Mekanika Kuantum, yang muncul pada awal abad 20, melahirkan sejumlah ‘tafsir spiritual” atas sains. Membuka wacana baru, sains yang bisa “selaras” dengan agama atau spiritualitas. Sebagian saintis menilai tafsir spiritual itu sebagai pseudo-sains, kegairahan berlebihan “berbinar-binar” menafsirkan fisika kuantum yang bernuansa ketidakpastian.
Isaac Newton menemukan Hukum Gerak dan Teori Gravitasi pada 1687, sejak itu fisika didominasi oleh paradigma deterministik. Dunia dipahami bergerak berdasarkan hukum yang serba pasti dan mekanistik, dikenal sebagai era fisika klasik. Namun, tahta fisika klasik yang didirikan Newton dan dimajukan Einstein “tumbang” pada 1927.
Fisika klasik bisa menjelaskan secara akurat fenomena fisika di jagad besar. Namun teorinya tidak berlaku dalam jagad kecil quantum. Dunia partikel subatomik, yang mirip “dunia ghaib”, hanya bisa dijelaskan dengan mekanika kuantum. Temuan ini membuka kembali perdebatan lama tentang realitas fundamental. Tentang spiritualitas, dunia subyektif dan obyektif, juga tentang kesadaran.
Esai pendek “Tat Twam Asi” Goenawan Mohamad (GM) mustinya menarik untuk memantik percakapan terkait spiritualitas dan sains. GM memakai sudut pandang “spiritualitas” Erwin Schrödinger selaku salah satu fisikawan pelopor mekanika quantum.
Namun ada tiga soal mendasar dari pemaparan artikel GM. Yang mengindikasikan, lagi-lagi, kegetiran pada sains dan kesalahannya memahami perkembangan sains. Pertama, soal “sains memisahkan subyek dan obyek”. Kedua, Positivisme memisahkan— bahkan menyisihkan —filsafat. Ketiga, membuat kesimpulan retoris: “bisakah ilmuwan membungkam rasa ingin tahu, sebab dari situ juga sains tumbuh?”
Pertanyaan retoris GM, sebagai penutup esai, ingin menegaskan semtimennya: sains mencoba “membungkam” sikap rasa ingin tahu manusia. Sungguh akrobat logika yang unik. Implisit dari retorika ini, GM ingin menyatakan, sains bukanlah medium untuk menjawab “rasa ingin tahu”. Bagi GM, puisi, filsafat atau agama lah medium sejati pembuka pengetahuan—dan sains berupaya membungkamnya. Tema yang selalu diulang-ulang GM dalam setiap tulisannya yang bernuansa “sains”.
Uraian pendek di bawah ini upaya saya untuk, sekali lagi, meluruskan sentimen GM pada sains, tanpa bermaksud membungkamnya.
Pertama, Memisahkan Subyek – Obyek
Jika GM mengingat referensi sejarah agama dan filsafat, maka “pemisahan konsep subyek dengan obyek” diinisiasi oleh dua hal: agama dan filsafat. Agama Langit (Yahudi, Kristen dan Islam) lah yang secara teologis memisahkan subyek-obyek, antara ciptaan dan pencipta. Agama langit kerap mempersoalkan temuan atau teori sains, yang dianggap merongrong dogma mereka, Teori Heliosentris, Teori Evolusi atau Teori Big Bang, misalnya.
Paradigma agama Samawi itu, misalnya, tidak terdapat dalam ajaran agama bumi, seperti Hindu (Vedanta), Budha, atau Tao, yang tidak mengenal konsep penciptaan atau adanya Sang Pencipta. Agama Bumi tidak memilah dunia menjadi fana dan kekal, atau bumi yang hina dan surga yang sempurna. Semesta dan seisinya adalah manunggal, pemilahan subyek dan obyek sekedar ilusi. Semua fenomena adalah siklus yang berulang.
Paradigma monistik menyebabkan tidak ada pertentangan antara temuan atau teori sains dengan prinsip agama bumi. Dalai Lama, salah satu tokoh Budha, bahkan pernah menyatakan, jika teori sains memastikan klaim ajaran Budha salah, maka klaim Budha harus ditinggalkan, dan temuan sains yang berlaku.
Selain agama Samawi, Plato dengan konsep filsafat “Theory of Forms”, berperan dalam memisahkan subyek dan obyek. Menurut Plato dunia sebenarnya, yang abadi, absolut, dan sempurna adalah dunia Forms (ide). Plato memilah dunia fisik sebagai subyektif dan Forms sebagai dunia obyektif. Konsep Forms Plato diduga menginspirasi konsep surga (kesempurnaan), dunia spiritual yang berada di luar ruang dan waktu, agama Abrahamik.
Pemisahan subyek dan obyek lebih sistematis dirumuskan oleh filsafat rasionalisme Rene Descartes. Hampir 2000 tahun setelah Plato, Descartes memperkuat pemisahan dunia subyek dan obyek, dikenal dengan istilah “Cartesian Dualism”.Konsep dualisme Descartes tertuang dalam ungkapan terkenal “cogito ergo sum”.
Descartes menganggap pikiran-immaterial berbeda dengan tubuh-material. Meskipun saling berinteraksi, pikiran dan otak berbeda substansinya. Ia berargumen tubuh bisa dipisahkan, tangan, kaki bisa dipotong, namun pikiran atau jiwa tidak bisa dibelah. Ia memastikan dunia natural dan supranatural terpisah.
Dualisme Cartesian, masih diamini dalam filsafat dan agama, namun dianggap sudah tidak lagi valid di kalangan neurosaintis mainstream. Antonio Damasio, misalnya, dalam buku “Descartes’ Error: Emotion, Reason, and the Human” (1994) menolak konsep dualisme pikiran dan otak. Baginya, setiap aspek emosi, perasaan, dan pikiran tidak bisa dilepaskan dari kinerja atau produk otak.
Kedua, Positivisme Menyisihkan Filsafat
Positivisme adalah pemikiran filsafat yang menekankan setiap hipotesa rational harus dapat diverifikasi, atau dibuktikan secara logika matematis. Positivisme adalah aliran filsafat, jika GM bermaklumat “postivisme menyisihkan filsafat”, pasti maksudnya hanya metafisika. Positivisme sebagai filsafat mustahil menyisihkan dirinya sendiri.
Filsuf positivis menolak membahas metafisika karena bersifat spekulatif, mempertanyakan hal-hal abstrak. Mereka yang menyukai metafisika, tidak dilarang atau tidak perlu merasa “tersisih” atau “disisihkan”. Karena positivisme bukan lembaga sensor yang bisa membungkam pemikiran.
Dirumuskan oleh Auguste Comte dalam “The Course in Positive Philosophy” (1830), Positivisme adalah kelanjutan dari tradisi filsafat empirisme yang melahirkan Era Enlightenment. Epistemologi positivisme fokus pada dunia fisik yang dapat diobservasi. Menolak metafisika dan teologi karena tidak bisa diverifikasi.
Pemikiran Comte, sebagaimana filsuf empiris, dipengaruhi penemuan Hukum Gerak dan Teori Gravitasi Isaac Newton. Positivisme hanya melanjutkan tradisi dialektika perdebatan pemikiran sejak era filsafat klasik. Antara Plato dan Aristoteles, rasionalisme dan empirisme, hingga berlanjut antara humaniora dan sains.
Positivisme terbukti membawa kemajuan dan perubahan, namun epistemologinya terus dipersoalkan. Fenomenologi (Husserl), hermeneutika (Dilthey, Heidegger), juga intuisionisme (Bergson), adalah sejumlah aliran filsafat yang bersikap kritis dan menolak positivisme.
Pada awal abad ke-20, filsafat positivisme berkembang lebih jauh menjadi Positivisme Logis dan Neo-positivisme. Revolusi sains modern, dengan ditemukannya fisika kuantum, menjadikannya filsafat mainstream. Kalangan filsuf “Lingkaran Vienna”, juga filsafat analitik Anglo-American, sepenuhnya berorientasi ke sains dan mengalihkan kajiannya ke wilayah logika bahasa (logosentrisme).
Sementara aliran Neo-positivisme berkutat ke filsafat sains, bersikap kritis-konstruktif pada metode sains. Karya-karya mereka memberi kontribusi pada rigoritas metode sains, seperti Karl Popper, Thomas Kuhn, Feyerabend. Metafisika “tersisih” oleh positivisme bukan karena “niat jahat”, namun proses logis, agar filsafat tetap bisa relevan dengan perkembangan ilmu.
Ketiga, Membungkam Rasa Ingin Tahu?
GM menulis, “perspektif sains berubah di awal abad ke-20, fisika kuantum memulihkan hubungan subyek dan obyek yang dikaburkan fisika klasik”. Tentu saja, perlu dicatat, itu hasil temuan sains, bukan produk spekulasi metafisika. Fisika kuantum, salah satu tafsirnya, “menyatukan kembali subyek dan obyek” yang pernah dipisahkan filsafat Platonik, Descartes, juga teologi agama Samawi.
Alih-alih “membungkam rasa ingin tahu” kaum penghayat mistik dan metafisik, sains memberikan tafsir teoritis. Fisika kuantum, sebagai sains, mengembalikan konsep monisme. Bahwa dunia yang kita lihat adalah sekedar ilusi, proyeksi dari kesadaran. Interpretasi Kopenhagen memastikan “obyek (alam semesta) dan subyek (manusia yang mengamati) tidak bisa dipisahkan.” Schrodinger juga menyuarakan “Kuantum fisika mengungkapkan alam semesta yang tunggal”.
Tafsir Kopenhagen memicu paradigma “New Age Spiritualism” dan “quantum mysticism.” Tafsir bernuansa spiritualitas disambut antusias, buku “The Tao of Physics” Fritjof Capra (1975) dan “The Dancing Wu Li Master” Garry Zukaf (1979) memantik minat intelektual untuk mendalami Taoisme dan Budhisme.
Fisikawan Paul Davies, dalam “The Matter Myth” (1991) bahkan mengajukan tesis “matinya materialisme” (The Death of Materialism). Ia berargumen, fisika kuantum, sebagai sains, telah membuka pemahaman baru tentang materi. Dunia quantum seperti partikel dan quark, bukanlah materi dan tidak tunduk pada kausalitas sebab akibat teori fisika klasik.
Namun, GM sebaiknya jangan dulu terlalu “berbinar-binar” pada tafsir temuan fisika kuantum. Tafsir dan interpretasi kelompok fisikawan “Kopenhagen” dan Schrödinger masih bersifat tafsir, belum ada kesepakatan final. Einstein, misalnya, menolak konsep pengamat mempengaruhi realitas yang diamati (perdebatan Einstein dan Niels Bohr tentang soal ini sudah saya uraikan dalam artikel “Einstein, Quantum, Tuhan”).
Tafsir spiritual fisika kuantum memang menarik, namun masih harus ditunggu bukti empirisnya. Artinya, masih terdapat ruang pembuktian dan rasa ingin tahu yang perlu dijawab, soal mengapa dan bagaimana dunia kuantum bekerja. Sains tidak memakai “tafsir” sebagai metode valid untuk menjelaskan realitas. Dalam dunia kuantum, sejauh ini sudah diketahui “standard model partikel”, namun teka-teki kinerjanya belum sepenuhnya terungkap.
Sains tidak akan berpretensi bisa menjelaskan dengan penafsiran, apalagi dengan pendekatan mistik, teologis, metafisik atau puisi. Sains juga tidak akan berhenti, berpuas diri dengan tafsir, namun terus akan membuka rasa ingin tahu. Tanpa harus membungkam mereka yang tidak ingin tahu.
Spritualitas Schrödinger
Erwin Schrödinger dikenal sebagai fisikawan teoritis yang mendalami filsafat. Ia juga mempelajari filosofis agama Hindu (Vedanta). Ia menulis sejumlah buku non -fisika, seperti What Is Life (1944), My View of The World (1951), Science and Humanism (1951), Mind and Matter (1955), Nature and The Greek (1955). Buku-buku tipis sebagai refleksi filosofis pandangan hidupnya.
Seperti Einstein, dua filsuf yang mempengaruhi Schrödinger adalah Arthur Schopenhauer, yang membuatnya tertarik Vedanta, dan Baruch Spinoza, yang menjadikannya seorang pantheis. Vedanta adalah teks Hindu yang menekankan manunggalnya kesadaran yang termanifestasi dalam keberagaman, tipikal paradigma pantheisme. Ia menyadari pandangan filosofisnya bernuansa mistik-metafisik, dan tidak dapat divalidasi secara logis-deduktif
Schrödinger dalam “My View of The World” menegaskan bahwa metode sains modern merupakan puncak pemikiran manusia (the zenith of human though). “Kita tidak berharap kehilangan logika presisi yang sudah dicapai metode saintifik, dan itu tidak bisa disejajarkan dengan mode pengetahuan di era kapanpun” (“We do not wish to lose the logical precision that our scientific thought has reached, and that is unparalleled anywhere at any epoch”).
Bagi saintis sekaliber Schrödinger, pasti memahami, paradigma spiritualitas hanya mengandalkan intuisi, asumsi, perasaan, atau pengalaman subyektif. Dan dalam sejarah perkembangan peradaban, cukup banyak berbagai aliran spiritual atau mistisisme. Dari Platonisme, Neoplatonisme, Gnotisisme, Sufisme, Kaballah, Vedanta, Theosofi, dan sejenisnya.
Sains yang mencoba memasuki “dimensi lain” hanya menjadi pseudo-sains, jika hanya bersifat pengalaman atau perenungan subyektif. Konsep “quantum mystic” Paul Davies , “Elan Vital” Henri Bergson, “Intelligence evolution” Alfred Russel Wallace adalah sejumlah contoh pseudo-sains. Konsep-konsep besar seperti “Anima Mundi” (jiwa dunia), “roh absolute”, “prime mover”, “Panpsychism” atau “Cosmopsychism” (alam semesta yang sadar; dunia yang berpikir) adalah konsep-konsep besar tafsir spiritualitas.
Konsep-konsep besar (holistik) spiritualitas menarik untuk renungan memaknai kehidupan, namun hanya sebatas itu. Apakah konsep-konsep itu valid dan faktual? Apakah ada penjelasan definitif yang bisa memastikan konsep-konsep itu bukan spekulatif? Ini tugas sains untuk memvalidasi.
Lukas Luwarso
Add comment