Kecerdasan buatan (Artifiial Intelligence, AI) dan algoritma komputer telah mengubah hidup kita. Semakin banyak aspek hidup sehati-hari kita berikan pada AI untuk membantu kita memilih atau mengambil keputusan. Dari soal menonton video, mendengar musik, baca buku, hingga mencari jawaban.
Algoritma AI telah mengubah dunia dan perilaku kita, tanpa kita sepenuhnya sadari konsekuensinya. Dalam buku “How to Stay Smart In a Smart World”, psikolog dan saintis behaviour, Gerd Gigerenzer, mengupas bagaimana algoritma AI, kecerdasan non-manusia bakal ikut membentuk atau menentukan masa depan dunia.
Menurutnya, AI jelas lebih cerdas dan lebih baik dibanding kemampuan kinerja dan pikiran manusia dalam situasi yang stabil dan jelas terdefinisi. Misalnya dalam hal permainan catur atau Go, hitungan matematis, juga hal-hal yang bersifat repetitif membutuhkan presisi. Namun untuk situasi yang tidak stabil dan sulit diprediksi, misalnya ketika terjadi pandemi Covid-19 atau situasi yang mudah berubah, tidak pasti, insting pikiran manusia masih lebih unggul.
Untuk problem dan persoalan yang belum sepenuhnya terdefinisi, algoritma AI belum mampu merespon sebaik pikiran manusia. Gigerenzer menyebutnya sebagai “prinsip situasi stabil”. Artinya, AI bisa banyak membantu manusia untuk hal-hal yang bisa diprediksi. Driverless Car misalnya, akan sulit beroperasi jika situasi lalu-lintas sangat kacau.
Algoritma AI, ibaratnya, adalah kalkulator yang semakin pintar dalam menyelesaikan tugas hitungan dan persamaan yang semakin kompleks. Sepintar apapun, basis kinerja AI adalah mesin penghitung. Memang, AI kini bisa melukis, menyusun tulisan, membuat rancangan desain, membuat foto atau video, memenuhi permintaan manusia.
Hasil karya AI bisa lebih menarik, namun AI tetap tidak akan memahami teks, gambar, atau video sebagaimana yang dipahami manusia. Perasaan dan kesadaran subyektivitas sepertinya tetap menjadi karakteristik manusia, yang tidak akan dimiliki oleh AI. Dalam konteks itu, pikiran manusia akan tetap unggul.
Gigerenzer menekankan pentingnya transparansi dalam berbagai hal terkait algoritma AI, serta mengajak agar kita tetap berani berpikir sendiri, tidak selalu mengandalkan AI. Khususnya terkait kreativitas dan seni, serta hal-hal menyangkut nilai, norma, dan etika, termasuk hak asasi manusia.
Tidak semua hal harus bergantung pada aplikasi komouer dan algoritma AI. Sebagaimana kebebasan individu harus dijaga dari kontrol pemerintah atau kekuasaan, perilaku sosial dan politik sebaiknya tidak diserahkan atau di bawah kontrol algoritma AI dan perusahaan teknologi, seperti Google, Facebook, Apple, Amazon, dan sejenisnya.
Karena, menurut Gigerenzer, teknologi digital memiliki kecenderungan untuk memonopoli dan mengarah ke sistem otokrasi. Teknologi pemantauan (surveillance) oleh AI, misalnya, sangat efektif dan presisi, sehingga disukai oleh pemerintah otoriter atau disalahgunakan oleh para peretas atau untuk kepentingan bisnis. Kecenderungan ini bisa berbahaya, khususnya ketika banyak yang menganggap privasi dan kerahasiaan personal bukan lagi menjadi isu penting.
Gigerenzer mengibaratkan kegandrungan orang pada AI seperti kesukaan nongkrong di cafe yang memberikan kopi secara gratis. Cafe yang tidak memberikan kopi gratis akan ditinggalkan dan bangkrut. Kita keasyikan pada Cafe yang memberikan kopi dan WiFi gratis untuk bercakap dan melakukan banyak hal.
Tapa sadar, segala percakapan dan aktivitas online kita selalu dipantau, direkam serta dianalisa oleh aplikasi pemonitor (surveillance) untuk dipakai dan dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis atau politik. Kita bukan lagi sebagai pelanggan Cafe, tapi menjadi produk yang dijual.
Itu sebabnya penting bagi kita untuk tetap mampu menjaga independensi pikiran dan perilaku kita dari pemantauan, godaan kemudahan, dan kontrol AI. Agar kita bisa tetap lebih pintar dari algoritma AI, sebagai teknologi kecerdasan yang kita buat untuk membantu, alih-alih menguasai kita.
Lukas Luwarso
Add comment