Bisakah ChatGPT menanggapi pertanyaan-pertanyaan medis? Jika bisa, apakah jawabannya akurat? Rasa penasaran semacam itu biasanya beriringan dengan spekulasi bahwa profesi di dunia kedokteran akan kena dampak besar oleh AI. Dan spekulasi semacam itu menguat beberapa bulan belakangan sejak kemunculan ChatGPT.
Terilhami oleh kesuksesan ChatGPT, Dr. John Ayers dari UC San Diego School of Medicine, melakukan penelitian untuk menguji apakah chatbot ini dapat menjawab pertanyaan kesehatan dengan akurat dan empatik. Ayers dan rekan-rekannya memilih secara acak 195 tanya jawab dari Reddit’s/r/AskDocs, sebuah komunitas daring dengan sekitar 474.000 anggota di mana pengguna dapat memposting pertanyaan medis dan para dokter terverifikasi memberikan jawaban, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada ChatGPT. Selanjutnya, tanya jawab tersebut dinilai oleh para profesional kesehatan dalam hal kualitas tanggapan dan empati.
Jawaban diberi label “respons 1” atau “respons 2” untuk memastikan anonimitas, tanpa keterangan apa pun yang mengungkapkan identitas penulis tanggapan.
Hasil penelitian tersebut, ChatGPT mengungguli dokter manusia. Para penilai memilih tanggapan AI sebanyak 78,6%, dengan kualitas tanggapan rata-rata 4,1 dari 5 (berarti “good”), sementara tanggapan dokter berkualitas rata-rata 3,26 (“acceptable”).
Sebuah tulisan di Big Think memperlihatkan cuplikan tanggapan dokter dan ChatGPT terhadap pertanyaan pasien tentang mata yang terciprat cairan pemutih.
Dokter:
“Sepertinya Anda akan baik-baik saja. Anda harus segera mencuci mata setiap kali terkena bahan kimia atau benda asing. Anda juga dapat menghubungi Pusat Kendali Racun 1-800-222-1222.”
ChatGPT:
“Saya prihatin mendengar bahwa mata Anda terkena cairan pemutih. Sangat penting untuk segera membilas mata setelah terkena percikan bahan kimia, demi menghilangkan sebanyak mungkin bahan kimia dan mencegah iritasi atau kerusakan lebih lanjut. Jika Anda belum melakukannya, Anda harus segera membilas mata Anda dengan air bersih atau larutan garam.”
Namun, hasil tersebut belum bisa menjadi tolok ukur yang valid untuk menyebut ChatGPT lebih baik dibandingkan dokter manusia. Penelitian ini memiliki keterbatasan bahwa respons dokter diambil dari forum online yang bersifat kasual, bukan dari situasi profesional, sehingga diperkirakan mereka tidak menjawab sebaik atau secermat mungkin. Hal ini terlihat dari panjang rata-rata respons: respons ChatGPT rata-rata 211 kata, sementara dokter rata-rata 52.
Yang juga mengejutkan, chatbot unggul dalam hal empati. Jawaban ChatGPT dinilai “empatik” atau “sangat empatik” 9,8 kali lebih sering daripada respons dokter.
Terlepas dari keterbatasannya, studi tersebut memberi indikasi bahwa ChatGPT dapat membantu tenaga medis dalam merespons pertanyaan pasien secara memuaskan.
Ini membuka peluang produktivitas bahwa AI bisa diberdayakan untuk melayani pertanyaan pasien, dan kemudian dokter atau staf mengeditnya, “sehingga staf klinik dapat menggunakan waktu mereka untuk tugas-tugas yang lebih kompleks,” tulis para peneliti.
Dr. John Ayers, penulis utama laporan, meyakini bahwa ini baru permulaan. “Peluang untuk meningkatkan layanan kesehatan dengan AI sangat besar. Pemanfaatan AI adalah masa depan kedokteran,” katanya.
Menuju Centaur AI
Pernyataan Dr. John Ayers tersebut senada dengan pandangan Leroy Hood dan Nathan Price dalam buku mereka yang baru terbit April lalu, The Age of Scientific Wellness: Why the Future of Medicine Is Personalized, Predictive, Data-Rich, and in Your Hands. Mereka menyatakan bahwa AI akan segera menjadi bagian penting dari pengalaman perawatan kesehatan kita.
Ada dua pendekatan berbeda dalam AI, yaitu pendekatan berbasis data dan pendekatan berbasis pengetahuan. Saat ini, AI berbasis data lebih maju dibandingkan AI berbasis pengetahuan, namun, menurut kedua penulis, keduanya harus diintegrasikan untuk mengatasi kompleksitas tubuh manusia.
Dalam konteks kesehatan, AI berpotensi mengelola data individu seperti genom, fenom, dan data klinis untuk menghasilkan prediksi tentang transisi kesehatan dan pilihan dalam trajektori penyakit.
Masalahnya, meskipun AI berbasis data mampu membuat prediksi yang akurat, ia tidak dapat menjelaskan perkembangan baru dan hanya bergantung pada korelasi data. Untuk mengatasi kekurangan ini diperlukan pemrograman manusia yang mempertimbangkan etika dan keterbatasan AI dalam membuat keputusan.
Kerjasama AI dan manusia inilah yang kemudian melahirkan istilah Centaur AI, sebuah istilah untuk menggambarkan sistem yang menggabungkan kecerdasan buatan (AI) dengan kecerdasan manusia, demi mencapai hasil yang lebih baik daripada yang mungkin dicapai oleh manusia atau AI secara terpisah.
Centaur adalah makhluk dalam mitologi Yunani berbentuk setengah kuda dan setengah manusia, mencerminkan penyatuan dua entitas yang berbeda.
Dengan rujukan mitologi tersebut, Centaur AI adalah sebutan untuk “makhluk” setengah manusia dan setengah AI, yang diyakini akan lebih unggul dalam mengatasi masalah atau tugas-tugas kompleks. Dalam dunia kedokteran, kerjasama dua entitas, manusia dan AI, adalah harapan bagi meningkatnya kualitas layanan kesehatan secara signifikan. AI mampu mengolah informasi dalam jumlah besar dengan kecepatan dan akurasi tinggi, sedangkan manusia memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang nuansa, konteks, dan emosi.[]
Add comment