Komputer telah membuat lompatan luar biasa dalam interaksinya dengan manusia. Dari sekedar gajet yang hanya bisa memainkan game Tic-Tac-Toe (1952), mengalahkan Gary Kasparov bermain catur (Deep Blue, 1997), hingga mengalahkan manusia dalam bermain Go, yang dianggap game paling sulit (AlphaGo, 2017).
AlphaGo mampu mengalahkan juara dunia permainan Go, menunjukkan komputer selain bisa lebih cerdas dari manusia, juga memiliki intuisi yang lebih baik. Lompatan besar teknologi Artificial Intelligence (AI), algoritma komputer, yang mampu cerdas berpikir, belajar sendiri, dan memiliki intuisi, seperti layaknya pikiran manusia. Dengan perkembangan eksponensial ini, apakah AI akan menjadi teman atau ancaman bagi manusia?
Komputer yang lebih cerdas dari manusia, memiliki kemampuan intuitif, akan terus meningkatkan kepintarannya secara eksponensial. Era baru kecerdasan bukan lagi produk evolusi biologi berbasis karbon (manusia), melainkan berbasis silikon (komputer) akan membawa era peradaban baru, membuka kemungkinan yang tak terbatas.
Era yang dikenal sebagai Singularitas Teknologi ini, apa dampaknya bagi kemanusiaan? Apakah manusia bakal punah? Atau tunduk dibawah kontrol AI, gambaran masa depan distopian seperti kisah film Matrix atau Terminator?
Situasi ke arah Singularitas Teknologi itu sudah semakin dekat. Era hegemoni kecerdasan manusia sebagai mahluk paling superior tinggal menghitung hari. Ray Kurzweil, pakar teknologi informasi, mematok, waktunya pada 2045, dalam bukunya “Singularity Is Near: When Human Transcend Biology” (2005).
Apakah AI menjadi ancaman eksistensial bagi manusia atau justru mengelevasi manusia menjadi spesies baru yang bisa menanggalkan keterbatasan biologisnya. Manusia menjadi semacam dewa (homo deus) yang mampu menjelajah alam semesta dan hidup abadi? Setidaknya ada tiga skenario spekulatif terkait masa depan manusia di era singularitas mesin super-cerdas.
Pertama, manusia cyborg. Tubuh manusia ditanam chips komputer dan nano robot untuk meningkatkan kemampuan mental dan fisik. Manusia akan menjadi pintar, karena seluruh informasi dan pengetahuan manusia langsung bisa diakses oleh otak. Kerentanan tubuh akibat penyakit degeneratif, seperti kanker, parkinson, atau sakit jantung bisa dicegah atau dihilangkan.
Kedua, hidup abadi. Manusia bisa memilih untuk “tidak mati”, melalui dua cara. Dengan mengunggah seluruh memori dan pikiran manusia ke komputer (mind uploading) dan hidup abadi dalam mesin. Atau memilih terus hidup dalam tubuh fisik, dengan mengganti sebagian organ tubuh atau sel-sel yang menua. Kematian menjadi seperti “penyakit” yang bisa diobati. namun tentu manusia tetap bisa memilih untuk mati, jika menginginkan.
Ketiga, menjadi energi. Ketika hampir semua kemampuannya digantikan oleh mesin super-cerdas, manusia berangsur-angsur akan kehilangan dayanya sebagaimana manusia seperti dulu. Proses itu kini sudah mulai berlaku, manusia sudah mengalihkan kemampuannya menavigasi, mengingat dan menghitung pada mesin komputer atau kalkulator. Saat ini juga banyak pekerjaan manusia sudah diambil-alih komputer.
Tidak lama lagi manusia akan semakin bergantung pada robot untuk merawat orang sakit, orang tua, atau menjaga anak. Ketika robot memiliki kemampuan berempati, kebaikannya akan melebihi manusia. Jika ini yang terjadi, cuma soal waktu, manusia akan berfungsi, sebagaimana digambarkan dalam film Matrix, sebagai sumber energi bagi mesin-mesin cerdas untuk beroperasi.
Teknologi selalu bersifat pedang bermata dua, bisa dipakai untuk kebaikan atau keburukan. Bagaimana mengoptimalkan mesin cerdas AI untuk kebaikan manusia, itulah tantangannya. Sejauh ini manusia belum mengetahui potensi AI sebagai peluang atau ancaman. Apakah AI akan meningkatkan manusia menjadi dewa, atau memusnahkannya.
Sejumlah saintis, sekaliber Stephen Hawking, juga teknologi-industriawan seperti Elon Musk, pernah mengingatkan potensi ancaman AI pada eksistensi manusia. Bagaimanapun potensi mesin super-cerdas AI tergantung sepenuhnya pada manusia yang saat ini terus menyusun dan memperbaiki algoritmanya. Manusia bisa memutuskan untuk tidak melanjutkan proyek AI, jika merasa terancam. Tapi apakah itu mungkin?
Lukas Luwarso
Add comment