ForSains

Pengakuan Seorang Transhuman (4): Aku Bermimpi Maka Aku Ada


Novel Non-fiksi oleh: Lukas Luwarso

          “Serius, otak tidak pernah berhenti berpikir? Termasuk saat kita tidur atau pingsan?” tanyaku, ingin memastikan ia tidak sedang bercanda.
          “Bahkan ketika kita tidur, pikiran tetap aktif, meskipun yang dipikirkan berbeda dibanding saat kita terjaga atau sadar. Emangnya mimpi itu apa? Mimpi adalah bukti otak tetap berpikir.” Rupanya Ruslan memang serius.

Sebagai kawan bercakap, dokter Ruslan, yang aku juluki psikiater paruh waktu dan full-time filsuf, sangat menyenangkan. Bicaranya lugas, selalu antusias, pengetahuannya luas, ensiklopedik—istilah klisenya. Aku selalu menikmati bercakap dengannya. Kepalaku yang  berdenyut-denyut, agak pening, tak aku rasakan, saat mendengar retorikanya yang menarik, selalu ada yang baru. “Lalu apa yang membedakan kerja pikiran, saat kita terjaga, tidur, atau pingsan?” tanyaku.
         “Cuma soal input yang diproses otak. Saat tidur, otak tidak mendapatkan input informasi apapun dari indera penglihatan, perasa, atau pendengaran,” paparnya sambil menunjuk mata, kuping, dan menjulurkan lidahnya. “Ada dua tahapan tidur, non-REM (Rapid Eye Movement) dan REM, tidur pulas. Selama tidur non-REM, otak mengkonsolidasi informasi yang diperoleh saat kita terjaga sadar. Otak memperbaiki dan mengorganisasi ingatan, serta mengintegrasikan input—pengalaman dan informasi—baru ke dalam pengetahuan yang sudah tersimpan dalam memori. Pada tahap non-REM ini, pikiran kita masih setengah atau seperempat sadar, belum tidur pulas.”
          “Bagaimana kita tahu saat tidur kita masih setengah atau seperempat sadar? Memang ada perhitungan matematis untuk mengukurnya?” Tanyaku seperempat bercanda, aku lebih menyukai Ruslan saat tidak terlampau pretensius serius.
         “Saat tidur pulas, kinerja aktivitas otak meningkat. Pada tahap inilah kita bermimpi. Pikiran memproduksi citra visual dan mengkreasi beragam kisah peristiwa. Otak seperti membuat adegan film untuk ditonton sendiri—tanpa mengajak mata atau telinga ikut menikmati. Itu sebabnya adegan-adegan dalam mimpi sering aneh atau surealis.”
         “Realisme-magis, seperti novel-novel Gabriel Garcia Marquez? Bisakah kita memilih tema mimpi, misalnya aku ingin bermimpi menjadi miliarder?” Guyon yang garing. Tapi Ruslan tak terpancing. Ia lanjut menguraikan pemikiran pedantiknya.
         “Mimpi adalah persepsi, emosi, dan sensasi pikiran visual saat kita tidur. Fungsi mimpi  untuk mengkonsolidasi memori, mengolah informasi dan emosi. Mimpi membantu mengorganisir informasi yang diakumulasi saat terjaga, memperbaiki ingatan serta menstabilkan emosi. Selain itu, ini yang penting, mimpi juga berguna  untuk memenuhi hasrat-hasrat fantasi dan imajinasi terpendam. Keinginan tersembunyi, hasrat bawah sadar yang tidak termanifestasi dalam kesadaran.” Seperti hasratku untuk menjadi miliarder? Itu keinginan sadar, bukan cuma mimpi, kataku menginterupsi, dalam hati.
         “Otak menavigasi hidup kita, agar hidup terarah dan bertujuan. Otak menyusun penjelasan, membuat alasan, mengarang dalih, termasuk berbohong, dan berbagai cara merespon situasi. Otak merangkai cerita, dan membuat mimpi saat tidur pulas. Navigasi pikiran itu untuk dua tujuan, agar tetap sintas menjalani hidup, dan hidup lebih bermakna.”
         “Padahal hidup tidak ada maknanya, selain sekadar ada. Seperti mimpi yang seringkali juga tak bermakna, Makna hidup cuma rekaan pikiran otak kita, untuk memotivasi agar kita menjalani hidup dengan lebih terarah?” kataku dan Ruslan mengangguk setuju.

Aku menemui Ruslan , sebenarnya untuk meminta resep obat penenang pikiran. Tapi dia malah mengajak berpikir soal mimpi dan makna kehidupan. “Saat kita pingsan, apakah pikiran juga tetap sibuk mengarang makna?“ tanyaku melanjutkan percakapan.
         “Pingsan adalah hilangnya kesadaran secara temporal. Selama pingsan, otak tidak berfungsi normal, kehilangan kemampuan untuk memproses informasi. Saat pingsan otak bekerja minimal, mekanikal, hanya menjaga berjalannya fungsi vital organ tubuh. Memastikan jantung tetap berdetak, nafas masih terhembus, darah terus mengalir, dan seterusnya.”
        “Lah, kau bilang, saat otak berhenti berpikir, itu sama artinya jantung berhenti berdetak?”
       “Ketika kau pingsan, otakmu hanya berhenti berpikir, tidak berhenti bekerja. Berpikir adalah proses kognitif yang kompleks, mengolah informasi atau membuat keputusan. Kerja otak kan berpikir, kerja jantung berdetak. Jika otak tidak berpikir, sama artinya dengan tidak berdetak untuk jantung. Ibarat komputer yang nge-hang, tetap menyala tapi tidak bisa digunakan. Itu analogi, tentu tidak persis sama. Orang yang mengalami koma dalam waktu lama, hidupnya dianggap bersifat vegetatif. Tidak lagi dianggap hidup.”

Tumbuhan meskipun hidup pasti tidak bermimpi, karena tidak punya otak. Bagaimana dengan hewan yang memiliki otak, apakah mereka bermimpi? Mimpi adalah salah satu misteri kehidupan, sama dengan kesadaran. Kita belum memahami mengapa bermimpi. Aku teringat pernah membaca buku Sigmund Freud, “The Interpretation of Dreams“. Buku terbitan 1899 ini berteori tentang ketidaksadaran, serta berupaya menafsirkan mimpi dari perspektif psikoanalisis. Aku baca semasa kuliah, akhir 1980-an, yang seketika membuatku menjadi  Freudian.

Bagi Freud, mimpi adalah jendela ke dunia bawah sadar. Sebagai ekspresi keinginan tersembunyi, konflik emosional, dan pikiran bawah sadar, yang tidak bisa diakses oleh kesadaran. Melalui mimpi, pikiran bawah sadar muncul ke permukaan, mengungkapkan berbagai keinginan dan fantasi yang tertekan atau tersembunyi. Hasrat-hasrat bawah sadar yang tidak dapat diekspresikan, memanifestasi menjadi mimpi. Contoh konkret, misalnya, “mimpi basah” yang kerap dialami remaja.

Freud menawarkan cara bagaimana menginterpretasi dan menganalisis mimpi, untuk memahami pikiran bawah sadar, keinginan tersembunyi, dan emosi terpendam yang mempengaruhi kesadaran.  Ia menyusun metode psikoanalisis, dengan menafsir mimpi, untuk mengetahui kondisi kesehatan mental, kejiwaan, dan emosional seseorang.

Meskipun suka dengan pemikiran Freud, aku menganggap psikoanalisis adalah pseudosains, hasil otak-atik yang kebetulan sebagian gatuk. Psikologi sebagai kajian ilmiah kondisi kejiwaan manusia sudah berkembang sangat jauh dari era Sigmund Freud. Munculnya neurosains, yang mempelajari detil kinerja syaraf otak, menggunakan teknologi magnetik resonance imaging (MRI), lebih faktual ketimbang tafsir mimpi ala Freud.

Bercakap soal pikiran dan mimpi sebagai kerja otak, mengingatkanku dengan ungkapan  terkenal Rene Descartes, cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Sebuah penegasan filsafat rasionalisme, bahwa satu-satunya yang pasti ada di dunia adalah pikiran. Tanpa ada pikiran, kita dan dunia tidak ada. Ungkapan ini bisa dimodifikasi untuk mengadopsi kerja otak lainnya: bermimpi.  Somniare ergo sum: “Aku bermimpi maka aku ada”.

Hampir dua jam bercakap dengan Ruslan, entah kenapa, membuat kepalaku sedikit ringan, rasa pening berkurang. Mengakhiri pertemuan, aku menanyakan soal resep untuk obat penenang pikiran. Ia menggelengkan kepala. “Tidak perlu, sakit kepalamu tidak ada urusan dengan pikiranmu. Sakitmu bukan soal psikologis, tapi fisiologis. Tidak perlu minum obat penenang, karena kau tidak mengalami masalah kejiwaan. Aku turut prihatin dengan tumor yang menyerangmu, tapi percayalah akan bisa disembuhkan.”

        “Wah, kau sudah menganut kepercayaan rupanya, sejak kapan?”  Kataku agak tidak percaya pada ucapan Ruslan, “kau cuma mau menghibur, memotivasiku dengan kepercayaan yang cuma rekayasa otak?”
         “Ada hal-hal yang aku percaya, bukan dalam perspektif agama. Aku percaya pada nalar, pada mekanisme kehidupan, hukum alam, yang terus berevolusi memperbaiki atau menyeimbangkan diri. Ada konsep homeostatis, mekanisme keseimbangan untuk merawat kehidupan. Lagipula, kerja otak kan mirip algoritma artificial intelligence, mengafirmasi apa kecenderungan kemauan kita.” The word of wisdom Ruslan itu pasti sekadar unjuk rasa keprihatinan padaku yang lagi sakit.
          Ia melanjutkan: “Descartes, filsuf pengusung rasionalisme, yang mendewakan pikiran, juga memiliki ungkapan soal kepercayaan: credo ergo sum, aku percaya maka aku ada.”
          “Tubuh bisa menyembuhkan diri dari penyakit, termasuk melawan tumor. Ingat efek plasebo? Tak ada salahnya percaya pada hal-hal quasi-spiritual, seperti meditasi atau berdoa pada diri sendiri. Kepercayaan juga ada manfaatnya, meningkatkan kinerja otak memobilisasi homeostasis tubuh melawan tumor.” Kata-kata bijak Ruslan menutup percakapan, terus terngiang di memori pikiranku. Kotbah sekuler yang menarik.

Baiklah, orang yang sedang sakit selalu memerlukan motivasi dan harapan. Aku akan ikuti saran Ruslan, yang kebetulan juga saran dokter Hasan. Tidak ada salahnya juga bermeditasi dan berdoa. Memusatkan pikiran, meminta otakku untuk melawan tumor.

Malam ini aku ingin tidur pulas dan bermimpi. Aku berharap tumor ini sebenarnya cuma mimpi buruk, kreasi pikiran dalam tidurku. Yang esok akan hilang.

(Bersambung).

Lukas Luwarso

Add comment

Ukuran Huruf