Teknologi digital telah membantu dan memudahkan banyak aspek hidup manusia. Dari berkomunikasi, bekerja, belajar, belanja, mengakses informasi, melakukan perjalanan, hingga menikmati hiburan. Revolusi digital adalah kelanjutan dari revolusi industri berbasis teknologi mekanikal dan analog yang mengakselerasi kemajuan peradaban.
Namun, segala manfaat dunia digital ini bisa juga ditilik dengan menyorot kesuraman dan ancamannya. Maraknya hoaks, kabar bohong, misinformasi dan disinformasi adalah aspek suram dunia digital. Hal yang biasa, teknologi, termasuk komunikasi digital, selalu memunculkan dua potensi, peluang dan ancaman; maslahat dan mudarat, voice dan noise.
Fransisco Budi Hardiman (FBH) dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Filsafat, menyorot kesuraman era komunikasi digital. Dunia realitas, menurutnya, telah digantikan simbol, teks, gambar. Aplikasi platform digital, seperti Zoom, WhatsApp, Tik-Tok, Facebook, dan berbagai media sosial lainnya, telah menyerap atensi manusia. Sehingga tak lagi bisa membedakan antara dunia real dengan simulakra. “Tanpa dibekali ilmu filsafat, komunikasi digital bisa membahayakan demokrasi.”
FBH cemas, dalam komunikasi digital siapa saja bisa berbicara karena tidak ada hirarki yang membatasi. Konsep ideal demokrasi dapat diraih, tetapi cita-cita demokrasi terancam luput dari genggaman. Era komunikasi digital, menurutnya, ditandai dengan kecenderungan orang malas berpikir, karena lebih menyukai browsing dan googling. Secara filosofis ia bertanya, apakah manusia masih berpikir? Apakah bisa disebut komunikasi jika tidak saling mengerti? Apakah bisa disebut demokrasi jika kebohongan merusak komunikasi?
Sejumlah pernyataan dan pertanyaan menohok itu contoh dari sekian banyak kontradiksi dari materi orasi ilmiahnya, yang berjudul “Tugas Filsafat di Era Komunikasi Digital”.
FBH menyebut tiga persoalan komunikasi digital, “dekorporealisasi”, “deteritorialisasi” dan “banalisasi,” yang telah mengubah cara dan gaya hidup manusia.
Segawat apakah situasi dunia komunikasi digital? Berbahayakah “dekorporealisasi” komunikasi; Zoom meeting, Facetime, Meets, dan berbagai aplikasi yang bisa memfasilitasi komunikasi tanpa kehadiran tubuh? “Deteritorialisasi,” hapusnya batas yang lokal dengan yang global; yang privat dengan yang publik (“tiap orang potensial menjadi paparazzi,” kata FBH) apakah sebegitu mengerikan? Banalisasi perilaku klik dan ketik yang mendahului [lolos dari] kesadaran bisa menimbulkan kehebohan. Seberapa heboh?
Tiga kebaruan itu, bagi FBH, telah “mengaburkan kriteria epistemologis, estetis, dan etis” (Oh, sekedar “mengaburkan” perspektif filsafat). Kekaburan yang, dalam bahasa FBH, bukan destruksi tapi sekadar perlu rekonstruksi. Dalam analoginya, seperti membangun rumah baru bukan dg menghancurkan, tetapi melanjutkan merekonstruksi. Untuk merumuskan kriteria baru filsafat tentang kebenaran, keindahan dan kebaikan.
Baiklah, tampaknya FBH sedang ingin menyusun risalah “Filsafat Komunikasi Digital”. Untuk menjawab persoalan zaman yang saat ini menurutnya krusial: merebaknya hoaks dan kebohongan di era pasca-kebenaran (post-truth), konsekuensi dari era komunikasi digital. Agaknya, sejumlah catatan dan input perlu disampaikan untuk membantu FBH merumuskan filsafat komunikasi digital-nya agar lebih mengena dan tepat guna.
Dunia Pasca-Kebenaran.
Beberapa tahun terakhir populer istilah “post-truth”, fakta obyektif kebenaran tidak dianggap penting atau berpengaruh dalam membentuk opini publik. Orang lebih berminat pada informasi yang menarik secara emosional (appeal to emotion) dan selaras dengan keyakinan personal. Oxford Dictionary menyebut post truth sebagai “Word of The Year 2016”.
Post-truth menjadi istilah populer (secara peyoratif) terkait kemenangan Donald Trump, dalam pemilihan presiden di AS, dan Inggris memilih Brexit dari Uni Eropa dalam referendum. Dua peristiwa yang cukup mengagetkan, di tahun 2016, tak pernah terbayangkan bisa terjadi di dua negara kampiun demokrasi. Segera para pengamat politik dan pakar media berupaya mencari penjelasan. Dan mereka menemukan “biang kesalahan”, yaitu: media sosial era digital.
Boleh jadi benar, Donald Trump menang berkat misinformasi dan disinformasi yang mudah diviralkan secara digital. Skandal manipulasi preferensi pemilih oleh Cambridge Analytica – pada 50 juta akun Facebook adalah contoh faktual. Namun benarkah itu semata-mata persoalan teknologi digital? Empat tahun kemudian, Donald Trump kalah telak pada pemilihan presiden AS 2020, apakah ini berkat teknologi digital juga? Poinnya adalah, teknologi digital bisa digunakan mengangkat popularitas politisi buruk seperti Donal Trump, namun bisa juga mengeliminasinya. Teknologi bisa digunakan untuk kebaikan atau untuk mencelakakan. Tergantung manusia penggunanya.
Post-truth bukan fenomena baru, yang baru muncul di era komunikasi digital. Menurut Yuval Noah Harari, manusia sepanjang sejarahnya selalu berada di era post-truth (homo sapiens is a post-truth species). Salah satu kelebihan manusia adalah kemampuan berbohong, menciptakan fiksi dan kemudian meyakininya. Mencari kebenaran (faktual) bukan agenda utama manusia. Kebohongan, jika itu menyenangkan, lebih disukai, ketimbang kenyataan yang menjengkelkan.
Manusia, sejak zaman batu hingga zaman digital, gemar mengarang mitos atau membual untuk menggalang dukungan. Politik sejak zaman Romawi hingga era Jokowi pada dasarnya adalah seni berbohong secara meyakinkan. Fake-news adalah ketika jutaan orang menyukai berita palsu untuk beberapa waktu; jika jutaan orang menyukainya selama ribuan tahun, itulah agama (atau filsafat). Manusia adalah spesies yang secara insting lebih menyukai kekuasaan, atau kekayaan, ketimbang kebenaran.
FBH membedakan dunia digital dengan dunia korporeal (fisik). Komunikasi di dunia digital, menurutnya, tidak nyata, cuma “kenyataan sejauh dibicarakan”. Ia khawatir orang lebih mempercayai realitas yang dibicarakan (simulakra) ketimbang realitas sebenarnya. Meng-klik atau mengetik gajet digital, adalah aktivitas bawah sadar, produk ketidakberpikiran, yang ia namai sebagai “banalisasi”. Satu klik bisa memicu kerusuhan, ini bahaya, ia memperingatkan.
FBH perlu membaca Sigmund Freud, yang memilah struktur kesadaran dalam tiga kategori (id, ego, superego). Dalam banyak hal, menurut Freud, kesadaran memang berada di bawah kontrol ketidaksadaran. Insting, perasaan, atau emosi lebih mengarahkan tindakan manusia ketimbang kesadaran. Soal ini dikupas dengan baik oleh Malcolm Gladwell dalam buku “Blink: The Power of Thinking Without Thinking” (2005). Bukan cuma saat mengklik atau mengetik gadget digital kesadaran tertinggal; saat mengemudi, berbelanja, berdebat, menulis, berpidato (tanpa teks), reaksi instingtif muncul lebih cepat ketimbang kesadaran.
Menurut Gladwell, manusia kerap membuat tindakan cepat (snap decision) berbasis informasi terbatas, impresi sesaat, atau insting perasaan (ia namai sebagai “thin slicing”). Tindakan reflek—di luar kesadaran—itu tidak selalu akurat, namun sering lebih baik ketimbang keputusan berbasis pertimbangan sadar (“thick slicing”). Respon instingtif cepat memang bisa melenceng, namun bisa dilatih untuk didayagunakan secara efektif.
Dalam kaitan aktivitas online, keputusan pra-sadar (thin slicing), mengklik dan mengetik, memang dominan. Tapi reaksi snap judgements pengguna gajet tidak selalu buruk. Gladwell mendefinisikan “thin slicing” sebagai “kemampuan pra-sadar manusia menemukan pola dalam berbagai situasi berbasis pengalaman”. Sumber kemampuan ini adalah “adaptive unconscious” pikiran. Ia merujuk konsep psikolog Timothy Wilson dalam buku “Strangers to Ourselves: Discovering the Adaptive Unconscious” (2002).
Adaptive unconscious agak berbeda dari konsep “bawah sadar” (id) Sigmund Freud. Bagi Freud, bawah sadar adalah ruang gelap pikiran manusia, berisi segala syahwat, hasrat, khayalan, kenangan, yang dirasa tidak pantas berada di ruang kesadaran (ego atau superego). Adaptive consciousness ibarat software komputer (pikiran) yang mampu secara cepat memproses milyaran data yang diperlukan agar manusia bisa berfungsi sebagai manusia. Bertugas untuk memahami dan bereaksi cepat atas bahaya yang mengancam, menetapkan tujuan, dan melakukan tindakan. Poinnya, tidak semua perilaku manusia termotivasi atau digerakkan oleh kesadaran, sebagaimana dipahami atau diharapkan oleh pemikir filsafat, seperti FBH.
Banalitas Manusia
Kecemasan FBH pada “banalitas dunia digital” agak salah alamat. Teknologi digital sekadar medium atau sarana. Teknologi tidak bisa disalahkan, diseret ke pengadilan, didakwa menghasut manusiia penggunanya. Manusia lah yang musti disalahkan, karena ia yang memprogram. Lagipula segawat apa banalitas digital, jika dibandingkan banalitas korporeal?
Ada baiknya FBH membaca ulang risalah Hannah Arrendt tentang “The Banality of Evil” (1963). Buku ini ditulis sebagai kesaksian Arrendt meliput pengadilan perwira Nazi, Adolf Eichmann, atas kekejamannya pada kemanusiaan. Kejahatan tidak selalu dilakukan oleh manusia berjiwa iblis (evil act are not necessarily perpetrated by evil people). Kekejian bisa dilakukan manusia hanya karena kepatuhan menjalankan perintah, atau karena fanatisme pada agama atau keyakinan ideologi. Kebanalan manusia selalu mewarnai sejarah peradaban manusia. Bisa dilakukan siapa saja dengan motif apa saja, baik di zaman batu, era mekanikal, analog, maupun digital.
Seperti era-era sebelumnya, era komunikasi digital tentu memunculkan sejumlah kebanalan. Namun banalitas digital jelas lebih ringan kelasnya ketimbang banalitas korporeal. Dan pasti lebih mudah mengatasinya, karena cuma soal menulis ulang kode algoritma teknologinya. Alih-alih mempersoalkan teknologi, persoalan terbesar adalah banalitas manusia penggunanya. Bukan salah pisau ketika dipakai untuk menikam, yang salah adalah manusia penikamnya.
Banalitas memang marak terpampang di layar smartphone kita: serangkaian teks dan audio-visual olahan teknologi digital. Namun banalitas ini tidak otonom, ia produk manusia, sadar atau tidak. Banalitas digital bahkan bersifat “positif”, jika ia bisa menjadi kanal bagi banalitas korporeal. Sifat keji dan agresi manusia, yang entah dari mana datangnya, bisa disalurkan secara virtual melalui game atau aplikasi. Bukan satu kebetulan jika permainan komputer banyak bertema peperangan, perkelahian atau kekerasan. Manusia memerlukan kanal untuk menyalurkan agresi banalitas korporealnya.
Kita boleh berharap generasi manusia masa depan lebih baik dalam hal kemampuan mengontrol agresivitas korporeal-nya. Tidak lagi berulang kekejian manusia membasmi manusia lain atas nama ideologi (Naziisme dan fasisme), inquisisi-persekusi agama, atau untuk utopia “membangun tata dunia baru”, yang terjadi di era ketika teknologi digital belum ada. Sedikit optimis dengan sains dan teknologi (digital) tidak ada salahnya, seperti dipaparkan Steven Pinker dalam “The Better Angels of Our Nature: Why Violence Has Declined” (2011). Kekerasan, kata Pinker, semakin berkurang di dunia dengan meningkatnya literasi dan akses komunikasi. Era digital bakal mengakselerasi literasi dan komunikasi itu.
Agak terlalu banal untuk melupakan begitu saja problem tragedi banalitas korporeal manusia yang terjadi berulang. Banalitas era komunikasi digital jelas tidak ada seujung-kuku kengeriannya, dibanding banalitas dunia korporeal. Memang tidak perlu membandingkan mana lebih banal, teknologi digital atau aksi korporeal manusia. Namun tidak perlu apologetik, untuk mengakui bahwa persoalan utama ada pada manusia, bukan teknologi.
Dan filsafat ada baiknya fokus mendalami problem kebanalan korporeal manusia, karena ini wilayah tafsir dan pemaknaan. FBH menyatakan, tidak puas hanya mempersoalkan kebaruan kriteria era komunikasi digital (yang memunculkan relativisme epistemis dan moral). Baginya, filsafat tidak boleh membiarkan relativisme.
Filsafat harus membantu menetapkan kriteria baru, untuk mengurangi absurditas era komunikasi digital. Dan dengan tekad itu, ia menawarkan “tiga tugas filsafat”. (Tanggapan atas “tiga tugas filsafat’ FBH itu akan saya ulas dalam tulisan terpisah, untuk menunjukkan sejumlah problem paradigmatik pemahamannya pada teknologi digital).
Alih-alih mempersoalkan teknologi digital sebagai produk ingenuitas manusia, filsafat sesuai tradisinya, lebih pas mempersoalkan manusia, “subyek yang mengada”. FBH perlu mendalami kembali kontradiksi kondisi manusia agar bisa lebih baik memahami banalitas manusia. Baca dan tafsir ulang Thomas Hobbes dan Rousseau, dua filsuf yang secara diametral berbeda paradigma dalam menjelaskan esensi manusia.
Bagi Hobbes, manusia pada dasarnya buruk, peradaban lah yang bisa menyelamatkan dari keburukannya. Sebaliknya, Rousseau menganggap manusia mahluk baik, peradaban lah yang membuat manusia buruk. Silahkan dirumuskan sintesa perbedaan mazhab berpikir “memahami manusia” dua filsuf tersebut.
Menyusun “tugas filsafat” dan merumuskan kriteria epistemik baru untuk mempersoalkan era komunikasi digital, mungkin akan baik dengan menafsir ulang pemikiran metaforik Plato (Forms), Descartes (Tuhan), Kant (Freedom), dan Derrida (Logos). Jangan-jangan dunia digital dan virtual, yang baru berkembang pesat 20 tahun terakhir, adalah “dunia ide” yang dulu pernah dibayangkan para filsuf metafisikawan
Bagaimanapun, saya sepakat dengan FBH dalam hal filsafat harus berupaya menjalankan tugas klasiknya, yaitu mengajak manusia berpikir untuk menemukan kebenaran, memaknai keindahan, dan menilai kebaikan. Sejauh konsep-konsep yang bersifat pemaknaan personal dan relatif itu tidak dipaksakan.
Untuk tujuan itu, ijinkan saya mem-parafrase ungkapan populer John Dewey: “the solution to the ills of Democracy is more Democracy”. Solusi bagi problem teknologi digital, adalah membuat teknologi digital yang lebih baik.
Ini tentu juga berlaku untuk dunia filsafat: untuk memperbaiki pemikiran filsafat yang kurang baik diperlukan filsafat yang lebih baik—dan lebih aktual. Agar filsafat tidak selalu tertinggal, dan bisa lebih baik memahami kemajuan sains dan teknologi digital. ***
Lukas Luwarso
Add comment