ForSains

Pencarian Spiritual Kebahagiaan

Kebahagiaan itu seperti cantiknya kupu-kupu; saat kau mencoba menangkapnya, kau tidak akan pernah mendapatkannya. Sama dengan laku spiritual, kau menjalani dan menikmati prosesnya, bukan menjadikannya destinasi, karena kau tak akan pernah sampai.

Seandainya Jalaluddin Rumi bisa dihidupkan kembali, untuk sejenak menyaksikan dunia abad 21, kira-kira kesan dan pesan apa yang bakal ia kemukakan? Penyair, sufi, spiritualis, sekaligus mistikus besar abad 13 ini mungkin bakal takjub, terpukau, dan segera masygul. Ia tak akan bisa membayangkan pengetahuan tentang alam semesta bakal begitu luas dan dalam; kehidupan manusia begitu berbeda dibanding eranya. Jika hidup di abad 21, mungkinkah ia tetap akan menjadi seorang spiritual?

Rumi telah mewariskan pemikiran spiritual yang mengilhami manusia selama delapan abad terakhir. Puisi dan syairnya menjadi rujukan bukan cuma di kalangan religius dan penganut spiritualitas, namun juga di kalangan “sekuler materialistis.” Di Amerika, yang sering dianggap ‘negara dajjal”, ia menjadi penyair terpopuler, dan buku-bukunya laku keras.

Teks puisi Rumi yang paling terkenal, “Masnavi-ye-Ma’navi” adalah salah satu karya sufisme paling berpengaruh, dijuluki sebagai puisi mistik teragung, “the Quran in Persian”. Sebuah mahakarya teks spiritual yang mengajarkan, memberi petunjuk, bagaimana “jatuh cinta pada Tuhan.”

Bagi pemerhati puisi amatiran dan non-spiritual, seperti saya, membaca sejumlah puisi sufisme Rumi membuka perspektif yang berbeda. Saya segera terbayang sosok Rumi sebagai seorang ilmuwan, komunikator sains—semacam Carl Sagan—kalau saja ia hidup di abad 21, dengan kaliber yang berbeda.

Tentu, Carl Sagan bukan penyair dan tidak religius, namun ia menghayati dan mencintai alam semesta, sebagaimana Rumi mencintai Tuhan. Buku-buku Sagan adalah ekspresi kecintaan pada semesta dengan paradigma sains. Sementara syair puitis Rumi adalah kecintaan pada Tuhan dengan paradigma spiritual. Sebagaimana prosa Sagan yang cukup puitis, sejumlah syair Rumi juga bernuansa sains. Misalnya, syair Rumi yang kuat “bernuansa Teori Evolusi”:

Aku mati sebagai mineral dan menjadi tanaman,
Aku mati sebagai nabati dan mencapai hewani,
Aku mati sebagai hewan dan menjadi manusia,
Lalu apa yang perlu kutakuti? Aku tidak pernah berkurang dari kematian.
Pada fase berikutnya, aku akan mati sebagai manusia,
Sehingga bisa kuangkat kepala dan sayapku melayang di antara malaikat,,

*****

Membaca kumpulan esai Denny JA (DJA), “Spirituality of Happiness” bayangan anakronisme spiritualitas dan sains itu muncul. Mungkin menarik berspekulasi, secara anakronistik, bagaimana para mistikus besar, para pengusung spiritualitas agung, akan menafsirkan dunia modern. Dunia material yang didefinisikan oleh metode sains dari apa yang tampak dan terukur. Dunia yang telah “kehilangan” nuansa spiritualnya.

Bagi DJA, spiritualitas itu jelas masih ada. Dan Ia bahkan mau mengawinkan tafsir dunia spiritual dengan sains modern yang material. Ibarat Gregor Mendel ingin melakukan kawin silang (hibridisasi, kalau bukan kastrasi) antar unicorn dengan kuda. DJA merasa “menemukan” jembatan imajiner yang bisa menghubungkan sains dan spiritualitas. Ia menyebutnya sebagai “spiritualitas baru abad 21, narasi ilmu pengetahuan.”

Zaman baru perlu spiritualitas baru, tulis DJA. Tapi apa gerangan spiritualitas baru itu? Ia memastikan, jelas bukan agama dan bukan pengganti agama, tapi dapat memperkuat agama. Spiritualitas baru adalah “panduan hidup bahagia dan bermakna, yang diseleksi oleh riset ilmu pengetahuan.” Ia melanjutkan, dengan bernarasi ala “Alvin Toffler-esque”, memilah spiritualitas dalam tiga gelombang: mitologis, agama, dan ilmu pengetahuan. Ada tiga problem utama dari paparannya.

Pertama, Soal Spiritualitas

Konsep atau makna spiritualitas berkembang dari waktu ke waktu, bersifat konotatif dan interpretatif. Secara tradisional spiritualitas merujuk pada aspek keagamaan, merujuk relasi manusia dengan Tuhan. Dalam agama Judeo-Kristen, dan sufisme Islam, terdapat konsep “gambaran Tuhan” (Imago Dei; Elohim).

Konsep Imago Dei menegaskan, manusia diciptakan menurut gambaran dan rupa Tuhan. “Human beings are created In the image and likeness of God.” Konsep ini kental bernuansa Tuhan antropomorfis, produk logika cara berpikir manusia yang bisa dibalik premisnya menjadi; “Tuhan diciptakan menurut gambaran dan rupa manusia.”

Pada abad pertengahan konsep spiritualitas berkembang tidak lagi sekedar soal dogma agama, melainkan juga aspek perkembangan mental manusia. Di era modern, definisi spiritualitas lebih meluas menjadi kesadaran eksistensial, pengalaman subyektif tentang nilai dan makna hidup. Dan justru melepaskan diri, jaga jarak, dari kemapanan organisasi-agama (Abrahamik).

Spiritualitas modern sebagai gaya hidup pasca-agama, menggabungkan antara psikologi humanistik, tradisi mistik, dan esoterika filsafat “agama-agama bumi” seperti Hindhuism, Budhism, Taoism, Confucianism.

Satu survei yang dibuat McCarroll dan O’Connor, “Assessing plurality in spirituality definitions,” (2005) menunjukkan, sedikitnya ada 27 definisi spiritualitas, yang satu sama lain tidak selalu sejalan. Keragaman konsepsi ini membuat cukup sulit untuk membuat kajian yang komprehensif tentang spiritualitas dan maknanya.

Spiritualitas dalam dunia modern, dalam banyak hal, sebenarnya tidak terlalu beda dengan upaya bagaimana menjalani hidup secara baik, bersikap etis, tanpa harus menerapkan laku asketisme. Memudarnya keyakinan pada dogmatisme agama dan meningkatnya sekularisme justru memunculkan paradigma baru spiritualitas. Menjadikan spiritualitas sebagai “sikap religius”, atau religiusitas era baru (New Age): Beragama tanpa dogma.

Kedua, Soal Pengetahuan

Era pencerahan dan revolusi sains membuat relasi sains dan agama (termasuk spiritualitas) menjadi komplikatif. Berbagai temuan sains menegaskan alam semesta bekerja tanpa ada campur tangan kuasa supranatural, dan realitas semakin bisa dijelaskan secara ilmiah. Sejumlah pemimpin agama mulai terbuka menerima teori atau temuan sains, Teori Evolusi Darwin akhirnya diterima oleh Gereja Vatikan. Dalai Lama bahkan menyatakan, jika teori sains memastikan klaim ajaran Budha salah, maka klaim Budha harus ditinggalkan, dan temuan sains yang berlaku.

D sisi lain, dengan munculnya Teori Mekanika Quantum, pada awal abad 20, telah melahirkan sejumlah ‘tafsir spiritual” atas temuan sains. Membuka wacana baru sains yang tidak lagi secara diametral bertentangan dengan agama dan spiritualitas. Bagi sebagian saintis, tafsir spiritual itu dianggap sebagai pseudo-sains. Namun sebagian lainnya menganggap, sains perlu mengamini aspek spiritual, karena realitas tidak semata-mata urusan materialisme. Realitas perlu dipahami secara holistik.

Konsepsi holistik dalam memahami realitas melahirkan paradigma sains “New Age Spiritualism”, seperti quantum mysticism. Salah satu saintis pengusungnya adalah fisikawan Paul Davies, dalam buku “The Matter Myth” (1991). Ia mengajukan tesis “matinya materialisme” (The Death of Materialism). Ia berargumen, Teori Quantum, sebagai sains, telah membuka pemahaman baru tentang materi. Dunia quantum seperti partikel, quark, atom, bukanlah dunia materi. Dunia yang tidak tunduk pada kausalitas sebab akibat, dan tidak bisa dijelaskan dengan hukum fisika makrokosmos.

Namun, paradigma “quantum mistisisme” ala Paul Davies ini dianggap sebagai tafsir bernuansa agama. Lazimnya, sains tidak mengenal “tafsir” sebagai metode yang valid untuk menjelaskan realitas. Jika satu fenomena tidak bisa dijelaskan, tidak bisa dibuktikan, dan diuji, sains tidak perlu berpretensi bisa menjelaskan melalui penafsiran, apalagi dengan pendekatan mistik.

Bagi dunia sains, misteri adalah teka-teki yang harus dipecahkan dan dijelaskan, bukan dibiarkan sebagai misteri. Misteri tidak perlu didekati dengan cara tafsir mistik. Ketidaktahuan tidak menjadi lebih menakjubkan hanya karena meyakini adanya aspek-aspek spiritual (transenden) dibalik hal-hal material (imanen).

Paradigma spiritualitas lazimnya hanya mengandalkan intuisi, asumsi, perasaan, atau pengalaman subyektif. Dan dalam sejarah perkembangan peradaban manusia, cukup dipenuhi dengan berbagai aliran berpikir spiritual atau mistisisme. Filsafat Platonisme, Neoplatonisme, juga penganut Gnotisisme, Sufisme, Kaballah, Vedanta, Theosofi, dan sejenisnya. Sains yang mencoba memasuki “dimensi lain” dianggap sebagai pseudo-sains, karena tidak bisa menjelaskan klaim-klaimnya secara komprehensif.

Konsep “quantum mystic” Paul Davies , “Elan Vital” Henri Bergson, “Intelligence evolution” Alfred Russel Wallace adalah sejumlah contoh pseudo-sains. Konsep-konsep besar seperti “Anima Mundi” (jiwa dunia), “roh absolute”, “prime mover”, “Panpsychism” atau “Cosmopsychism” (alam semesta yang sadar; dunia yang berpikir) adalah tafsir spiritualitas.

Konsep-konsep besar (holistik) spiritualitas mungkin menarik untuk renungan dalam upaya memaknai kehidupan, namun hanya bisa sebatas itu. Apakah konsep-konsep itu valid dan faktual? Apakah ada penjelasan definitif yang bisa memastikan konsep-konsep itu benar real, bukan hanya spekulatif?

Ketiga, Soal Kebahagiaan.

Adakah korelasi antara spiritualitas dengan kebahagiaan? Apakah kebahagiaan itu manifestasi spiritualitas, atau meyakini spiritualitas adalah jalan menuju kebahagiaan? Sepertinya begitu, kalau mengikuti logika DJA. Memahami makna hidup, hati tenteram, dan merasa terkoneksi dengan dunia transenden adalah resep bahagia. Apalagi jika kita kaya raya.

Tapi bagaimana memastikan atau mengukur rasa bahagia? Perasaan (bahagia) bukan hal yang bersifat ajeg, permanen. Bahagia atau nestapa selalu mengayun dalam hidup sehari-hari manusia. Kita bangun pagi dengan rasa bahagia karena semalam tidur nyenyak dan mimpi indah. Namun siang hari kita mendapat kabar dari dokter, hasil pemeriksaan CT-scan menunjukkan kita mengidap kanker stadium tiga, atau gejala Parkinson, atau terpapar Covid-19. Sore kita dapat kabar anggota keluarga mendapat kecelakaan dan meninggal. Malam mendapat kabar saham-saham yang kita miliki anjlok nilainya. Akankah kita tetap bahagia dengan berbagai kabar menyedihkan itu?

Dengan berpegang prinsip spiritualitas, boleh jadi kita bisa tabah menghadapi kesedihan yang bertubi-tubi menerpa. Menganggapnya sebagai “cobaan” Tuhan, yang pasti “ada hikmahnya”. Namun bisakah kita mengabaikan cobaan Tuhan, dengan mengontrol atau menjaga kebahagiaan kita? Mungkin bisa, menurut filsafat Stoicism, yang menekankan pada bagaimana menjalani hidup dengan menggunakan nalar (reason).

Bahagia bagi Stoic adalah ketiadaan persoalan, kondisi apatheia. Bebas dan lepas dari impuls dorongan emosi jiwa sesaat (ataraxia). Kebahagiaan sepenuhnya tergantung pada diri sendiri, berasal dari dalam (inner feeling). Bukan cobaan Tuhan atau gangguan alam. Kebahagiaan tidak terkait dengan pengaruh persoalan atau pengalaman dari luar.

Stoic mengajarkan bagaimana tetap tenang ketika mendapat berkah keberuntungan dan tetap tabah tertimpa kemalangan. Manusia yang bahagia adalah yang mampu ber-“amor fati”, menikmati nasib, dan menjadi diri sendiri. Rasa bahagia bisa dikelola dengan akal, bukan soal spiritual.

Ketika kebahagiaan bersifat subyektif-personal, maka tidak ada resep atau formula “bagaimana menjadi bahagia” yang bisa berlaku untuk semua orang dalam segala situasi. Setiap orang memiliki parameter yang berbeda dalam merasa bahagia. Lagi pula apa sebenarnya kebaikan paling utama hidup sebagai manusia?

“The ultimate good In Life” menurut Aristoteles adalah kebahagiaan (happiness); menurut Epicurus, kesenangan (pleasure); menurut Immanuel Kant, kebajikan (virtue); menurut Spinoza, memahami Tuhan (knowledge of God); menurut agama, mati masuk surga (after life). Makna keutamaan hidup begitu beragam, begitu juga pencarian kebahagiaan.

Spiritualitas adalah aktivitas mental mencari makna hidup untuk menggapai kebahagiaan. Seandainya makna atau kebahagiaan itu sudah “ketemu”, lantas apa? Para spiritualis sejati, memilih menjalani hidup secara asketis. Hidup menjauhi kenikmatan materi dan indrawi, demi mewujudkan maksud rohani. Para yogi di India hidup dengan tampilan kurus dan kumal, para rahib menyepi di kuil-kuil, para sufi mengasingkan diri di gua. Apakah mereka bahagia? Boleh jadi. Namun, seperti itukah wajah kebahagiaan?

Ilmuwan dan saintis yang membaktikan hidupnya untuk memecahkan misteri alam semesta pasti sangat bahagia ketika temuan atau teorinya diterima dan terbukti kebenarannya. Mereka berkutat di laboratorium, atau fokus merumuskan persamaan matematis di ruangan yang sejuk, atau melakukan penelitian di tengah ganasnya alam. Boleh jadi itu manifestasi “spiritualitas” mereka.

******

Buku ber-tagline “spiritualitas baru abad 21, narasi ilmu pengetahuan” ini adalah kumpulan artikel. Tidak diniatkan untuk membahas secara mendalam premis spiritualitas, kebahagiaan atau pengetahuan. Bagi peminat ilmu (sains khususnya) serius, segera bisa melihat sejumlah utaian di buku ini yang konvolutif. Misalnya, salah-kaprah anggapan High Boson sebagai “partikel Tuhan”, bukannya diluruskan duduk soal kesalahan istilah itu, tapi justru dipakai untuk pembenaran.

Atau “Rumi di pundak neurosciences”, ingin mengesankan Rumi sudah memikirkan apa yang neurosains baru mulai selidiki. Jika berniat mengkaitkan, justru harus memahami bahwa neurosains menjadikan Rumi dan fenomena spiritualisme sebagai obyek penelitian. Premis “Satu bumi, satu homo sapiens, dan satu spiritualitas”, apakah ini deskripsi fakta atau sekedar lamunan harapan?

Sejumlah artikel di buku ini memasukkan beberapa jargon sains: Artificial Intelligence, Internet of Everything, CRISPR, face transplant, dan sejenisnya. Namun apa kaitannya dengan spiritualitas dan kebahagiaan, tak terlalu jelas. Pesan yang ditawarkan adalah: ikuti terus info kemajuan sains untuk memperkaya pengetahuan, namun usahakan tetap beragama, sekurangnya spiritualitas, dan hidupmu bakal bahagia.

Narasi buku ini kuat bergaya “messianic,” berpretensi membawa kabar kebenaran. Tuturannya mengingatkan buku Alvin Toffler (Future Shock; The Third Wave) versi simplistik. Mencoba meringkas progres peradaban dunia dalam skema tematik, memaknai sains secara spiritual. Namun, karena buku ini cuma kumpulan artikel yang ditulis dan disebarkan melalui media sosial, kedalaman dan koherensinya kurang memadai.

DJA mengutip Rumi, “agamaku adalah cinta, setiap hati rumah sufiku. Kucari Tuhan di masjid, di gereja, di pura, ketemukan di hatiku.” Inilah esensi pesan yang ingin disampaikan DJA, selaku orang religius dan pengagum Rumi: semua hal bisa ditemukan dan ada di hati. Narasi sains dalam buku ini sekedar asesoris, atau catatan kaki agar tulisan terkesan “up to date” dengan kemajuan ilmu.

Sedikit inspirasi bagi DJA soal kebahagiaan. Menurut saya, bahagia dalam hidup adalah kawan perjalanan, bukan destinasi. Kita bisa memilih menjalani hidup dengan berkawan kebahagiaan atau berteman kesedihan. Kemampuan mengelola emosi dan perasaan hati adalah kunci. Kebahagiaan (sebagaimana kesedihan) adalah real ketika kita menjalani hidup dalam dunia material. Kita kehilangan kebahagiaan ketika perjalanan (hidup) berakhir.

Kita bisa bahagia atau sedih dalam perjalanan hidup. Bahagia saat mendapat kesenangan dan kenikmatan; sedih saat menghadapi banyak masalah dan persoalan. Ini adalah pilihan hati. Kebahagiaan tidak perlu dicari, secara spiritual, di luar diri kita. Seperti kata Rumi, kebahagiaan ada dalam hati. Kita bisa bahagia selama masih punya hati.

******

Lukas Luwarso

Lukas Luwarso

Add comment

Ukuran Huruf