ForSains

Enam Mitos Teori Evolusi: Dari Alien Hingga Pikiran Hewan

Evolusi sudah cukup dikenal sebagai teori sains yang valid, namun ada sejumlah “mitos” terkait pemahaman tentang bagaimana proses evolusi bekerja. Palaentolog dari Universitas Cambridge, Simon Conway Morris, menulis buku baru “From Extraterrestrials to Animal Minds: Six Myths of Evolution,” terbit Maret 2022, mengupas enam mitos itu.

Mitos evolusi tidak terelakkan, tidak kenal batas
Evolusi bersifat acak dan tanpa arah
Kepunahan massal adalah prasyarat agar spesies baru bisa muncul
Absennya “missing links”.
Pikiran manusia adalah kelanjutan pikiran hewan
Anggapan alam semesta memunculkan banyak alien cerdas, seperti manusia di bumi.
Enam mitos itu dianggap pasti berlaku (taken for granted) dalam proses evolusi, dan coba dibantah oleh Simon Conway Morris dalam buku terbarunya. Berikut ringkasan uraiannya:

Evolusi tidak terelakkan. Populer dengan idiom “hidup akan selalu menemukan jalan” (life will find a way). Seolah menjadi mantra, bahwa evolusi kehidupan adalah satu kepastian yang tidak kenal batas. Menurut Morris ada “dinding besar” biollogi yang tunduk pada ketentuan fisika, kimia dan informasi. Secara teori evolusi memang mampu menghasilkan keragaman dan berbagai kemungkinan, dari mahluk amfibi, burung, hingga mamalia, namun tetap mengikuti pola. Mitos evolusi berjalan dari mahluk sederhana ke mahluk yang lebih kompleks tidak selalu benar.

Evolusi bersifat acak dan tanpa arah.  Evolusi bersifat random dan terkesan tidak terarah adalah hipotesis terkenal yang diusung Stephen Jay Gould. Tesis ini dibantah oleh Morris dalam buku “LIfe’s Solution” (2005), ada sejumlah pola yang membatasi proses evolusi sebagai solusi spesifik secara biologis. Dari bentuk yang aerodinamis seperti bentuk tubuh ikan hiu, lumba-lumba, tuna, hingga fungsi organ tubuh spesifik.

Kepunahan massal adalah prasyarat agar spesies baru bisa muncul.  Kepunahan massal terjadi ketika sebagian besar spesies lenyap dalam waktu yang pendek. Bumi setidaknya pernah mengalami lima kali kepunahan massal. Dua periode kepunahan massal yang terkenal adalah era Permo-Triassic, yang diperkitarkan melenyapkan 90% spesies, dan era Cretaceous-Tertiary yang memusnahkan 75% spesies. Kepunahan era Permo-Triasic belum diketahui penyebabnya. Sementara kepunahan era Cretaceous-Tertiary, yang membuat dinosaurus punah 65 juta tahun lalu, adalah akibat benturan asteroid di semenanjung Yucatan.

Ada anggapan, mitos, kepunahan massal adalah prasyarat agar spesies jenis baru bisa muncul dalam proses evolusi. Kalau saja asteroid tidak membentur bumi di Yucatan, mamalia mungkin tidak akan muncul, dan dinosaurus masih mendominasi bumi. Mitos ini disanggah oleh Morris, mamalia tetap akan sintas karena memiliki metabolisme yang kebih baik. Sama halnya burung menggantikan pterosaurus. Kepunahan massal memang mempercepat munculnya spesies baru, namun bukan prasyarat.

Absennya “missing links”. Temuan fosil sebagai “kaitan yang hilang” sering dianggap mengisi celah teka-teki proses evolusi, misalnya transisi dari ikan ke amfibi. Temuan missing link dianggap sebagai bukti kuat bahwa Teori Evolusi Darwin benar. Namun missing link (yang belum ditemukan) juga dipakai oleh mereka yang menolak Teori Evolusi. Transisi perubahan dari satu spesies ke spesies baru, tidak hanya bisa dideteksi dari temuan fosil missing link, namun juga melalui studi genetik.

Pikiran manusia adalah kelanjutan pikiran hewan. Pernah ada anggapan bahwa hewan tidak kebih dari sekedar “robot hidup”, perilakunya bersifat fungsional saja. Anggapan ini kemudian berubah setelah diketahui hewan juga memiliki pikiran, dan pikiran hewan yang sederhana berevolusi menjadi pikiran yang lebih kompleks pada manusia. Moris membantah mitos ini, pikiran hewan secara kualitatif berbeda dari manusia. Pikiran manusia bukan berevolusi dari pikiran hewan, dalam hal kesadaran hanya dimiliki manusia.

Mitos alam semesta memunculkan banyak alien cerdas. Morris menyanggah bawa evolusi kehidupan yang berproses di exoplanet di berbagai galaksi lain pasti juga memunculkan mahluk cerdas, seperti munculnya manusia di bumi. Alam semesta yang “senyap” mengindikasikan, munculnya mahluk cerdas dan menguasai teknologi adalah produk evolusi yang tidak lazim terjadi. Bukan mustahil manusia adalah satu-satunya mahluk cerdas di alam semesta.

Simon Conway Morris, sebagai seorang biolog evolusioner dikenal melalui sejumlah buku, seperti Burgess Shale and the Cambrian explosion (1985). The Crucible of Creation (1998); Life’s Solution: Inevitable Humans in a Lonely Universe (2003);  The Runes of Evolution: How the Universe became Self-Aware (2015).

 

Lukas Luwarso

Lukas Luwarso

Add comment

Ukuran Huruf