Hidup manusia memang rapuh. Kita menyaksikan dan mengalami kerapuhan ini di masa pandemi setahun terakhir. Saat kita mendapat kabar keluarga, kerabat, kawan dan kenalan meninggal akibat terinfeksi Covid-19. Situasi memilukan ini menginspirasi Goenawan Mohamad (GM) menulis “Fragile”. Sebuah esai pendek tentang ketakberdayaan manusia menghadapi wabah.
GM bertanya: “kapan wabah ini reda?” Tidak ada yang bisa menjawab. Sains juga tak bisa, katanya. Ia mencoba bijak, sains tak bisa menjawab, bukan berarti sains sia-sia. Mungkin karena memahami, pandemi bukan sejenis quiz, permainan teka-teki pertanyaan yang musti ada jawaban. Sains sebagaimana agama, filsafat, puisi, sastra atau Tuhan juga tidak bisa jawab.
Namun dalam “Fragile” GM merasa perlu, kembali, mempersoalkan sains. Alih-alih mengupas fragilitas hidup manusia, GM larut mendakwa sains. Ia menunjukkan, misalnya, sains “tidak bisa meniadakan” antusiasme jutaan manusia merayakan festival agama di India meski wabah sedang melanda. Ia beralusi, ancaman penularan wabah, yang didengungkan sains, tidak dipedulikan kaum agamis. Sembari menegaskan, sains bukan jawaban, karena “tak semua bisa diletakkan di bawah mikroskop.” Tak semua hal bisa didekati secara saintifik, spesifik antusiasme agama.
Mengutip Einstein, GM merasa, saintis mencoba membentuk gambaran dunia yang gamblang dan disederhanakan. Hidup tak pernah 100% gamblang dan sederhana. “Pasca-Bom Hiroshima, penemuan sains dan teknologi bisa tak jelas dan tak terduga dampaknya,” tulisnya.
Esai GM ini terasa deja vu, mengingatkan kembali “polemik sains” hampir setahun lalu. Ia memicu polemik melalui tulisannya yang penuh sentimen pada sains. Pada tulisan “Sains dan Masalah-Masalahnya”, ia kutip Heidegger, Husserl, dan sejumlah filsuf, untuk mempersoalkan epistemologi sains.
Kali ini, dalam “Fragile”, GM mempersoalkan kutipan pernyataan Saint Simon dan narasi Pramudya Ananta Toer yang bernada optimis pada sains. “Sains melahirkan keajaiban, teknologi akan membawa manusia pada kebesaran”. Kutipan optimistis ini, menurut GM, simplistis dan hiperbolis dalam menggambarkan prestasi sains.
GM menggugat sains, dengan menggunakan—dan mempersoalkan—kutipan. Kembali memainkan kartu anakronisme dalam memaksakan sentimennya pada sains. Pernyataan sambil lalu Saint Simon (1803) dan narasi novel Pramudya berlatar abad-19 (Bumi Manusia dan Perburuan) ia jadikan “studi kasus” tentang problematik sains virologi abad 21.
Tentu sah tidak sepakat dengan optimisme Saint Simon dan Pramudya. Namun bersikap sengit memahami (secara harfiah) ungkapan “keajaiban sains dan teknologi membawa kebesaran manusia” sungguh sentimen hiperbolis yang simplistis.
Keajaiban Sains dan Teknologi
GM mencoba menafikan, kalau bukan meremehkan, perkembangan kemajuan sains yang memang “ajaib” dua abad terakhir. Keajaiban sains-teknologi tentu beda dengan keajaiban imajinatif versi agama, mistik, atau penyair yang metaforik. Keajaiban sains-teknologi nyata, bisa didayagunakan membantu manusia.
Coba kita mundur 300 tahun, menghayati dunia abad 17 yang belum sepenuhnya mengenal sains-teknologi mesin uap, listrik dan magnetisme. Dunia ketika tenaga hanya berbasis pada otot manusia atau hewan, malam selalu gelap gulita, sehingga segala aktivitas berhenti di malam hari.
Dengan penemuan Hukum Termodinamika, manusia bisa melipatgandakan kekuatannya, menggerakkan lokomotif, kapal, dan pabrik. Sains Termodinamika membuka pemahaman pada konsep energi, entropi, dan bagaimana benda-benda (dari kerikil hingga planet) bergerak atau digerakkan.
Misteri energi dan gerak yang terungkap melalui Termodinamika kemudian melahirkan era listrik dan magnetisme (Hukum Elektromagnetisme). Sains-teknologi yang memberikan kita bola lampu, malam tidak harus gelap, pabrik tidak harus dijalankan oleh otot manusia. Berlanjut muncul teknologi telegraf, sarana komunikasi antar benua untuk pertama kali, dan selanjutnya lahir radio, televisi, dan segala gajet yang memudahkan pekerjaan dan interaksi manusia.
Sains-teknologi terus melaju sebagai efek domino. Berbagai temuan dan “keajaiban” baru terus bermunculan. Teori Gravitasi dan Teori Relativitas memungkinkan teknologi penerbangan, manusia bisa mendarat di Bulan, Mars, dan menjelajah angkasa luar. Kita juga tidak lagi mudah tersesat, dengan mengetahui posisi kita dengan teknologi Global Positioning System.
Beberapa dekade terakhir kita memasuki wilayah baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Teknologi digital, dunia quantum, dunia molekuler yang memunculkan info-teknologi, nano-teknologi dan bio-teknologi. Ketika kita bisa mengedit kode genetik, struktur DNA, dengan teknologi CRISPR, sebagaimana kita mengedit puisi.
Kini kita bisa menyaksikan dan menggunakan berbagai “keajaiban” produk sains-teknologi itu sebagai hal yang lumrah dan biasa. Dunia sehari-hari yang para nabi, filsuf, dan mistikus besar, tak bakal bisa imajinasikan—atau pahami—cara kerjanya.
Bayangkan, jika kita bisa bangkitkan dari kubur Jallaludin Rumi, Plato, Husserl atau Heidegger untuk melakukan perjalanan lintas-waktu (time-travelling), hadir kembali di dunia Abad 21.
Fatwa, syair dan risalah apa yang akan mereka tulis untuk menguraikan keterpukauan dan keterpanaan mereka pada hasil ingenuitas pengetahuan berbasis sains- teknologi? Akankah Husserl tetap mengamini pendekatan Fenomenologi spekulatifnya, atau Heidegger terus getol berakrobat-berumit kata-kata untuk ber-hermeneutika?
Sains-teknologi jelas lebih ajaib dari segala keajaiban yang pernah diimajinasikan manusia era sebelumnya. Karena keajaiban sains-teknologi nyata, bukan cuma kisah tuturan. Tentu keajaiban sains belum menandingi khayalan kenabian yang bisa membelah laut, berjalan di atas air, menghidupkan yang mati, atau membangun surga. Termasuk belum bisa menghentikan wabah virus, jika itu cobaan Tuhan.
Namun, sedikit demi sedikit, berbagai kelemahan manusia bisa diatasi dengan sains-teknologi. Menyembuhkan kebutaan atau ketulian, misalnya, yang dulu dikisahkan hanya bisa dilakukan Yesus, mungkin tidak lama lagi akan bisa dilakukan dengan ilmu kedokteran terbaru, atau teknologi Neuralink (yang sedang dikembangkan Elon Musk).
Neuro-sains-dan-teknologi selain berpotensi menyembuhkan berbagai penyakit saraf dan kejiwaan, juga boleh jadi akan bisa menjelaskan berbagai fenomena “ghaib” seperti kesurupan, exorcism, penampakan. Fenomena yang dulu diyakini tidak bisa dijelaskan, karena dikendalikan oleh mahluk ethereal, seperti roh halus, jin atau setan.
GM berulangkali mempersoalkan sains dan teknologi berdasarkan adanya dampak tak jelas dan tak terduga (unitended consequences). Favoritnya adalah dampak penemuan bom atom Hiroshima dan rekayasa-pertanian Monsanto. Konsern yang, sekalipun ada secuil kebenaran, tidak cukup valid untuk mempersoalkan sains-teknologi sebagai metode.
Sains dan teknologi bersifat komplementer, saling dukung. Upaya mengeksplorasi sains kerap melahirkan teknologi baru, adanya teknologi baru memunculkan temuan sains baru. Teknologi mesin uap menghasilkan Teori Thermodinamika, Teori Elektromagnetisme menghasilkan bola lampu dan teknologi informasi. Proyeks sains selalu menghasilkan konsekuensi yang tak terduga, termasuk dampak yang bisa diminimalisasi.
“The Manhattan Project”, mengeksplorasi Teori Mekanika Quantum, membuka pemahaman tentang energi, bagaimana matahari memancarkan panas dan sinar, juga menghasilkan Bom Atom termasuk pemanfaatan energi nuklir. “The Genome Project,” berhasil memetakan genetik manusia, dan utak-atik DNA mungkin bisa disalahgunakan untuk membuat “ras manusia unggul”. Namun juga upaya untuk menyembuhkan berbagai penyakit degeneratif seperti Alzheimer, Parkinson atau kanker.
“The Large Hadron Collider Project” memungkinkan kita memahami dunia partikel subatomik dengan lebih baik, meskipun ada yang khawatir munculnya Black Hole kecil atau ledakan konsekuensi lain. “The Human Connectome Project”, mencoba memetakan dan merangkai seluruh jaringan otak manusia, menjadi terkoneksi, sebagai satu spesies. Adakah konsekuensinya?
Tentu, kita belum tahu dan bisa tak terduga. Itulah esensi eksplorasi sains-teknologi, untuk merambah wilayah yang tak diketahui dan tak terduga. Ini yang membuat hidup manusia menarik dan menantang, Berani memasuki “jurang yang dalam untuk mendapat kebenaran” seperti kata Niels Bohr yang dikutip GM. Itulah cara manusia mengatasi atau mengalahkan kerapuhannya.
(Jika takut pada konsekuensi tak terduga, tentu manusia bisa memilih tidak kemana-mana, duduk nyaman di kursi sofa sembari berpuisi atau berspekulasi-filsafat. Karena, jangan pula masuk jurang mencari kebenaran, bahkan untuk sekedar menyeberang jalan juga beresiko ketabrak motor)
Kerapuhan Manusia
Tentang hidup manusia yang rapuh terkait Pandemi Covid-19, saya sudah menulis artikel panjang berjudul “Dunia Virus dan Hidup yang Rapuh”. Artikel ini diterbitkan dalam buku “Kemanusiaan Pada Masa Wabah Corona” (Satu Pena, Mei 2020). Agar tidak mengulang, ada baiknya saya kutip beberapa paragraf artikel ini.
Bumi tempat manusia lahir dan hidup adalah planet yang indah, penuh kehidupan. Namun bumi juga penuh ancaman mematikan, 95 persen kehidupan yang pernah ada di bumi telah punah dalam lima periode kepunahan massal (mass extinction). Bumi, menurut pakar biologi-evolusioner, Elizabeth Kolbert, sedang mengarah pada kepunahan massal keenam (The Sixth Extinction). Salah satu pemicunya adalah perubahan iklim. Jika ini terjadi, manusia turut dalam kepunahan ini.
Neil deGrasse Tyson, astrofisikawan, pernah menyatakan: “Bumi adalah planet yang mematikan. Singa, beruang, ikan hiu ingin memakanmu. Wabah belalang mencuri panenmu. Musim dingin membekukanmu, padang pasir memanggangmu, gempa bumi dan ledakan gunung berapi menguburmu. Tsunami dan badai topan menenggelamkanmu. Kanker menggerogotimu. Parasit dan bakteri menghisap cairan tubuhmu. Virus menginfeksimu. Alam ingin membunuhmu.”
Neil deGrasse Tyson benar. Dan berbagai ancaman mematikan, sebagaimana wabah Covid-19 saat ini, bukan satu cobaan, rancangan atau kesengajaan kosmik. Melainkan, begitulah alam bekerja. Sesuatu yang natural, bukan supranatural. Alam tidak menghentikan aktivitasnya, berhenti membuat bencana, hanya karena iba atau kasihan pada manusia. Atau hanya karena ada penyair yang bertanya: “kapan wabah ini reda?”
Alam tidak akan menjawab. Virus Corona tidak peduli. Manusia sendiri yang harus merumuskan jawaban, dengan segala kerapuhannya, mengantisipasi, memitigasi, dan mengatasi. Melalui sains-teknologi.
Hidup memang rapuh, khususnya bagi manusia yang memiliki kesadaran. Itu sebabnya hidup sangat berharga. Tidak ada jaminan hidup manusia di bumi terus berlanjut. Hidup juga anomali, sebuah “keajaiban” yang langka. Kita tidak tahu adakah kehidupan di planet lain, di galaksi lain, yang ratusan triliun jumlahnya. Manusia yang rapuh untungnya memiliki metode sains dan mampu mendayagunakan teknologi, untuk membantu mengatasi “fragilitasnya”.
GM tentu berhak memilih berpuisi, berfilsafat atau menulis kolom sebagai metode untuk mengatasi kerapuhan manusia. Sembari terus mempertanyakan validitas metode sains. Sentimen “Fragile” GM pada sains mengingatkan saya pada lontaran kontroversial Ribka Tjiptaning, politikus PDIP, pada “bahaya vaksin” baru-baru ini.
Ribka meragukan vaksin Covid-19 karena ada “dampak tak terduga”, sejumlah kasus vaksinasi mencelakai. Sentimen Ribka ini tipikal logika “Anti-vaxxer” yang cemas dan curiga berlebihan pada bahaya vaksin. Ribka mengabaikan vaksin sebagai produk sains yang terbukti manjur selama ratusan tahun. Sejak ditemukan oleh Edward Jenner untuk melawan virus cacar, pada 1796.
Kecemasan berlebihan GM pada “dampak tak terduga” sains-teknologi, sama melodramatiknya dengan paranoia Ribka pada “bahaya vaksin”. Kegagalan menggunakan common sense untuk melihat persoalan secara nalar. GM mempersoalkan, ada kekuatan politik, modal, keserakahan dan fobia tak sadar pada sains (“ada mimpi buruk”, tulis GM mengutip Karl Marx). Ribka punya sentimen sama, ada kepentingan tamak bisnis industri farmasi dibalik program vaksin.
Logika GM dan Ribka paralel dalam hal berasumsi seolah saintis dan masyarakat nalar sedunia, terhipnotis dan tidak berdaya oleh adanya keserakahan, ketamakan dan potensi “mimpi buruk” itu. Kita tahu, mimpi buruk hanya berlaku saat orang tertidur. Sains tidak pernah tidur. Sains selalu terjaga, justru karena sadar kerapuhan vested interest manusia.
Sebagaimana vaksin, keampuhan sains selalu bersifat “tentatif dan kondisional”, dan harus terus-menerus diuji secara kritis. Ini inheren dalam metode sains. Sains tidak pernah menjanjikan mampu mengatasi semua persoalan manusia. Selain terus bereksperimentasi untuk selalu menguji dan membuktikan temuannya solid dan valid.
Seperti vaksin yang berguna untuk memicu kekebalan tubuh, sains adalah metode terukur untuk memperkuat imune nalar manusia dari serangan kesesatan berpikir dan kebodohan. Dan sebagaimana vaksin terbukti ampuh melawan atau melenyapkan polio dan sampar, sains juga terbukti meningkatkan imunitas kecerdasan manusia untuk melawan kebanalan dan kerapuhan nalar.
GM menutup tulisannya menyinggung teknologi artificial Intelligence (AI), yang dinilainya tidak memiliki empati, tak mampu menolong. Saya tidak tahu apakah GM menggunakan teknologi AI untuk mendengarkan “Fragile” Sting, atau mungkin melalui kaset dan tape recorder.
GM sepertinya tidak tahu betapa AI mudah diprogram untuk memiliki empati. Teknologi digital yang bisa menolong memilih musik seperti apa yang ingin didengar. Termasuk berempati menolong memilihkan referensi untuk mengatasi kegalauan, kecemasan dan kerapuhannya pada sains.
Lukas Luwarso
Add comment