ForSains

Kampung Terakhir Di Singapura

Akhir Januari yang lalu, aku memenuhi keinginan bungsuku untuk mentraktir berwisata ke Singapura.

Salah satu obyek wisata yang kami kunjungi adalah Kampong Lorong Buangkok.

Dipandu oleh Kyanta Yap, dari Let’s Go Tour Singapore, dijelaskan dari a~z sejarah & kehidupan di Kampong Lorong Buangkok ini.

  • Singapura adalah Negara Kota Metropolitan.
  • Luasnya hanya 723 km², tidak beda jauh dengan DKI yang 664 km².
  • Jumlah penduduknya 5,6 juta dibandingkan DKI yang 10,6 juta orang.
  • Pendapatan perkapita nya US$ 80.000,-/orang/tahun, dibandingkan Indonesia yang hanya US$ 4.800,-/orang/tahun.

Dengan tingkat pendapatan warga yang mencapai 16 kalinya warga Indonesia, Singapura telah menjadi negara makmur.

Berbeda dengan kondisi tahun 1970 an. Jumlah perkampungan di Singapura masih ada ±220 kampung. Perkampungan sering banjir manakala hujan turun agak lama.

Kampong Lorong Buangkok, adalah desa terakhir di Singapura, yang terletak di atas lahan hijau seluas 3 hektar. Perkampungan ini layaknya perkampungan di kota kecil Sungailiat Bangka. Saat ini Kampong Lorong Buangkok telah menjadi semacam oasis di tengah² hutan beton Singapura :

  • Ada sekitar 25 rumah kayu berlantai 1 dengan atap seng tersebar di sekitar surau.
  • Penghuninya campuran etnis Melayu & Tionghoa.
    – Suasana perkampungan kental sekali.
    – Tetangga kiri kanan hidup rukun saling tolong menolong. Dan mereka memperlakukan warga lainnya sebagai satu keluarga besar.
  • Rumah² dikelilingi kebun buah² an yang luas.
  • Masih menyisakan banyak pohon² besar tempat bersarang beragam burung, diantaranya adalah burung Enggang.
  • Masih dijumpai banyak satwa liar.
    – Aku melihat banyak tupai berkeliaran bebas.
    – Ada burung King Fisher (penyambar ikan), yang sempat kurekam sedang menyambar ikan di kanal saluran air (videonya kulampirkan).
  • Banyak satwa burung lain yang berkicau di dahan² tinggi yang tak terlihat itu masing² burung apa saja.
  • Warga memelihara ternak ayam & itik yang dilepas bebas. Paduan suara kicau
    – Burung² liar
    – Kokok ayam jantan
    – Kemriyik suara anak² ayam yang sedang diasuh induknya
    – Riuh suara entok & bebek.

memberikan musik pedesaan yang menenangkan ditengah polusi udara & hingar bingar suara kendaraan di Singapura.

Pokoknya suasananya masih mirip suasana hutan lebat Pasaman, Sumatra Barat.

Pada tahun 1970, pendapatan perkapita warga Singapura baru mencapai US$ 1.000,-/orang/tahun. Dengan laju ekonomi yang 80 kalinya dalam rentang 50 tahun, maka pembangunan sarana infrastruktur berlangsung sangat masif. Jumlah perkampungan tradisional yang semula 220 pun, hampir habis tergilas perkembangan metropolitan. Kini tinggal menyisakan 1 kampung saja, Kampong Lorong Buangkok.

Singapura mengalami urbanisasi sangat cepat pada 1980-an. Mereka bertransformasi dari Ekonomi Pertanian menuju Ekonomi Industri.

  • Ruko yang penuh sesak diganti dengan rusun bertingkat tinggi.
  • Jalan² kecil diganti dengan jalan raya multi lajur di seluruh negara.
  • Dengan harga tanah melonjak tinggi, maka kampung² pedesaan akan tersingkir.
  • Ratusan desa tradisional dibuldoser
  • Tanaman endemik (asli) dilucuti.
  • Tanah diratakan dan kehidupan asli pedesaan dihancurkan sebagai bagian dari program pemukiman rusun.

Mereka digiring ke rumah susun bersubsidi yang dibangun pemerintah di atas lahan rumah lama mereka. Saat ini, lebih dari 80% orang Singapura tinggal di rusun ini.

Bagaimana Lorong Buangkok bisa bertahan ?
Apakah kampung terakhir itu milik pemerintah Singapura ?

Bukan….!

Kampung itu milik Sng Mui Hong. Usianya sekitar 70 tahunan. Dia tinggal di desa itu sejak kelahirannya. Dia adalah anak bungsu dari 4 bersaudara dan satu² nya yang masih tinggal di desa itu.

Almarhum ayahnya, Tuan Shuen Teow Koon, adalah seorang penjual obat tradisional Tiongkok yang membeli lahan dan mendirikan desa pada 1956. Lahan terletak di sepanjang kanal di bekas lahan rawa yang sering banjir.

Sebagian besar kavling tanah disewakan kepada pekerja dari rumah sakit dan perkebunan karet terdekat. Saat itu, sewa bulanan setiap rumah berkisar antara S$ 4,50 ~ S$ 30 (Rp 48.500 ~ Rp 323.000). Dan saat ini, tarif sewanyapun masih sama.

Ini sangat murah bila dibandingkan sewa apartemen di Singapura.
Untuk ukuran yang ⅒ dari rumah kampung, biaya sewa apartemennya sudah 20 kali lipat.

Meskipun desa ini merupakan perumahan paling murah di Singapura, namun tidak ada penghuni baru yang pindah ke sana sejak tahun 1990 an.

Harus ada yang pindah atau meninggal dunia dulu agar tersedia rumah kosong. Hanya yang memiliki hubungan ke penyewa sebelumnya atau keluarga Sng yang bisa dipertimbangkan sebagai penghuni baru.

Semenjak kecil, Sng belajar memanfaatkan tumbuhan sebagai obat dari ayahnya. Sng juga belajar pengobatan tradisional Tiongkok untuk dibagikan pada tetangga² nya.

Sng tahu dia duduk di properti panas. Di negara yang sangat kekurangan ruang, banyak pengembang yang berharap untuk bisa membeli kampung tersebut.

Tetapi dia telah berjanji kepada almarhum ayahnya :

“Untuk melestarikan Kampong Lorong Buangkok”

Saat ini, Kampong Lorong Buangkok dapat dipertahankan sebagai bagian dari program sekolah untuk kegiatan pembelajaran di luar ruangan.
——–
Renungan :

• Bagaimana hewan liar bisa begitu hidup bebas di Singapura ?

 – Singapura menerapkan hukum lingkungan yang ketat pada hewan liar. Siapapun dilarang menangkap atau memburu hewan liar tanpa izin pemerintah.

• Bagaimana hewan² liar tsb bisa survive hidup beranak pinak ?

   – Semua hewan² liar bisa makan buah² an yang tumbuh di atas lahan pemerintah.
   – Tidak seorangpun diperbolehkan mengambil buah² dari pohon yang tumbuh di atas lahan umum (milik pemerintah), meskipun buah² tsb sudah jatuh di tanah, tanpa izin dari pemerintah.

Dengan demikian, ekosistem kehidupan liar sangat terjamin kelangsungannya.

Jadi kapan yhah Indonesia bisa menerapkan aturan² SURGAWI semacam ini ?

꧋ꦤꦸꦂꦱꦺꦠꦲꦂꦢꦶꦥꦸꦠꦿꦤ꧀ꦠꦺꦴ꧉
(Nurseto Ardiputranto)

Nurseto Ardiputranto

Add comment

Ukuran Huruf