Dengan segala kepandiran umumnya manusia, kita masih terpana pada kecerdasannya. Manusia bisa membuat api, bercocok tanam, mendirikan tempat tinggal, hingga menciptakan mesin, komputer hingga roket. Kecerdasan manusia melahirkan bahasa, peradaban, agama, filsafat, matematika, teknologi, dan sains.
Secara umum, kecerdasan adalah kemampuan memahami atau menggunakan informasi sebagai pengetahuan untuk beradaptasi. Meskioun sering dianggap sebagai kelebihan manusia, kecerdasan juga pada level tertentu dimiliki hewan, tumbuhan, juga mesin artificial inttelligence.
Bagaimana sekumpulan atom, molekul dan sel yang menyusun manusia, unsur sama yang menyusun tumbuhan dan hewan, bisa memunculkan kecerdasan? Bagaimana otak manusia yang struktur dan komponennya tidak jauh berbeda dengan otak primata lainnya bisa melahirkan bahasa, kemampuan menulis, dan berimajinasi? Dari mana asal kecerdasan manusia?
Soal ini masih menjadi teka-teki, belum tuntas ketemu jawabannya, bahkan ketika saat ini manusia sudah mampu membuat “kecerdasan buatan”. Mesin cerdas buatan manusia, untuk cara kerja tertentu, bahkan lebih pintar dari penciptanya. Komputer mampu menghitung atau mengolah data lebih cepat ketimbang otak manusia.
Pertanyaan dari mana atau bagaimana manusia mendapatkan kecerdasannya masih tetap menjadi teka-teki. Satu teori baru yang diajukan Profesor Danko Nikolić, dari Frankfurt Institute for Advanced Studies (Max-Planck Institute for Brain Research), mungkin bisa memberi petunjuk soal asal muasal kecerdasan. Ia mengajukan “Teori Practopoesis”, berbasis pada kemampuan organisme biologis untuk beradaptasi, dalam hirarki struktur pikiran dan kaitannya dengan proses kerja otak. Teori ini bisa diaplikasikan baik untuk kinerja otak atau teknologi artificial intelligence (AI).
Prof Nikolic memaparkan teorinya dalam makalah ilmiah berjudul “Where is the mind within the brain? Transient selection of subnetworks by metabotropic receptors and G protein-gated ion channels” (Dimana pikiran dalam otak? Pilihan sementara subjaringan oleh reseptor metabotropik dan saluran ion-protein G), yang dipublikasikan pada Juli 2022. (Link: https://arxiv.org/pdf/2207.11249.pdf)
Teori Practopoesis berbasis pada Teori Evolusi Darwin yang menguraikan bagaimana genome beradaptasi, mewariskan kombinasi baru gen. Gen yang baik terus berlaku (survive), gen yang kurang baik tidak terpakai, agar genome mampu beradaptasi lebih baik dengan lingkungan. Sesuai prinsip mutasi dan seleksi alam dalam Teori Evolusi.
Practopoiesis kinerja otak mirip cara kerja mekanisme adaptif, trials and errors, dalam evolusi spesies. Tubuh perlu mencerna makanan sebagaimana otak perlu mencerna informasi untuk berpikir. Pertumbuhan tubuh tidak selalu diprogram oleh gen (yang sering dianggap sebagai cetak biru). Alih-alih, gen melakukan eksperimenteasi, untuk mengoreksi kesalahan, berdasarkan input dari lingkungan. Melalui mekanisme “trials and errors’ itulah tubuh bisa berkembang dengan benar.
Selama jutaan tahun proses evolusi, gen memiliki informasi yang kompleks sehingga perlu terus bereksperimentasi melalui “uji coba dan salah”. Tubuh akan mempertahankan gen yang sesuai dengan situasi tuntutan lingkungan. Namun mekanisme evolusi adaptif saja tidak cukup untuk munculnya kecerdasan.
Kecerdasan memerlukan teknik adaptasi “trials and error” yang berbeda. Jika teori evolusi berlaku untuk satu spesies, memerlukan ratusan ribua hingga jutaan tahun, mekanisme Practopoiesis berlaku dalam satu kehidupan individu manusia.
Mekanisme adaptif yang berlaku-cepat ini untuk menyesuaikan jaringan besar sel-sel syaraf yang terkoneksi di dalam otak. Otak perlu cepat mengambil keputusan, atau untuk mencari solusi untuk memecahkan persoalan, dalam hitungan detik.
Mekanisme adaptif Practopoiesis kinerja otaklah yang mengasah kecerdasan manusia dalam satu hirarki. Pertama, proses evolusi yang sangat lambat mendorong gen memunculkan beragam spesies. Gens selanjutnya membuat mekanisme adaptasi yang lebih cepat dalam spesies manusia, dan selanjutnya gen mengubah properti sel syaraf dalam otak manusia agar mampu beradaptasi dengan sangat cepat. Dari proses inilah kecerdasan muncul dan terus berkembang pesat.
Mekanisme adaptif sel syaraf semakin meningkat dan cepat dengan semakin banyaknya pengetahuan (informasi) yang tersimpan di dalam gen. Semakin kita terpapar dengan pengalaman dan pengetahuan baru, semakin mendorong sel syaraf untuk lebih cepat menyesuaikan dengan hal-hal baru tersebut. Ada benarnya asumsi bahwa tinggal di lingkungan baru, berinteraksi dengan orang-orang baru, mempelajari bahasa baru, alat musik baru, termasuk teknologi baru ikut meningkatkan kecerdasan kita.
Kecerdasan muncul sebagai produk hirarki mekanisme adaptasi genetik (berbasis mutasi dan seleksi alam). Dari proses evolusi natural yang panjang (jutaan tahun), ke evolusi kultural yang relatif pendek (ribuan tahun), hingga revolusi kecerdasan manusia yang sangat singkat.
Kemampuan manusia untuk sintas dan cerdas, melalui hirarki mekanisme adaptif, telah mengakumulasi begitu banyak pengetahuan dan informasi. Kini babak baru evolusi kecerdasan sedang menunggu, munculnya artificial intelligence (AI), yang akan semakin mengelevasi kecerdasan manusia berjuta-juta kali lipat.
Lukas Luwarso
Add comment