Teori evolusi sulit dimengerti dan, bagi sejumlah penganut keyakinan agama, dianggap mustahil. Kesulitan untuk memahami Teori Evolusi bersumber dari miskonsepsi, uraian detil bagaimana proses evolusi bekerja.
Skala waktu perubahan yang dibutuhkan proses evolusi, munculnya keragaman mahluk hidup, selama jutaan hingga ratusan juta tahun, bersifat non-intuitif. Tidak selaras dengan skala waktu yang bisa dipahami manusia, yang rata-rata cuma berusia kurang dari 100 tahun.
Sulit memahami skala waktu kerja alam semesta selama milyaran tahun. Dan dalam skala waktu ratusan juta tahun itu beragam organisme muncul dan punah. Teori evolusi, jika hanya dikonsepsikan secara asumsi atau intuisi, sepertinya tidak nalar atau tidak logis.
Namun, melalui metode sains, dengan penelitian dan pembuktian, Teori Evolusi semakin menunjukkan validitasnya. Intuisi, asumsi, dan rasionalitas tidak bisa diandalkan untuk memahami cara kerja alam semesta dan realitas kehidupan.
Realitas sebagai entitas “bukan-manusia”, seperti atom, molekul, virus, bakteri, sel, tanaman, hewan, memiliki cara kerja yang berbeda. Batas konsepsi antara hidup dan tidak hidup tidak definitif. Apakah atom dan molekul bukan sesuatu yang “hidup”? Apakah virus mahluk hidup?
Perubahan yang dihasilkan oleh proses evolusi terjadi pada level atom dan molekul, yang berkonfigurasi dan rekonfigurasi selama jutaan tahun. Atom dan molekul menyusun sel, sebagai entitas kehidupan terkecil. Sel selanjutnya membelah, mereplikasi diri, menyusun menjadi organ, dan seterusnya menjadi makhluk hidup yang bergam jenis dan spesiesnya.
Dalam proses perubahan sedikit demi sedikit, pada level atom, molekul, dan sel, proses yang tak bisa dilihat atau dirasakan (manusia) itulah evolusi bekerja. Manusia hanya mampu melihat atau merasakan sesuatu yang sudah terjadi, sebagai sesuatu yang utuh atau lengkap.
Itu sebabnya kognisi manusia memakai istilah tercipta atau ciptaan, untuk segala yang ada, dalam memahami realitas yang dilihat atau dirasakan. Jika ada ciptaan maka pastilah ada yang menciptakan. Namun realitas kehidupan seperti yang diuraikan dalam Teori Evolusi menunjukkan, tidak ada sesuatu yang diciptakan secara utuh dan seketika. Semuanya berproses dan berevolusi.
Teori Evolusi berbasis seleksi alam dirumuskan Charles Darwin dalam buku “On The Origin of Species” (1859). Darwin menguraikan bagaimana organisme mewariskan ciri-ciri fisik dan sifat ke keturunannya. Dalam jangka yang sangat panjang, jutaan tahun, ciri dan sifat yang diwariskan itu akan memunculkan variasi untuk menyesuaikan dengan kondisi alam.
Darwin menunjukkan bukti adanya perubahan itu dengan keragaman burung Finches (sejenis Kutilang) di kepulauan Galapagos. Ada sedikitnya 18 macam burung kutilang Galapagos yang berbeda bentuk paruh dan ciri fisik lainnya. Perbedaan itu adalah produk evolusi untuk beradaptasi dengan lingkungan, agar bisa sintas dan terus beranak-pinak.
Dalam jangka panjang, jutaan tahun, ciri-ciri fisik yang diwariskan akan mengubah atau menghasilkan spesies baru, yang sama sekali berbeda dengan nenek moyang spesies itu. Melalui seleksi alam dan mutasi genetik dimungkinkan munculnya spesies baru dari nenek moyang yang sama (common ancestor).
Saat merumuskan teorinya Darwin tidak tahu mekanisme detil bagaimana karakteristik diturunkan, karena saat itu ilmu Genetika, dan mutasi genetik, belum ditemukan. Kini dengan semakin validnya sains genetika, dengan DNA dan RNA sebagai molekul kehidupan, serta majunya dunia kedokteran, validitas Teori Evolusi mustahil dibantah kebenarannya.
Salah satu miskonsepsi terbesar tentang Teori Evolusi adalah ilustrasi populer, namun simplistik, yang dikenal sebagai “The March of Progress”. Ilustrasi ini seolah menggambarkan progres evolusi “manusia berasal dari kera” (The Road to Homo Sapiens). Gambar karya Rudolph Zalinger ini dibuat untuk ilustrasi bab The Early Man, diproduksi Time-Life pada 1965.
Gambar itu kemudian kerap dipakai sebagai ilustrasi buku-buku populer tentang Teori Evolusi dan asal-usul manusia. Ilustrasi yang jelas salah kaprah. Proses evolusi tidak bersifat satu arah, proses gradual yang bisa diprediksi akan menghasilkan spesies yang “lebih baik”. Homo Sapiens bukanlah tujuan utama proses evolusi kehidupan.
Evolusi bukanlah seperti jalan lurus yang linier, melainkan mirip semak belukar, kehidupan tumbuh bercabang-cabang dan bervariasi. Kera atau monyet bukanlah nenek moyang manusia, karena hidup sejaman. Kera, monyet, gorila, orang utan, dan manusia adalah produk evolusi yang bercabang, primata yang memiliki nenek moyang sama sekitar 8 juta tahun lalu.
Dan Homo Sapiens cuma satu dari sedikitnya 21 jenis spesies manusia yang pernah hidup di bumi. Spesies manusia lain telah punah, seperti Neanderthal, Denosovian, homo naledi, homo luzonensis,homo habilis, homo erectus, dan sebagainya. Manusia, sebagaimana spesies mahluk hidup lainnya, adalah hasil proses evolusi. Bukan produk ciptaan yang muncul dan jadi seketika.
Lukas Luwarso
Add comment