ForSains

Dua Dunia: Klenik dan Saintifik

Apakah dunia memungkinkan adanya dua sistem cara kerja (operating system), klenik dan saintifik, yang bisa berjalan beriringan secara otonom dan sama-sama faktual?

Pertama, dunia klenik, berisi segala dewa, jin, setan, takhyul, mukjizat, dan hal-hal ghaib yang tidak teramati indera. Dunia yang tidak bisa dideteksi atau diidentifikasi secara empiris. Namun, konon, bisa diamati atau dimasuki oleh orang-orang yang mengaku memiliki ilmu khusus, seperti saman, dukun, indigo, “orang pintar”, pawang, dan sejenisnya. Dunia yang tidak bisa divalidasi, hanya bisa dialami secara personal, sebagai keyakinan.

Kedua, dunia saintifik. Jagat empiris yang mudah terlihat oleh indera atau bisa diidentifikasi oleh alat dan teknologi. Dunia nyata yang bisa diukur, dihitung, dikuantifikasi berbasis teori sains atau hukum alam yang bisa divalidasi dan dibuktikan faktualitasnya. Dunia universal yang tidak peduli, tetap benar dan berlaku, baik seseorang meyakini atau tidak.

Bagi Raden Roro Istiati Wulandari (Rara), yang mendaku diri sebagai “pawang hujan”, dua sistem dunia—klenik dan saintifik—itu bisa berjalan bersamaan. Ia menggunakan jargon sains-teknologi untuk untuk menamai dan menjelaskan kemampuan ghoib-nya.

Pada profil media sosialnya, Rara menamai diri sebagai “cloud engineer”. Dalam sejumlah wawancara, ia mengklaim memiliki lisensi dari Tuhan atau dewa-dewa bisa menggeser awan melalui cawan “remote control” nya. Ia menganalogikan langit sebagai ruangan ber-AC yang bisa dikondisikan temperaturnya, atau menyetel hujan lebat menjadi gerimis. Selain memakai remote control, ia juga bisa memindah awan dengan menggunakan “gelombang otak”.

Klaim Rara, yang mencengangkan ini, tentu harus dianggap sekedar promosi diri, laiknya penjual obat pinggir jalan. Tidak penting validitas atau faktualitasnya, “believe it or not”. Jika ada yang penasaran, serius ingin menguji kemanjuran “kepawangannya” cukup mudah caranya. Dengan uji bukti, meminta Rara memindahkan, atau menggerimiskan, hujan lebat, seminggu berturut-turut di satu lokasi yang diketahui curah hujannya tinggi pada bulan Desember atau Januari.

Jika Rara bisa melakukan itu, ia layak dinominasikan untuk mendapat Hadiah Nobel bidang fisika dan kimia sekaligus. Kemampuan memanipulasi konfigurasi elemen atom dan molekul air hujan melalui gelombang otak, gesekan cawan, teriakan, komat-kamit, atau remote control imajinernya, jelas menakjubkan. Dunia wajib terpesona pada Rara.

Namun, uji bukti praktik klenik tidak bakal bisa dilakukan. Selalu ada dalih dan alasan kemustahilan. Dewa-dewa atau roh-roh fasilitator terjadinya fenomena klenik bakal menolak bekerjasama. Mereka terlalu pemalu untuk bersedia menjadi obyek penyelidikan atau berada dalam sorotan kamera. Mereka tidak bakal bersedia diwawancarai, juga tidak berminat menjadi YouTuber atau memonetize keghoibannya. Praktek klenik cukup dipercayai, bukan untuk dibuktikan. Kita juga tidak perlu membuktikan kebenaran cerita komik “Avatar: The Last Airbender”, kisah tentang orang-orang yang mampu memanipulasi elemen alam, air, api, tanah, dan udara.

Kepercayaan terhadap dunia klenik, dunia tersembunyi yang dikontrol oleh dewa atau roh yang antropomorfis adalah dunia dongeng. Adanya mahluk ghoib yang bisa dibujuk untuk memanipulasi gejala alam, sesuai keinginan manusia melalui ritual tertentu, jelas menarik. Ada aspek misteri dan suspense, layaknya kisah komik, novel, atau film fantasi. Juga memikat sebagai selingan tontonan balap motor MotoGP di Mandalika yang tertunda karena hujan.

Dua Dunia

Dunia klenik (mitologis) menjadi paradigma pemikiran manusia selama ribuan tahun sejarah peradabannya. Ketika mengarang kisah, membuat dongeng, menjadi pemikiran utama manusia. Dunia dongeng itu mulai runtuh, sekitar 400 tahun lalu, saat muncul metode sains modern, yang mengungkap dewa dan roh (halus atau kasar) tidak ada. Namun dunia klenik tidak serta-merta lenyap ketika dunia saintifik muncul. Banyak manusia masih percaya klenik dalam beragam spektrum dan nuansa.

Benturan dunia klenik dan saintifik ala kisah Harry Potter, “wizarding world dan muggle world”, tidak terjadi. Dua jenis olah pikir (schools of thought) dalam memahami dunia ini bisa berjalan beriringan. Masih banyak yang memercayai dunia diciptakan dalam waktu 6 hari, manusia adalah keturunan Adam dan Hawa, Tuhan atau dewa-dewa lah yang mengatur kehidupan dan mengontrol alam semesta. Dunia esoterik yang penuh kisah mistis dan aktivitas paranormal.

Di sisi lain, teori saintifik memastikan dunia berproses dari Big Bang, atom saling membentur dan membelah menyusun dunia materi, berevolusi selama 13,8 milyar tahun, hingga membentuk dunia yang dikenal saat ini. Dunia saintifik inilah ilmu pengetahuan yang diajarkan secara formal di sekolah (entah kenapa dunia klenik tidak diajarkan di sekolah, jika memang benar nyata).

Dalam perspektif sains, alam semesta dan kehidupan sepenuhnya tunduk pada hukum alam. Tidak ada alur kisah, plot dramaturgi, atau karakter tokoh ethereal antagonis dan protagonis dalam uraian sains. Black hole bukan lubang, supernova bukan pertunjukan kembang api, dark matter dan dark energy bukan kuasa gelap yang berniat menguasai semesta—sebagaimana dongeng Star Wars hasil imajinasi manusia.

Sains tahu, dunia tersusun dari kombinasi 12 partikel subatomik dan empat hukum alam fundamental. Dunia sains tidak memberi tempat adanya dewa-dewa atau roh-roh, menganggap mukjizat, keajaiban, dan fenomena supranatural sekadar imajinasi atau halusinasi pikiran.

Mitologi adalah produk pikiran era fajar peradaban, saat manusia hanya bisa terpana dan tidak berdaya di hadapan dunia. Semua fenomena alam, bencana khususnya, dianggap terjadi karena ulah dewa-dewa yang marah atau lagi iseng. Untuk menenangkan dewa yang berulah, perlu sesajen, sedekah, upacara kurban, doa, dan rapalan. Bencana alam yang dulu tidak bisa dipahami, kini bisa dijelaskan secara nalar. Hujan, banjir, halilintar, gempa bumi, gunung meletus, wabah penyakit, hingga kematian, terjadi sebagai rutinitas proses alam.

Auguste Comte dalam risalah “The Course of Positive Philosophy” (1842) mengidentifikasi, pemahaman manusia berkembang melalui tiga tahap: tahap teologis, metafisik, dan positivis. Tahap teologis terbagi dalam tiga bagian: fetisisme, politeisme, dan monoteisme. Pemahaman klenik adalah peninggalan tahap fetisisme, ketika manusia meyakini obyek atau benda memiliki “roh” (animisme dan dinamisme). Batu bertuah, keris terbang, pohon angker, sumur atau telaga bertuah, misalnya.

Selanjutnya, tahap metafisik, keyakinan pada “hal-hal bertuah” itu berubah, bertransformasi menjadi konsep-konsep abstrak. Benda atau obyek tidak lagi dianggap memiliki roh atau tuah, fenomena alam bukan lagi ulah dewa-dewa. Sebagai gantinya, diintroduksi konsep-konsep abstrak, yang tidak berkarakter impersonal. Tuhan atau dewa-dewa diganti menjadi “first cause” atau “prime mover”. Roh alam semesta dinamai “anima mundi”, “elan vital”, atau “absolut spirit”. Relasi manusia dengan alam sebagai “dasein”.

Pada tahap positivis, karakteristik benda, obyek, dan fenomena alam dijelaskan melalui hasil observasi, eksperimen, dan bukti empiris. Sebagai kesimpulan hasil penyelidikan dan pengukuran yang bisa diverifikasi, direplikasi, dan difalsifikasi. Dalam paradigma positivis, benda, obyek, dan fenomena adalah produk hukum alam, yang umumnya bisa dijelaskan sebab-akibatnya.

Namun tiga tahap Comtenian ini tidak saling menggantikan (successive) atau menegasikan. Pemahaman teologis, metafisis, dan positivis bisa “hidup bersama” sebagai paradigma. Metode positivis-sains akurat dalam mengidentifikasi obyek atau fenomena alam karena relatif “mudah” diselidiki dan bisa diobservasi. Juga cenderung bersifat mekanis dan deterministik, sehingga bisa diidentifikasi pola dan kinerjanya.

Pemahaman teologis dan metafisis masih terus bertahan di era positivis karena belum semua hal bisa dijelaskan atau diidentifikasi secara positivis. Dunia probabilistik, yang cara kerja dan polanya belum bisa diukur, selain diresapi melalui intuisi, mendorong manusia berpaling ke paradigma teologis atau metafisis. Asal-usul eksistensi, azas ketidakpastian partikel subatomik, temperamen atau perilaku manusia, kinerja otak manusia, perasaan subyektif, kesadaran, adalah sejumlah hal yang masih menjadi teka-teki.

Realitas Klenik dan Saintifik

Dunia sains (postitivis) telah membawa banyak kemajuan dan kejelasan, manfaatnya jelas terbukti, teori-teori dan hukum temuannya valid. Namun mengapa manusia, pada umumnya, masih terus meyakini atau menyukai dunia klenik?

Menurut saintis kognitif Donald Hoffman, persepsi inderawi lah penyebabnya. Dalam buku “The Case Against Reality: Why Evolution Hid The Truth from Our Eyes” (2019), Hoffman menilai “persepsi boleh dianggap serius, tapi jangan dipahami secara harfiah.” Baginya, sains dan mitologi (agama dan metafisika termasuk) adalah upaya menjelaskan kisah yang sama dengan bahasa yang berbeda.

Saintis, spiritualis, dan klenikis hanya memakai vokabulari atau narasi yang berbeda untuk mendeskripsikan misteri alam semesta yang sama. Jika ada konflik antara sains dan klenik, bagi Hoffman, “seringkali hanya soal semantik, bukan substantif”. (Maksudnya, mungkin, klenik dan saintifik adalah sama-sama produk otak manusia, yang membedakan adalah input-nya. Pemikiran klenik ada karena belum ada data, atau insufficient data. Selain pikiran belum terlatih mengolah data).

Otak manusia, menurut Hoffman, adalah komputer organik dengan sistem operasi untuk merangkai input (informasi) yang acak. Otak berupaya mengorganisasi keacakan menjadi lebih “tertata” secara sistematis. Otak kita dibombardir berbagai informasi yang terus datang melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan perasaan. Otak harus mampu menafsir dan menalar dengan cepat untuk memerintah tubuh bereaksi atas berbagai informasi itu. Persepsi pada realitas ditentukan oleh input yang masuk ke otak, sesuai level operating system-nya.

Dan otak manusia, masih menurut Hoffman, memliki kejenakaan yang kadang kelewatan (twisted sense of humor). Otak memerintah kita untuk mempercayai hal-hal ghaib dan klenik, sebagai cara agar kita lebih mudah memahami realitas dan tidak selalu berada dalam kebingungan. Kita percaya ramalan astrologi, berharap nasib menjadi kebih baik, agar dapat jodoh, mendapat rezeki dan semacamnya. Kita percaya dewa-dewa akan membantu (atau mengganggu) hidup kita.

Keyakinan klenik tidak hanya berlaku untuk mereka yang masih primitif (insufficient data) cara berpikirnya. Manusia modern ada yang menganut agama UFO. Novelis L Ron Hubbard mendirikan agama Scientology, pembawa kabar “keselamatan” bernuansa teknologi pesawat angkasa luar. Tom Cruise adalah salah satu “rasul” agama unik ini. Jadi, jika banyak yang percaya pawang hujan Rara bisa memindahkan hujan dengan teriakan dan gesekan cawan, rasanya tidak terlalu aneh.

Operating system otak yang sering tidak logis ini merupakan bagian dari evolusi algoritma untuk memastikan manusia bisa tetap survive dalam dunia yang kacau, berbahaya dan penuh ancaman. Otak menyusun coding algoritma program (aplikasi), “walau kacau, buat jadi teratur”, sebagai program basis. Satu program agar sejalan dengan hukum alam, mengelola entropi dengan informasi. Produknya, antara lain, mekanisme evolusioner “fight or flight” (lawan atau kabur) agar manusia bisa bertahan hidup dalam dunia predatoris ini.

Bagi otak manusia, adanya penjelasan jauh kebih baik ketimbang ketidakjelasan. Manusia akan selalu was-was dan tdak nyaman ketika tidak ada kepastian, jika tidak ada informasi untuk bersikap dan bertindak. Saat data tidak memadai untuk memahami realitas, maka otak menciptakan “realitas” alternatif. Menawarkan imajinasi, ilusi, atau, dalam situasi ekstrim, halusinasi.

Dongeng vs Data

Dongeng klenik adalah masa ketika otak manusia belum mampu membedakan imajinasi dengan reality. Belum terlatih untuk memilah dongeng dengan data. Mitologi, agama, atau metafisika adalah upaya otak untuk memastikan adanya keteraturan yang tersembunyi, dibalik ketidakteraturan dunia.

Manusia gemar bersandar pada keyakinan (dongeng), dan mengabaikan bukti (data), jika itu membuat nyaman. Keyakinan, per definisi, adalah sikap percaya pada sesuatu yang tak terlihat atau tak diketahui, menerimanya sebagai fakta tanpa perlu bukti. Ini yang menjadikan keyakinan bersifat personal, lokal, atau partikular, tidak bisa universal.

“Kearifan lokal”, adakah mekanisme menetralisasi keanehan. Keyakinan terhadap pawang hujan, misalnya, hanya terdapat atau bertahan di sejumlah kebudayaan. Gendruwo, Kuntilanak, Wewegombel atau Tuyul cuma ada di Jawa; Leak cuma ada di Bali, Dracula, Vampire, atau Goblin di Eropa. Santet cuma dikenal di Indonesia, di Amerika Latin dikenal voodo. Masing-masing suku bangsa (tribes) memiliki kisah hikayat asal mula nenek moyangnya. Itu sejumlah contoh lokalitas dan partikularitas dunia dongeng.

Berbeda dengan dunia klenik yang lokal, dunia saintifik berlaku universal. Teori Gravitasi Newton, Evolusi Darwin, Relativitas Einstein, Hukum Archimedes, Thermodinamika, Elektromekanik, Standar Model Partikel, Genetika, dan banyak temuan sains lain berlaku di mana saja. Baik di Rusia, Nigeria, atau India, rumusan persamaan, pemahaman dan penerapan sains sama.

Perbedaan dua dunia, klenik dan saintifik, bisa dianalogikan seperti dongeng dan data. Pada mulanya dongeng menjadi satu-satunya medium, selama ribuan tahun, untuk memahami dunia. Dongeng yang menarik masih bertahan dan berguna, namun bukan lagi untuk menjelaskan dunia. Data lah yang membantu manusia memahami dunia secara lebih valid dan akurat.

Dongeng dan aksi klenik mungkin masih diperlukan sebagai hiburan atau pertunjukan. Aksi teatrikal pawang hujan Rara adalah art performance, untuk promosi, selingan pertunjukan utama. Tidak perlu serius mempersepsikan sebagai kenyataan, dan tidak perlu memahami secara harfiah klaim “cloud engneer” dan remote control AC angkasa.

Namun, agar adil dalam berpikir, selaras dengan sikap skeptis saintifik—menolak dogmatisme. Paradigma saintifik tetap membuka pikiran (open mind) bahwa mungkin saja dunia klenik memang benar ada, dan metode sains memang tidak mampu mendeteksinya. Jika klenik membutuhkan endorsemen sains, para penghayat dan praktisi klenik perlu “uji bukti”. Bisa mendemonstrasikan dan membuktikan keberadaannya secara konsisten. Sehingga klenik bukan cuma menjadi “kearifan lokal” namun juga “jenius lokal”.

Dunia saintifik akan bangga, jika klenik bisa menjadi nilai unggulan Indonesia untuk berkompetisi dengan bangsa-bangsa-maju-sains. Mampu membudidayakan klenik sebagai “sains alternatif” atau “sains ghoib”. Sesuatu yang mungkin terwujud, dalam imajinasi dunia dongeng para penghayat klenik.

 

Lukas Luwarso

Lukas Luwarso

Add comment

Ukuran Huruf