Oleh: Tauhid Nur Azhar
Perkembangan kecerdasan artifisial (Artificial Intelligence, AI) menarik ditinjau dari aspek humaniora. Persoalan hukum dan etika tak terhindarkan pada saat AI mulai memasuki fase interaksi aktif dengan berbagai elemen dalam kehidupan.
Proses otomasi AI saat ini sudah mulai memasuki level baru, yaitu otorisasi dan kendali penuh atas respon yang dihasilkannya. Misal pada generasi Generative Pre-Trained Transformer-3 plus yang dikenal sebagai text DaVinci-003 atau Code DaVinci-002. Ternyata sesuai dengan alur cerita kisah fiksi dalam novel Origin karya Dan Brown.
Dalam novel tersebut digambarkan bahwa AI terbukti mampu merencanakan dan mengeksekusi suatu tindak pidana yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang sempurna.
AI yang merencanakan dan mengeksekusi perbuatan melanggar hukum, apakah mungkin ? Ya ternyata waktu telah membuktikan, apa yang semula hanya imajinasi penulis novel, ternyata bisa menjadi nyata.
Kajian hukum terkait keberadaan AI beserta produk penerapannya, dalam manuskrip yang ditulis oleh Awaludin Marwan, PhD, founder dan CEO dari Heylaw, mengupas dengan bernas berbagai konsekuensi dari perkembangan teknologi AI, khususnya yang berkelindan dengan aspek hukum.
Pada bagian akhir manuskrip tersebut sudah menjelaskan berbagai potensi implikasi hukum dari penggunaan AI. Khususnya jika kelak AI sudah dapat dikategorikan sebagai artificial legal person atau entitas yang tunduk pada ketetapan hukum.
Ada adagium yang berbunyi: hukum atau undang-undang terkadang berjalan dibelakang kejadian/peristiwa yang muncul di masyarakat, memang kerap terjadi. Misal pada bidang bioteknologi yang perkembangannya luar biasa cepat, seperti teknologi editing gen yang dilakukan He Jiankui dengan memanfaatkan metoda CRISPR.
Etika dan hukum yang mengaturnya belum ada, hingga peneliti seolah dapat berlari keluar rel hukum, norma, dan nilai yang berlaku di masyarakat. Dulu, metoda kloning atau transplantasi organ mendorong lahirnya hukum kedokteran untuk mengakomodir pesatnya dinamika teknologi.
Dalam kajian implikasi hukum lainnya, yang dibahas oleh Mahardika ZP dan Priancha Angga, (2021), proses dan mekanisme otomasi termasuk dalam model trading ataupun penyediaan jasa digital yang sepenuhnya terotomasi dan memiliki sistem cerdas yang dijalankan oleh AI dapat didekati dengan mengacu UU ITE. Pada pasal 21 UU ITE disinggung soal pengaturan agen elektronik untuk transaksi elektronik.
Jika terjadi fraud atau terjadinya kerugian yang disebabkan oleh sistem yang terkategori terencana berniat jahat, memenuhi kaidah hukum pidana, jika hal itu menimbulkan korban atau kerugian (Aprilinda CA, 2021).
Perbedaan AI dengan manusia saat ini adalah pada persoalan niat/motif yang bersumber dari tindakan yang berkesadaran. Muncul pertanyaan, dari manakah keunggulan manusia dalam kemampuan mengembangkan moral didapatkan?
Mengacu pendekatan neurosains, pada manusia, fungsi filtering yang melahirkan atensi, rekognisi, niat/motif, antara lain diperankan oleh area prefrontal cortex dan diperankan oleh salience network yang banyak disupport oleh korteks Insula. Di Insula/SN ada proses pembentukan atensi terhadap stimulus yang bersumber dari kondisi lingkungan. Di masa depan AI bukan tidak mungkin memasuki level sentient atau memiliki derajat kesadaran tertentu
Dari aspek neurosains, emosi yang selama ini kerap dinisbatkan sebagai bagian dari eksklusivitas manusia, terbangun dari memori dan preferensi. Jika AI sudah memiliki banyak kesempatan belajar dari dataset yang komprehensif, dan didesain untuk belajar melalui proses reinforcement learning, bisa lahir konsep AI yang memiliki emosi di masa depan.
Pada manusia ada modalitas moral dan etika sebagai salah satu nilai penentu dalam sistem pengambilan keputusan yang komponennya terdiri atas sifat-sifat empathy, charitableness, fairness, dan guilt.
Bayangkan, andai semua fungsi kinerja otak dapat dikembangkan dan ditiru oleh AI yang memiliki kapasitas super kognisi, maka munculnya AI yang memiliki emosi dan kesadaran cuma soal waktu. Dan hitungan waktu itu sudah dimulai.
Penulis adalah dokter, peneliti di Asosiasi Prakarsa Indonesia Cerdas.
Lukas Luwarso
Add comment