Manusia terlahir di dunia dengan pertanyaan besar yang belum bisa terjawab secara memuaskan, dari mana berasal dan menuju ke mana? Legenda, mitologi dan agama memang mencoba memberi jawaban, namun dongeng dan kisah agama terlalu beragam untuk bisa dianggap sebagai jawaban pasti.
Untunglah, manusia moderen memiliki metode sains untuk menjawab pertanyaan eksistensial yang sangat penting itu. Sains menjadi metode obyektif yang bisa diuji validitasnya, dan saat terbukti bisa diterima oleh manusia dari beragam latar belakang kultural.
Sains dan metodenya penting sebagai paradigma agar kita memiliki perspektif dan pengetahuan yang komprehensif dan valid. Pengetahuan tentang aspek internal diri kita sebagai manusia, dan aspek eksternal lingkungan tempat kita hidup, termasuk tentang alam semesta dan seisinya.
Aspek Internal, untuk memahami cara kerja dan fungsi organ tubuh, yang membuat kita hidup dan beraktivitas. Apa materi yang menyusun tubuh, misalnya tubuh kita tersusun sedikitnya atas 70 triliun sel. Hampir separuh (50%) dari sel itu berupa mikroba, kita adalah habitat atau ekosistem bagi triliunan mikroba, bakteri virus, jamur, dan lain lain. Jika dianalogikan, tubuh kita adalah “bumi” tempat habitat mikroba.
Aspek Eksternal, untuk memahami cara kerja alam semesta, termasuk planet Bumi. Memahami adanya angin, air, gunung, gempa bumi, halilintar; atau beragam materi yang menyusun alam. Memahami pergerakan planet, galaksi, blackhole, supernova, mahluk hidup, tumbuhan, hewan, sel, molekul hingga ayo dan partikel subatomik.
Alam semesta ini serba superlatif. Jika kita memandang langit, sepertinya tenang dan damai. Namun langit penuh aktivitas menakjubkan, setiap saat selalu ada supernova, ledakan bintang, atau lahirnya bintang dan planet baru. Baru-baru ini kita menyaksikan potret ruang angkasa terjauh yang pernah dilihat manusia, melalui teleskop ruang angkasa James Webb. Teleskop yang menjadi “mesin waktu” untuk bisa menengok alam semesta hingga 14,6 milyar tahun lalu.
Sampai tahun 1922, manusia baru memahami alam semesta seluas galaksi kita, Bima Sakti, yang bentangannya cuma seluas 100.000 tahun cahaya. Kurang dati seabad kemudian, tahun
2012, manusia bisa mengobservasi alam semesta dengan ratiuan milyar galaxi, dengan bentangan luas mencapai 39 milyar tahun cahaya.
Sains membuat kita memelihara rasa ingin tahu masa kanak-kanak kita. Penuh rasa ingin tahu, ingin mendapat jawaban, terpukau oleh kebesaran dan keindahan alam semesta. Alam semesta dan kehidupan yang “ajaib”, namun keajaiban yang bisa kita pahami melalui sains. Bukan keajaiban yang penuh misteri dan tidak kita mengerti.
Pelan tapi pasti, sains mampu mengungkap misteri dan menjawab berbagai pertanyaan manusia, melalui temuan dan teorinya yang valid. Temuan sains sering counter-intuitive, berlawanan dengan asumsi atau intuisi kita. Termasuk seolah bertentangan dengan nalar serta indera, khususnya penglihatan. Contoh paling jelas, kita seolah berdiri di atas bumi yang datar dan statis tak bergerak. Melalui sains kita kini tahu, bumi bulat, berotasi dan mengelilingi matahari.
Sains selalu membuat penemuan baru dan terus bergerak maju, karena selalu skeptis dan kritis. Tidak menerima asumsi dan pernyataan yang tidak didukung bukti. Sains juga tidak mengenal otoritas, yang sifatnya mutlak tidak bisa dipersoalkan.
Organisasi sains tertua yang masih eksis di Inggris, Royal Society (berdiri 1660) memilih motto Nullius in Verba (jangan percayai begitu saja kata orang). Menjadi prinsip metode sains untuk memupuk tradisi sikap skeptis dan kritis.
Sains terus akan membantu manusia mengungkap teka-teki alam semesta dan kehidupan melalui metodenya yang sudah teruji. Dengan bertanya, mengajukan hipotesis, meneliti, menguji, mengulangi hasil penelitian dan pengukuran, menjadi bukti yang tidak lagi busa dibantah validitasnya. Kita perlu antusias pada sains, karena membuat manusia bisa memahami dirinya dan dunia sekelilingnya dengan lebih baik.
Editor: Lukas Luwarso
Sumber: opini
Add comment