “rancangan cerdas?”

Evolusi didorong oleh mutasi genetik dan diarahkan oleh seleksi alam. Tapi apa penyebab terjadi mutasi? Menurut hipotesis teori evolusi, akibat adanya kesalahan saat DNA mereplikasi (meng-copy) diri. Genetika sebagai sistem tidak sepenuhnya menunjukkan kecerdasan atau kesempurnaan, banyak terjadi kesalahan. Replikasi sel kanker, misalnya.

Namun, justru adanya kesalahan itulah yang mendorong mutasi genetik melahirkan beragam kehidupan. Apapun yang pernah hidup, dari mikroba, binatang, hingga manusia, berevolusi selama  milyaran tahun, dari organisme sel tunggal yang dinamai “Last Universal Common Ancestor” (LUCA).

Perubahan fisik dan karakteristik beragam spesies, menurut Darwin, bersifat acak. Sebagai mekanisme untuk beradaptasi dengan kondisi alam. Spesies yang tidak mampu beradaptasi akan punah, gagal mewariskan genetiknya. Demikian cara alam menyeleksi mahluk hidup agar beranak-pinak: yang kuat yang selamat (survival of the fittest).

Proses perubahan gradual “trial and error”, mutasi dan seleksi, sel demi sel, dalam jangka waktu milyaran tahun itulah yang kemudian melahirkan manusia.  Organisme, tanaman, hewan, atau manusia (Neanderthal) muncul atau punah bukan karena sengaja diciptakan atau dipunahkan. Penelusuran jejak rekam mutasi DNA tidak menunjukkan adanya campur tangan “perancang cerdas”, atau kekuatan ghoib bernuansa supranatural.

Harus diakui, meskipun Teori Evolusi bisa menjelaskan proses,  namun belum sepenuhnya bisa mengungkap teka-teki asal-muasal kehidupan. Misalnya, bagaimana DNA muncul. Mekanisme replikasi-mutasi genetik sudah dipahami, namun bagaimana awal mula DNA sebagai kode kehidupan itu terjadi?

Teori Evolusi tidak membahas teka-teki asal-muasal kehidupan (munculnya DNA). Darwin fokus menyelidiki bagaimana keberagaman spesies muncul. Terkait awal mula, bukan wilayah evolusi biologi, melainkan evolusi kimiawi. Abiogenesis adalah sains yang fokus meneliti proses munculnya “kimia kehidupan”, dari materi yang tidak hidup. Detil prosesnya belum diketahui, namun terdapat sejumlah hipotesis saintifik bagaimana transisi dari materi (atom) menjadi molekul hidup. Transisi yang sejalan dengan hukum fisika termodinamika, entropi, dan informasi.

Mistik Pseudo-sains.

Theodosius Dobzhansky, biolog evolusioner Amerika, dalam buku “Genetics and the Origin of Species” (1970), menafsirkan, teori evolusi sebagai cara Tuhan untuk mencapai tujuan. Mungkin karena latar Kristianinya yang kuat, Ia berasumsi evolusi sebagai “proses kreatif” Tuhan dalam menciptakan kehidupan.

Ia menegaskan, evolusi bukan sekedar proses acak mutasi gen dan seleksi alam. Tuhanlah “perancang cerdas” yang menggerakkan mekanisme evolusi untuk munculnya beragam kehidupan dan berujung pada munculnya manusia.

Pemikiran Dobzhansky kuat dipengaruhi paradigma Pierre Teilhard de Chardin, pastor Jesuit Perancis, juga palaeontolog, yang mengamini Teori Evolusi. Dalam buku “The Phenomenon of Man” (1955), Teilhard memaparkan alam semesta yang bertujuan. Berevolusi dari materi ke kehidupan menuju kesadaran spiritual. Kesadaran manusia pada akhirnya menuju spiritalitas kosmik, yang ia namai sebagai “noosphere”. Tujuan seluruh proses evolusi adalah “Omega point”, kesadaran semesta yang manunggal dengan sang pencipta.

Teilhard menyatukan keyakinan mistik dengan pseudo-sains. Keyakinan yang sudah diamini manusia selama ribuan tahun (dalam Hindhu Vedanta, Kabalah, Gnostik, Hermetisisme, Sufisme). Ia menganggap keyakinan mistik ini sejalan dengan Teori Evolusi dan sains biologi. Evolusi, baginya,  adalah proses tumbuhnya kesadaran sang pencipta yang manifest, mewujud, dalam diri manusia.

Teilhard kuat dipengaruhi pemikiran filosofis Henri Bergson dalam buku “Creative Evolution” (1907). Buku “filsafat evolusi” yang  ditulis Bergson ini mengedepankan “intuisi” (alih-alih menunjukkan bukti) untuk menyanggah Teori Evolusi Darwin. Menurut Bergson, evolusi didorong oleh “elan vital”, semesta kreatif. Dalam keyakinan mistik, semesta kreatif itu memiliki nama beragam: Monad (Gnostik, Neoplatonis); EinSoft (Kabalah); Brahman (Hindhu Vedanta), sebagai konsep Tuhan-nya kaum mistik.

Bergson kuat terpengaruh pemikiran Plotinus, penganjur filsafat ‘Neoplatonis’, yang erat terkait dengan keyakinan mistik “Gnostisisme”. Satu keyakinan yang menganggap dunia materi adalah keburukan dan kejahatan. Manusia adalah mahluk spiritual yang terperangkap dalam tubuh material, dan berhasrat untuk kembali ke alam spiritual.

Bagi ilmuwan penganut Teori Evolusi-mistik, seperti Dobzhansky atau Teilhard, sistem mutasi genetik selaras dengan  konsep alam semesta yang cerdas, kreatif, dan bertujuan. Dobzhansky yakin Tuhan lah yang menulis kode DNA dan memrogam rumus algoritmik-mekanistik sehingga DNA bisa mereplikasi diri berevolusi menuju tujuan pasti: kesadaran ketuhanan.

Tentu tidak soal untuk membuat “otak-atik gatuk” tafsir Tuhan pada Teori Evolusi Darwin. Cukup masuk akal untuk berasumsi, berintuisi, ada “kekuatan kreatif” dibalik terjadinya proses evolusi. Dalam ilmu kosmologi asumsi seperti ini dinamai “fine-tuned universe”, alam semesta yang serba gatuk. Alam semesta yang serba pas ukurannya, agar bisa berproses memunculkan kehidupan yang beragam, cerdas, dan akhirnya, sadar.

Dengan asumsi itu, manusia menganggap (atau merasa) diri sebagai “tujuan” evolusi, proses yang disetel Tuhan sejak awal. Agak “mustahil” bisa muncul manusia yang pintar dan sadar secara spiritual jika evolusi bersifat acak, semata-mata hanya karena mutasi gen dan seleksi alam. Kesadaran manusia pastilah produk semesta yang sadar. Dan manusia pasti tercipta sesuai “gambaran dan rupa Tuhan” penciptanya.

Kesimpulan loncat ini selama ribuan tahun diyakini secara mitologis, religius, mistis, spiritualis, atau filosofis. Asumsi, intuisi, dan spekulasi yang menjadi basis konsep-konsep holistik agung, seperti panpsychism, tat twam asi, wahdatul wujud, elan vital, anima mundi, Tuhan Mahapencipta, dan sejenisnya. Konsep yang menarik dan memukau, kalau saja bisa diidentifikasi faktualitasnya. Bukan sekadar pemaknaan atau penafsiran subyektif.

Darwin yang semula meyakini adanya Tuhan Sang Pencipta, justru berubah pikiran setelah menyaksikan keragaman “ciptaannya”. Alam dan segala kehidupan alih-alih diciptakan, ternyata berproses, perlu waktu milyaran tahun.

Alam dan kehidupan bukan hasil trik sulapan, ciptaan, yang langsung jadi seketika. Alam berevolusi, perlu waktu untuk belajar, self-learning, self-developing, melalui “trial and error”, berevolusi menjadi seperti sekarang. Peran Tuhan menjadi tidak relevan, bagi Darwin.

Darwin, lelaki pemalu itu, jelas tidak berniat membunuh Tuhan. Ia hanya lelaki yang “guyah” imannya, pada keyakinan mistis yang menyelimuti zamannya. Keguyahan iman yang ia gantikan dengan kekokohan ilmunya. Dalam upaya mencari penjelasan yang lebih faktual untuk mendapatkan kebenaran.

 

Lukas Luwarso

Lukas Luwarso

Add comment

Ukuran Huruf