ForSains

Fusi Nuklir, Sumber Energi Baru yang Ramah Lingkungan

Oleh: Tauhid Nur Azhar

Salah satu elemen utama dalam konsep ekonomi sirkular atau ekonomi melingkar berputar dan berakar pada nalar sadar tentang sumber daya berkadar hingga penggunaannya harus dilambari kecerdasan untuk menakar, adalah energi.

Energi yang menggerakkan peradaban dan elemen ekonomi multi sektor, saat ini didominasi energi berbasis karbon atau lebih tepatnya hidrokarbon. Dimana energi yang satu ini adalah produk eksploitasi yang dalam bahasa melayu kerap disebut bersifat semulajadi.

Energi yang sulit terbaharukan dalam waktu dekat, karena memerlukan proses kimia dan fisika secara berkesinambungan dalam kurun waktu jutaan tahun dan membutuhkan keterlibatan banyak faktor dengan dinamika variabel yang nyaris tak terbayangkan.

Jangankan proses pembentukannya di alam, untuk mengolah hasil pengeboran minyak bumi yang didapatkan dalam kondisi crude oil agar dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi secara optimal saja diperlukan banyak tahapan.

Mengapa demikian ?

Karena minyak mentah yang secara komposisi kimia memiliki kandungan sebagai berikut,
karbon 84%, hidrogen 14%, belerang atau sulfur 1-3%, ntrogen kurang dari 1%, dan oksigen kurang dari 1%, lalu unsur logam kurang dari 1%, dan garam kurang dari 1%, serta terdiri dari kumpulan senyawa hidrokarbon yang tersusun dari berbagai senyawa hidrokarbon seperti alkana, senyawa aromatik, naftalena, alkena dan alkuna, memerlukan proses bertingkat sampai siap untuk digunakan secara efisien dan efektif di sistem propulsi ataupun mekanisme bangkitan catudaya lainnya.

Secara teknis akademis, perbedaan identitas hidrokarbon pada minyak bumi diukur berdasar panjang rantai dan titik didih. Semakin panjang rantai karbon, semakin tinggi titik didihnya. Oleh karena itu salah satu upaya jenius manusia agar bisa mendapatkan minyak bumi yang sudah dapat berfungsi sebagai bahan bakar adalah dengan melakukan proses distilasi bertingkat, yaitu dengan memisahkan minyak mentah menjadi fraksi-fraksinya berdasarkan titik didih masing-masing fraksi. Komponen titik didih tinggi tetap cair dan jatuh ke dasar, sedangkan komponen titik didih rendah menguap dan naik melalui bejana penahanan yang disebut menara gelembung.

Proses pengolahan minyak bumi sendiri sekurangnya memerlukan 2 tahapan utama, dengan tahap 1 terdiri dari pemecahan 7 fraksi minyak, melalui proses distilasi berbasis suhu, lalu diikuti dengan tahap kedua yang terdiri dari konversi struktur kimia, ekstraksi, kristalisasi, dan pemurnian.

Sebagai contoh, pada distilasi bertingkat yang memisahkan fraksi di dalam komponen minyak bumi, maka di tahap 1 sortasi akan didapatkan fraksi gas yang titik didihnya setara dengan suhu ruang, atau sekitar 30°C.

Gas yang dihasilkan pada tahap ini adalah bentuk unsur Liquid Natural Gas (LNG) yang mengandung unsur utama propana (C3H8) dan butana (C4H10), dan _Liquid Petroleum Gas_ (LPG) yang mengandung metana (CH4) dan etana (C2H6). Demikian seterusnya hingga masing-masing fraksi dapat dimurnikan dan diproses lanjut agar dapat memberikan manfaat.

Bensin sendiri, bahan bakar yang amat kita kenal karena bersinggungan erat dengan sistem transportasi, dihasilkan di pemisahan fraksi ketiga, dimana minyak mentah dengan titik didih kurang dari 175°C yang masih berupa uap dimasukkan ke kolom pendingin pada suhu antara 90°C sampai 175°C, hingga terjadi perubahan fasa dari bentuk gas menjadi cair. Secara struktur bensin adalah campuran alkana dan rantai C6H14-C9H20.

Jadi memang tidak mudah, dan juga tentu tidak murah ya proses pengolahan bahan bakar itu. Lalu bagian yang juga tidak kalah pentingnya adalah soal cadangan dan ketersediannya. Terlebih karena saat ini tingkat ketergantungan terhadap pasokan bahan bakar berbasis hidrokarbon sudah sampai pada tingkatan kronik berat, maka upaya substitutif memerlukan upaya yang sangat luar biasa, karena menyangkut alih teknologi hulu hilir yang saat ini sudah digunakan dan beroperasi secara masif.

Seiring dengan kondisi tersebut, kesadaran ummat manusia akan perlunya pasokan sumber energi alternatif dari genre yang bersifat terbaharukan atau setidaknya baru dan minim ekses telah tereskalasi menjadi kebutuhan global yang menempati prioritas pemenuhan tertinggi.

Berbagai upaya dan inisiatif inovatif serta solutif digagas, diuji, dan diperkenalkan. Ada upaya mereplikasi prinsip fotosintesis tumbuhan sebagai sumber catudaya alternatif. Dimana secara teoritik konsep ini disebut sebagai fotosintesis artifisial, dimana definisinya adalah kurang lebih sedemikian: artificial photosynthesis is a technology that mimics natural photosynthesis by using the received sunlight energy to convert carbon dioxide into high-value compounds such as ethylene, methanol, and ethanol.

Di sisi lain, kita di Indonesia, selain berlimpah dengan sumber catudaya berbasis cahaya matahari, gelombang laut, angin, serta masih memiliki cadangan gas alam yang lumayan besar, juga saat ini sesungguhnya memiliki potensi sumber catudaya energi berbasis biomassa.

Mengingat perkebunan sawit yang sedemikian luas, juga berbagai sumber material organik yang dapat dikonversi menjadi fraksi hidrokarbon berpotensi bakar dan menghasilkan kalori, maka peluang untuk mengoptimasi energi substitutif baru dan terbaharukan amatlah menjanjikan.

Teknologi hidrogen/fuelcell adalah salah satu alternatif yang juga dapat disinergikan dengan potensi biomassa yang kita miliki selain produksi langsung senyawa bakar berbasis hidrokarbon. Teknologi catudaya hidrogen menggunakan metoda sel bahan bakar atau _fuel cell_. Dimana _fuel cell_ ini memiliki kutub anoda dan katoda, seperti baterai, dimana hidrogen (H2) serta
oksigen (O2) dialirkan ke dua kutub yang berbeda untuk menimbulkan reaksi yang menghasilkan listrik serta uap air (H2O).

Secara teknis, metoda yang dapat digunakan untuk memanen gas hidrogen adalah antara lain melalui proses _steam reforming_, gasifikasi, elektrolisis, dan proses biologis.

Salah satu alternatif “hijau” dan juga efisien dalam proses produksi energi adalah dengan teknologi nuklir, terutama yang saat ini tengah mendapat sorotan dunia karena perkembangan penelitiannya telah mendapat kemajuan signifikan, teknologi fusi nuklir.

Fusi nuklir adalah proses di mana dua atau lebih inti atom bergabung untuk membentuk inti tunggal yang lebih masif.  Proses ini melepaskan sejumlah besar energi, menjadikannya sumber listrik yang berpotensi kuat.  Sementara fusi telah dipelajari secara ekstensif selama beberapa dekade, itu belum berhasil dimanfaatkan dalam skala besar.  Namun, kemajuan teknologi baru-baru ini telah membawa kita lebih dekat dari sebelumnya untuk mewujudkan potensi penuh fusi nuklir sebagai sumber energi.

Salah satu tantangan utama dalam mencapai fusi nuklir adalah kondisi ekstrem yang diperlukan untuk berlangsungnya reaksi.  Temperatur dan tekanan yang tinggi harus dipertahankan untuk memaksa nukleus melebur menjadi satu.  Ini secara tradisional sulit dicapai.

Mengapa ?

Karena adanya gaya Coulomb antar proton yang bersifat tolak menolak hingga reaksi fusi sulit terjadi. Lalu mengapa di matahari atau bintang pada umumnya dapat terjadi reaksi fusi antar atom hidrogen ? Salah satu jawabannya adalah karena di bintang ada tegangan aksial dengan vektor gaya mengarah ke pusat bintang yang dipantik oleh besarnya kekuatan gravitasi yang berbanding lurus dengan massa bintang tersebut.

Tegangan aksial di bintang yang dapat mengatasi gaya tolak menolak Coulomb di proton bekerja dalam terminologi _tensor energi momentum_. Maka pada reaktor fusi generasi terkini seperti yang ada di _Lawrence Livermore National Laboratory_ (LLNL) menggunakan tembakan laser (192 berkas laser) yang dapat memicu peningkatan energi kinetik partikel, 1/2 mv², yang nilai agregatnya dapat memberikan efek menyerupai tegangan aksial yang mampu mengurangi efek Coulomb. Percobaan terakhir ada “hasil” berupa kelebihan energi 8% yang dapat dipanen dari reaksi fusi dengan menggunakan teknologi ini.

Sebelumnya salah satu pendekatan teknologi fusi yang cukup menjanjikan adalah penggunaan kurungan magnet, di mana medan magnet yang kuat digunakan untuk menahan reaksi fusi. Pendekatan ini sedang dilakukan oleh beberapa pusat penelitian, termasuk proyek _International Thermonuclear Experimental Reactor_ (ITER) di Perancis, dimana ITER saat ini sedang membangun reaktor fusi, dan diharapkan dapat beroperasi pada tahun 2025. Reaktor ini dapat menginisiasi penggunaan fusi secara komersial sebagai sumber energi.

Pendekatan lain untuk fusi adalah pengurungan inersia, di mana sinar laser intens digunakan untuk mengompres dan memanaskan pelet kecil bahan bakar fusi, menyebabkannya mengalami fusi.  Pendekatan ini telah didemonstrasikan dalam skala kecil, namun kemajuan lebih lanjut diperlukan untuk membuatnya layak untuk pembangkit listrik skala besar, teknik ini yang diterapkan di Lawrence Livermore National Laboratory (LLNL).

Terlepas dari tantangan dan kesulitan teknisnya, potensi manfaat teknologi fusi nuklir sangat besar.  Reaksi fusi menghasilkan energi dalam jumlah besar dengan sedikit atau tanpa emisi karbon, menjadikannya sumber energi yang bersih dan terbarukan.  Ini juga memiliki potensi untuk menghasilkan energi dalam skala yang jauh lebih besar daripada teknologi terbarukan saat ini, menjadikannya sebagai game changer potensial dalam upaya mengelola dampak perubahan iklim akibat berbagai manipulasi antroposentrik belakangan ini.

Selain itu, reaksi fusi menghasilkan limbah radioaktif yang sangat minimal dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga nuklir tradisional.  Limbah yang dihasilkan cepat terurai hingga dapat mengurangi kebutuhan penyimpanan dan pembuangan jangka panjang.  Hal ini membuat fusi menjadi sumber energi yang berpotensi lebih aman dan lebih berkelanjutan daripada tenaga nuklir konvensional.

Lalu apa pilihan kita ke depan? Untuk bertahan dan terus mengembangkan peradaban akan tersedia beberapa pilihan. Transformasi sumber energi yang didominasi upaya mengkonversi pasokan energi bersumber material hidrokarbon ke energi baru dan terbaharukan,  dan yang kedua, secara paralel melakukan tahapan evolusi spesies melalui proses migrasi digital yang akan menempatkan digital bioma sebagai media baru kehidupan yang lebih ramah lingkungan, non eksploitatif, tidak rakus lahan dan energi, serta membuka banyak kemungkinan untuk mengonstruksi berbagai sistem kehidupan baru yang bersifat non materi.

Termasuk dalam proses penyediaan bahan pangan dan berbagai kebutuhan pokok lainnya yang selama ini menjadi faktor pemantik terjadinya eksploitasi alam secara berlebihan yang kemudian diikuti oleh terciptanya konflik kepentingan berkepanjangan.

Penulis adalah dokter, peneliti di Asosiasi Prakarsa Indonesia Cerdas

 

Lukas Luwarso

Lukas Luwarso

Add comment

Ukuran Huruf