ForSains

Pengakuan Seorang Transhuman (5): Hantu dalam Labirin

Novel Non-fiksi oleh: Lukas Luwarso

Aku berjalan melintasi ruangan yang gelap dan misterius. Di ujung kulihat satu jendela besar yang mengarah ke luar. Aku melangkah mendekati jendela itu, namun jendela itu seperti menjauh. Setiap kupercepat langkah, bahkan berlari untuk menggapai jendela, justru membuatnya semakin jauh. Aku berhenti karena jendela itu tak pernah tergapai. Aku diam terendah-engah, menatap jendela, ruangan tiba-tiba serasa berputar dan makin gelap, aku menjadi mual, seperti mau pingsan.

Aku lawan rasa nausea itu, menggeleng-gelengkan kepala, membelalakkan mata, dan menarik nafas dalam-dalam. Tubuhku serasa melayang. Bukan serasa, aku benar-benar melayang! Kulihat ke bawah, kakiku tidak menjejak tanah. Kutengok ke atas, jendela yang tadi kukejar berada di atap. Ada seberkas cahaya redup, yang mengisi jendela, mungkin pancaran sinar rembulan. Aku menjejakkan kaki dan tangan, gerakan seperti orang tenggelam yang ingin meraih permukaan air agar bisa bernafas, berusaha menggapai jendela.

Saat tubuhku mendekati jendela, sekonyong-konyong  berhamburan masuk dari jendela, sejumlah silouete bayangan, seperti kain jemuran berwarna hitam melambai-lambai. Mengingatkan, ah, betul, seperti Dementor, hantu belau penghisap rasa bahagia manusia, dalam film Harry Potter. Belasan “Dementor” itu masuk memutari tubuhku, menarik ke bawah, sembari menghisap nafas dan isi kepalaku. Dan aku terlelap, tak sadar.

Saat terjaga, aku menemukan diriku berada dalam lorong yang pekat, aku melangkah dan berlari mencari jalan ke luar. Namun lorong yang berkelok-kelok dan berliku ini sepertinya adalah labirin yang tak berujung. Dan Aku tiba-tiba serasa berada di dua tempat bersamaan, di lorong sekaligus di atas labirin. Seperti “roh” orang sekarat yang terpisah dari tubuh, aku bisa melihat sekeliling dari ketinggian.

Aku harus ke luar dari labirin ini. Dan rohku yang berada di atas, semoga bisa memberi petunjuk untuk bisa menemukan lorong yang benar untuk ke luar. Rohku semoga bisa memahami peta labirin, seperti aplikasi Google Map, yang bisa mengarahkan memberi jalan ke luar yang tepat .

Menjelajahi lorong-lorong labirin yang gelap dan berliku, dengan banyak pintu. Setiap kali membuka pintu, memasuki lorong baru, aku melihat penampakan. Di satu lorong aku bertubrukan dengan “dementor”, di lorong lain aku melihat “kuntilanak”, “wewe gombel”, “genderuwo”, “leak”,  “Annabelle”, dan sejumlah mahluk halus lain. 

Penampakan berbagai setan, silih berganti, bermunculan dihadapanku, saat aku berlari menjelajahi lorong labirin. Setan dan segala hantu yang pernah kudengar sebagai dongeng anak-anak atau gambaran hantu dalam film-film horor, terus bermunculan berseliweran di depanku. Aku tercekat, kehabisan nafas, ketakutan. Ternyata setan beneran ada! Aku  kembali pingsan.

Saat terjaga, kulihat berangsur-angsur cahaya terang menyinari lorong labirin, dinding gelap dan kusam berubah menjadi walpaper bercorak dekoratif. Aku terbangun, membuka mata, mulai tersadar, mengalami mimpi buruk yang menyeramkan. Tapi nggak cukup mengerikan, sehingga aku tidak harus terbelalak, terguncang, nafas terendah-engah, seperti lazimnya gambaran mimpi buruk di film-film. Kepalaku hanya berdenyut, seperti biasanya saat bangun tidur, beberapa bulan terakhir.

Aku berusaha mengingat detail mimpi buruk yang menghantuiku, mencoba merangkai kembali jalinan ceritanya. Sewaktu berangkat tidur, aku ingat, memang ingin bermimpi, agar penyakit tumor di kepalaku lenyap. Tapi entah kenapa, otakku memilih mimpi lain, yang sama sekali tidak pernah aku impikan.

Otak membawaku ke dunia mimpi yang sama sekali berbeda, labirin dengan berbagai macam hantu. Padahal aku sama sekali tidak pernah memikirkan, apalagi memercayai hantu, cerita klenik dan segala takhayul. Bagiku penampakan hantu cuma ilusi mata, berbasis ilustrasi cerita komik atau film horor yang karikatural.

Jangan-jangan Sigmun Freud benar, mimpiku itu cermin ketakutan dan kekhawatiran terdalam bawah sadarku. Rasa takut yang terpendam dan tertekan. Apa makna mimpi dua level, melihat jendela dan masuk ke labirin, ala film Inception-nya Leonardo DiCaprio? Bermimpi dalam mimpi tentang “Jendela tak Tergapai” dan “Hantu dalam Labirin”? Segera aku tepis pikiran berandai-andai untuk menafsir makna mimpi ini. Mimpi cuma bunga tidur, kata ungkapan Melayu.

Namun, entah kenapa aku teragitasi, terus memikirkan mimpiku yang aneh semalam, dan terdorong untuk mencari referensi tentang mimpi dan cara kerja pikiran. Aku buka kembali buku lama, karya Steven Pinker, “How the Mind Works“, yang memaparkan cara kerja pikiran dari perspektif ilmu kognitif. Bagaimana otak manusia berkembang seiring evolusi dan proses mental memainkan peran dalam pemahaman, pemikiran, emosi, dan perilaku manusia.

Menurut Pinker, otak seperti komputer biologis, memiliki sistem operasi, rangkaian program yang mengatur dan menentukan semua input acak yang masuk sepanjang hari melalui lima indera. Aliran informasi yang masuk begitu beragam, dan otak harus mengkategori, merespon, dan memaknai.

Sistem operasi otak kita selalu ter-up date berdasarkan input program atau informasi yang paling dominan. Program yang ter-input itu kemudian menentukan persepsi realitas pikiran kita. Jika kita menyukai film horor, cerita hantu, dunia ghaib, dan keajaiban, maka kegemaran itu akan ikut memrogam otak kita untuk memercayai dunia takhayul itu.

Tapi, aku yang tak menyukai kisah hantu dan tidak memercayai takhayul kenapa pula semalam bermimpi tentang hantu. Kenapa aku tidak bermimpi seperti mimpi filsuf Rene Descartes, dari kisah yang kubaca. Saat Descartes masih muda, menjadi prajurit di medan perang, pada tahun 1619,

Descartes bermimpi terperangkap dalam badai salju, di satu ruangan berisi banyak buku, berhari-hari ia hanya bisa baca buku, menunggu badai salju reda. Mimpi itu kemudian mengubah hidupnya, ia memutuskan untuk mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan, menjadi filsuf, ketimbang berkarir di dunia kemiliteran.

Descartes selalu memercayai mimpinya, yang ia anggap sebagai pertanda atau perintah untuk melakukan sesuatu. Karena mengalami mimpi aneh di tengah medan perang itu, ia kemudian menjadi salah satu filsuf terkemuka dan paling berpengaruh  pada eranya. Pemikirannya tentang pikiran membuka era pencerahan (age of enlightenment) di Eropa

Descartes meyakini, kebenaran dapat diperoleh melalui pikiran, dengan cara meragukan segala sesuatu. Pikiran adalah segalanya. Prinsip ini yang membuatnya menjadi salah satu filsuf pelopor filsafat rasionalisme. Ia meyakini kebenaran ada di otak, pikiran adalah satu-satunya hal yang benar dan bisa dipercaya.

Descartes begitu terpukau dengan mimpi hingga ia memakainya sebagai argumen penting bagi metode filsafatnya, dikenal sebagai “dreams argument”. Ia bertanya, ketika kita mengalami satu peristiwa, bisakah kita membuktikan bahwa kita tidak sedang bermimpi? Tidak bisa, jawabnya.

Dalam argumen mimpi, Descartes mengajukan konsep adanya “Hantu Tak Terlihat” (The Invisible Demon) yang bersemayam di tempurung kepala kita. Hantu, entitas roh,  yang mengontrol cara kerja otak dan pikiran kita. Konsep “hantu tak terlihat” mengandaikan “otak dalam toples” tanpa tubuh, yang mampu berpikir, mengalami peristiwa, karena distimulasi oleh aliran listrik.

Seperti orang yang memakai gajet realitas virtual, Oculus Rift, secara permanen. Bisa mengalami serangkaian “pengalaman” palsu, yang cuma ada dalam pikiran. Ingat adegan film Total Recall yang dibintangi Arnold Schwarzenegger? Kita tidak sepenuhnya bisa tahu, yang kita alami itu nyata atau maya, faktual atau cuma virtual? Alegori yang sama juga dikisahkan dalam film Matrix. Neo tidak akan pernah tahu bahwa selama ini dia hidup di dunia maya, bukan dunia nyata, jika tidak menelan pil merah.

“Hantu tak terlihat” adalah analogi Descartes untuk selalu meragukan segala hal yang tidak dapat divalidasi secara logika. Sikap skeptisisme sebagai metodologi filsafatnya. Ia memakai tiga argumen untuk meragukan kemampuan kita untuk bisa mengetahui objektivitas: argumen mimpi, argumen Tuhan, dan argumen setan.

Indera kita, menurut Descartes, tidak berhubungan langsung dengan objek eksternal. Pemahaman pada obyek eksternal dikendalikan oleh citra mental pikiran kita tentang objek tersebut. Misalnya, orang yang percaya adanya hantu, akan menganggap setiap sekelebatan bayangan yang muncul di depannya adalah penampakan hantu. Kita tidak bisa memiliki kepastian mutlak bahwa sesuatu itu benar-benar ada di dunia eksternal.

Descartes membayangkan bahwa setan jahat, yang bersemayam dalam otak kita, telah menipu atau menggoda kita. Setan jahat ini  menciptakan ilusi tentang dunia eksternal, termasuk adanya langit, pelangi, udara, bumi, warna, bentuk, suara, dan semua benda. Semua itu bisa jadi cuma ilusi, atau mimpi, yang setan ciptakan untuk mengelabui pikiran.

Kita jangan-jangan cuma “otak di dalam toples”, yang sebenarnya tidak memiliki tubuh, tangan, kaki, mata, kuping, hidung, dan indera. Otak cuma memberi ilusi,  seolah-olah kita memiliki semua organ tubuh. Ini eksperimentasi pikiran, metode keraguan sistematis, yang “menghantui” Descartes.

Eksperimen pikiran Descartes itu mempertanyakan secara mendasar, apa sebenarnya kesadaran, sebagai teka-teki yang sulit dijelaskan. Hingga kini belum diketahui, apa itu kesadaran, bagaimana munculnya, atau mengapa ada. Kesadaran adalah pengalaman subjektif pikiran terhadap kenyataan obyektif.

Saat kita merasakan sakit ketika jari kaki terbentur, terpesona saat melihat keindahan alam, atau merasa bosan pada rutinitas yang monoton. Kesadaran membuat kita berpikir, berkomunikasi, dan berkreasi. Tanpa kesadaran, kita tidak beda dengan zombi, pohon mahoni, atau segumpal daging dalam toples.

Bagaimana otak menghasilkan pikiran dan kesadaran? Otak manusia adalah teka-teki terbesar yang belum bisa dipahami cara kerjanya. Hingga kini masih terus diperdebatkan, problem sama yang menghantui Descartes, 400 tahun lalu, tentang dualisme antara otak dan pikiran (mind-body dualism). Organ tubuh seberat satu setengah kilogram, bertekstur seperti jeli, berwarna putih, yang bisa kita genggam dalam satu tangan, adalah portal untuk memasuki dunia penuh misteri, teka-teki, dan imajinasi. Juga dunia mimpi, ilusi, dan halusinasi.

Bagaimana gumpalan daging putih ini menghasilkan pikiran, ide, atau gagasan brilian? Juga bisa membayangkan dan mengarang peristiwa, baik mempesona atau menakutkan, sesuatu yang  tidak berwujud namun terasa nyata. Kinerja otak masih sulit dipahami, filsuf dan ilmuwan telah mencoba mencari jawaban selama berabad-abad, dan masih belum ketemu.

Otak dan kesadaran mirip labirin yang tak terhingga dan tak berujung. Bukan satu kebetulan kalau bentuk tekstur otak mirip labirin; berkelok-kelok dan berliku-liku. Siapa yang mengatur dan mengendalikan kinerja otak? Mungkinkan sinyalemen Descartes benar, ada hantu atau tuhan yang menggerakkannya?

Pertanyaan yang sulit dijawab, atau mungkin tidak bakal terjawab. Setelah semalam mimpi “hantu dalam labirin” yang menghantuiku seharian ini, ada pertanyaan penting yang lebih mendesak bagiku. Mengapa otakku diam saja, tidak melakukan perlawanan, ketika ada sejumlah sel tumor menginvasi?

Itu soal yang nyata, bagiku. Bukan cuma mimpi. Sudah hampir lima minggu, sejak terdeteksi terkena tumor otak, aku berdiam diri. Aku rahasiakan penyakitku itu dari istri, kedua anakku, dan keluargaku. Kurahasiakan, karena aku tak ingin mereka khawatir dan terganggu ketenangan rutinitas hidup mereka.

Namun aku merasa, tidak semestinya aku rahasiakan ketidakkesehatan otakku lebih lama lagi. Mimpi semalam mungkin adalah sinyal, bahwa aku harus berani menghadapi kenyataan buruk ini. Aku harus memberitahu mereka yang paling dekat dalam hidupku. Secepatnya. Aku perlu mencari momen dan kalimat yang tepat untuk mengabarkan. Besok, atau lusa, setidaknya minggu ini.

Baiklah, sebaiknya minggu depan. Setelah aku memeriksa kembali dan mendapat kepastian, tentang perkembangan tumor yang bersarang di otakku ini.

(Bersambung).

Lukas Luwarso

2 comments

  • Pak Lukas pernah dengar atau baca ttg salah satu bagian dari Ajaran Buddha yg disebut Abhidhamma? Abhidhamma membahas dan membedah kesadaran sampai ke bagian2 terkecilnya.

Ukuran Huruf