ForSains

Membaca Novel, Rahasia Mempertahankan Daya Ingat saat Anda Menua

Gambar oleh congerdesign dari Pixabay

PIKIRAN anda mungkin sibuk sekali. Dunia semakin terhubung dan informasi menyerbu dari semua arah dalam kecepatan yang belum pernah ada sebelumnya dan kita hidup dikepung keriuhan. Dalam situasi ini, membaca novel akan terasa sebagai kemewahan para penganggur dan sebuah tindakan buang-buang waktu bagi mereka yang super sibuk.

Jika anda juga berpendapat seperti itu, pendapat Dr. Richard Restak, seorang ahli saraf dan penulis 20 buku tentang otak, perlu anda perhatikan. Dalam buku terbarunya yang terbit 2022, berjudul The Complete Guide to Memory: The Science of Strengthening Your Mind, Dr. Restak menyampaikan bagaimana membaca novel dapat membantu kita menjaga memori tetap tajam saat menua.

“Orang, ketika mulai mengalami kesulitan mengingat, cenderung beralih ke membaca nonfiksi,” katanya dalam wawancara dengan The New York Times. Mengapa? Karena membaca novel memerlukan kerja keras dalam mengingat berbagai aspek untuk dapat memahami apa yang dibaca. Anda bisa membaca nonfiksi dengan cara melompat-lompat sesuai dengan minat pribadi dan familiaritas dengan topik pembahasan. Membaca novel tidak bisa seperti itu. Anda harus terlibat aktif dengan teks mulai dari awal hingga akhir sambil tetap mengingat berbagai karakter dan perkembangan plot.

Pembaca fiksi harus mengingat kapan karakter mulai diperkenalkan dan seluruh riwayat hidup karakter tersebut. Setiap kali karakter itu muncul kembali, pembaca harus mengingat tindakan masa lalu karakter dan sejumlah detail tentang motivasi karakter yang diberikan oleh penulis. “Anda harus ingat apa yang karakter lakukan di halaman 3 pada saat anda sampai ke halaman 11,” katanya.

Tentu saja, tidak semua masalah memori dapat diatasi hanya dengan membaca novel.  Dr. Restak menekankan bahwa jika seseorang mengalami kesulitan memori yang serius, sebaiknya ia berkonsultasi dengan profesional.

Apa yang disampaikan oleh Restak adalah wawasan baru yang didapatkannya secara kebetulan dalam prakteknya beberapa dekade sebagai ahli saraf. Saran yang lazim tentang membaca fiksi biasanya dikaitkan dengan kemampuan orang untuk berempati, untuk merasakan emosi orang lain dan memahami tindakan-tindakan orang lain, dalam hal ini para karakter, saat menghadapi situasi-situasi tertentu dalam kehidupan mereka.

Sebuah penelitian pada 2018 yang dilakukan oleh Universitas Emory, yang laporannya diterbitkan dengan judul Short- and Long-Term Effects of a Novel on Connectivity in the Brain, juga menunjukkan bahwa membaca fiksi dapat memperbaiki konektivitas otak dan meningkatkan kemampuan dalam Teori Pikiran (theory of mind).

“Cerita membentuk hidup kita dan dalam beberapa kasus membantu kita memahami diri sendiri,” kata Prof. Gregory S. Berns, direktur Center for Neuropolicy di Emory University, Atlanta, dan penulis utama studi tersebut. Penelitian dilakukan untuk memahami bagaimana cerita masuk ke dalam otak dan apa respons otak terhadapnya.

“Perubahan neural yang kami temukan terkait dengan sistem sensasi fisik dan gerakan menunjukkan bahwa membaca sebuah novel dapat membawa Anda ke dalam tubuh tokoh utama,” katanya. Kemampuan untuk memasuki pikiran orang lain inilah yang menjadi kunci bagi penguasaan teori pikiran.

Teori pikiran adalah kemampuan kognitif untuk memahami dan menafsirkan perasaan, pikiran, dan niat orang lain. Teori ini mencakup pemahaman bahwa orang lain memiliki pemikiran, kepercayaan, dan emosi yang berbeda dari diri kita, dan kita menggunakan informasi ini untuk memprediksi dan menjelaskan perilaku mereka. Ia merupakan bagian penting dari interaksi sosial dan empati, karena memungkinkan kita merasakan apa yang dirasakan orang lain, memahami sudut pandang mereka, dan merespons dengan cara yang sesuai.

Teori pikiran mulai berkembang pada anak-anak usia dini, biasanya sekitar usia 2 hingga 4 tahun. Pada tahap awal ini, anak-anak mulai menyadari bahwa orang lain memiliki pikiran yang berbeda dari mereka sendiri. Seiring berjalannya waktu, pemahaman mereka tentang pikiran orang lain menjadi lebih kompleks, memungkinkan mereka untuk memahami konsep seperti kebohongan, ironi, dan humor.

Dalam konteks psikologi, teori pikiran membantu psikolog dan peneliti memahami bagaimana individu berinteraksi dalam situasi sosial dan bagaimana mereka mengembangkan pemahaman tentang orang lain. Kemampuan ini sangat relevan dalam bidang-bidang seperti pendidikan, politik, dan hubungan antarbudaya, di mana pemahaman tentang perspektif orang lain sangat penting.

Ketertarikan neurosains terhadap cerita adalah fase baru dalam studi tentang fiksi. Sejauh ini, kita telah mendapatkan berbagai kajian terhadap fiksi dari sudut pandang teori linguistik dan kesastraan yang menggambarkan apa yang membentuk sebuah cerita. Penelitian neurobiologis baru saja dimulai untuk mengidentifikasi jaringan otak yang aktif saat memproses cerita.

Jadi, apa yang sebenarnya terjadi dalam otak kita saat membaca fiksi?

Menurut tim peneliti Emory, aspek penceritaan dalam sebuah novel adalah bentuk komunikasi multi-faset yang melibatkan sejumlah area otak. Ketika kita membaca fiksi, otak kita membangun jaringan saraf yang bertanggung jawab atas keterampilan mental kunci seperti fokus dan empati. Selain itu, kita juga melatih kemampuan untuk menyaring informasi yang rumit dan menganalisis argumen yang saling bertentangan.

Dengan kata lain, membaca fiksi bukan sekadar mengisi otak kita dengan gambar dan ide, tetapi juga sebuah latihan mental yang membentuk cara kita berpikir tentang dunia di sekeliling kita. Dan,satu lagi, jika anda mulai mengalami masalah memori, solusi yang menyenangkan dan mudah mungkin tersedia di rak buku anda. Ambil novel dan bacalah; anda perlu membaca novel lebih banyak.[]

AS Laksana

Add comment

Ukuran Huruf