ForSains

Perseteruan Kreativitas Antara Manusia dan Kecerdasan Buatan

Pada tahun 2015, Artificial Intelligence (AI) mulai mampu membuat karya seni berbasis gambar, lukisan, ilustrasi atau foto. Kita cukup memberi perintah melalui teks, beberapa kata atau kalimat pendek. Saat itu, kualitas gambar yang dihasilkan masih sangat buruk dan buram. Namun, sejak 2021 kemampuan AI menghasilkan karya seni sudah sangat bagus.

Kita, misalnya, cukup memberi perintah “buatkan gambar kucing tidur di sofa berbentuk piano”, maka dalam hitungan beberapa detik AI mampu membuat gambar itu dengan baik. AI mampu menggabungkan ide tentang kucing, sofa, dan piano dalam beragam gambar yang menarik, dalam beragam genre lukisan, dari klasik, gotik, surealis, karikaturis, hingga realis.

Tahun 2022 lahir sejumlah aplikasi AI yang spesifik sebagai “ahli gambar” atau “pelukis” yang mampu menyuguhkan karya artistik dalam waktu sekejap. Platform AI art generators seperti DALLE-2, Dream, Craiyon, MyHeritage’s, Midjourney, adalah beberapa contoh mesin pelukis yang populer. Aplikasi yang dalam hitungan detik mampu membuat gambar, foto, atau lukisan indah. Pelukis atau ilustrator manusia perlu beberapa jam, bahkan beberapa hari, untuk menyelesaikan satu karya yang setara keindahannya.

Dengan hadirnya berbagai platform mesin pelukis itu, membuat ilustrasi atau melukis menjadi semudah menulis kalimat. Dan siapapun kini bisa menjadi “pelukis berbakat”, tidak lagi eklusif milik segelintir pelukis betulan. AI telah memasuki wilayah kreativitas yang semula hanya eklusif sebagai kemampuan manusia.

Tak pelak, situasi ini menimbulkan amarah, kekhawatiran, dan perdebatan keras di kalangan praktisi komunitas seni. Setelah penulis, penyair, cerpenis, dan novelis merasa tersaingi dengan platform seperti ChatGPT, kini ilustrator dan pelukis juga mulai bertanya-tanya soal keberlangsungan nasib “profesinya” dalam beberapa tahun ke depan.

Kekhawatiran itu beralasan. Mesin AI berpotensi mengambil-alih kerja dan kreativitas manusia. Apakah AI akan sepenuhnya menggantikan manusia dalam olah kreativitas seni? Bagaimana nasib manusia kreatif dan masa depan kreatvitas, ketika karya AI semakin mendominasi? AI telah menjelma dari kecerdasan buatan menjadi kreativitas buatan (Artificial Creativity).

Reaksi dan respon bernuansa khawatir terhadap ancaman teknologi atau mesin cerdas sudah sering dinarasikan melalui kisah mitologi, novel, atau film sains-fiksi. Dari dongeng Prometheus, novel Frankenstein, hingga film Terminator, mengisahkan ancaman teknologi bagi kelangsungan hidup manusia.

Di era komputer, kisah mesin AI, HAL 9000, dalam film 2001: A Space Odyssey menjadi simbol pemberontakan mesin pada manusia yang menciptakannya. Dalam film Terminator teknologi mesin berjejaring Skynet berniat menumpas manusia. Teknologi mesin cerdas menjadi “mimpi buruk”, alih-alih sekedar membantu ternyata justru berpotensi melumpuhkan manusia.

Ketidakberdayaan, bahkan Kepunahan, manusia saat ini sepertinya bukan lagi cuma narasi kisah fiksi. Yuval Noah Harari memprediksi, kita boleh jadi adalah generasi manusia, homo sapiens, terakhir. “Dalam satu atau dua abad mendatang manusia akan lenyap, Bumi akan didominasi oleh mahluk atau entitas cerdas baru.”

Mesin cerdas setara manusia, dinamai sebagai Artificial General Intelligence (AGI), akan segera terwujud dalam beberapa dekade mendatang. Berlanjut dengan “ledakan kecerdasan” yang mendorong level AGI meningkat pesat menjadi Artificial Super-Intelligence (ASI). Ray Kurzweil, dalam buku “The Singularity is Near” memprediksi AGI akan terwujud pada 2029, dan ASI terealisasi pada 2045.

Benarkah prediksi suram itu akan terwujud? Benarkah mesin super-cerdas level dewa akan menundukkan kemanusiaan menjadi, dalam bahasa Yuval Harari, cuma sebagai “mahluk tak berguna” (useless class)?

Tidak semua pakar AI mengamini prediksi itu. Eric Larson, dalam buku “The Myth of Artificial Intelligence” berargumen, teknologi AI tidak akan bisa mejadi AGI, apalagi menjadi ASI. Sesuatu yang mustahil terjadi.

Terlepas dari perbedaan opini dan argumen para ahli AI tentang potensi AI di masa depan, tantangan yang nyata saat ini adalah: AI sudah dan akan mengambil alih banyak pekerjaan manusia. Bahkan ketika saat ini, level kecerdasan AI belum mencapai AGI atau ASI. AI  berpotensi akan “menumpas kreativitas manusia” dan kerja-kerja kreatif manusia.

Banyak ilustrator, pelukis, penulis, dan pegiat seni terancam akan kehilangan mata pencaharian karena memakai jasa AI jauh lebih murah dan mudah. Ini adalah alasan praktis, pragmatis, dan ekonomis bagi manusia dalam mendayagunakan teknologi AI. Apa yang akan terjadi di masa depan, terkait relasi manusia dengan AI, apakah akan terjadi distopia atau utopia? Itu sepenuhnya pilihan manusia.

Teknologi AI pada akhirnya adalah sintesa, agegrat yang bersumber dari, kecerdasan dan kreativitas manusia. AI memang bisa berkreasi, tapi apakah AI bisa kreatif? Karena kreativitas yang sesungguhnya memerlukan kesadaran, perasaan subyektif, dan emosi. Bukan sekedar proses otomata mesin yang bersifat otomatis.

Masa depan kemanusiaan sepenuhnya berada di tangan manusia sendiri. Berpulang pada kemampuan manusia untuk mencari solusi atas berbagai masalah yang dibuatnya. Dari masalah sosial, ekonomi, politik, pekerjaan, hingga kreativitas. Terserah pada manusia akan berseteru atau bekerja sama bahu membahu dengan AI untuk mengoptimalkan kreativitas

Evolusi AI akan terus berlanjut, dan tidak bisa dielakkan, ditolak, atau dihentikan. Kreativitas manusia perlu terus ditingkatkan untuk memastikan masa depan sepenuhnya berada dalam genggaman kemanusiaan.

 

Lukas Luwarso

Lukas Luwarso

Add comment

Ukuran Huruf