Novel Non-fiksi oleh: Lukas Luwarso
Aku tidak tahu persis, sejak kapan menjadi penganut Transhuman. Sepertinya secara berangsur-angsur, selama 25 tahun terakhir, setelah mengenal komputer dan mengikuti kemajuan teknologi informasi. Sains dan teknologi begitu maju pesat dua dekade terakhir, begitu banyak “keajaiban” yang diberikan. Keajaiban nyata, bukan sekedar dongeng atau ilusi.
Keajaiban yang mendorong membentuk proses pencarianku untuk mendapat jawaban soal: siapakah manusia, dari mana bermula, dan bagaimana akhirnya?
Pertanyaan klise itu selama beribu-ribu tahun, sepanjang sejarah peradaban manusia, sudah diajukan. Namun jawaban tak kunjung ditemukan. Mitologi, agama, dan filsafat mencoba memberi, atau menebak-nebak, penjelasan. Namun karena tebakan itu begitu beragam, mustahil bisa menjadi rujukan jawaban atau referensi yang meyakinkan.
Bagiku, sains dan teknologi telah menjadi medium utama proses pencarian untuk memahami hakekat manusia, kemanusiaan, dan perannya dalam jagad semesta. Teknologi begitu mencengangkan, seperti sulapan, namun bukan tipuan kecepatan tangan atau ilusi mata.
“Any sufficiently advance technology is indistinguishable from magic”, kata novelis Arthur C. Clarke, soal teknologi sebagai keajaiban.
Karena nyata, teknologi bisa sangat mengkhawatirkan dan membawa konsekuensi yang belum sepenuhnya bisa diperkirakan. Meskipun cuma sarana untuk membantu memudahkan hidup manusia, teknologi memiliki logika dan agenda yang tidak selalu selaras dengan kebutuhan manusia. Khususnya teknologi informasi.
Munculnya platform teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI) terbaru, seperti ChatGPT, BingAI, DALL-E, Midjourney, dan lain-lain, mulai nyata mengancam eksistensi manusia. Kecerdasan dan kreativitas bukan lagi previlese manusia. Peran sentral kognisi manusia mulai terpinggirkan oleh AI. Setelah sebelumnya, di era otomatisasi mesin, tenaga manusia tersingkirkan oleh robot.
Mesin dengan algoritmanya bisa lebih pintar dan tangkas dari manusia. Kehadirannya semakin membuat manusia mengalami ketergantungan. Dari mesin cetak, telegraf, berlanjut ke radio, televisi, komputer, hingga ke internet dan AI. Peradaban manusia semakin tak mungkin dilepaskan dari teknologi.
Satu buku, yang kubaca pada 2005, mengubah perspektifku soal teknologi. Dari sekedar alat, gajet, menjadi penentu masa depan evolusi kognisi manusia. “The Singularity is Near” karya Ray Kurzweil sungguh membuatku terkesima. Buku yang membuka wawasanku tentang teknologi baru AI. Fasih memaparkan teleologi proses evolusi dunia, dalam paradigma sains dan teknologi. Memberiku asupan nutrisi pikiran baru tentang makna dan tujuan hidup.
Buku yang membangkitkan kembali denyut “religiusitas”ku—yang sudah mati. Menawarkan tafsir teknologis tentang dongeng agama, juga spekulasi filsafat. Memberi argumentasi solid bahwa manusia bisa hidup abadi, di dunia, tanpa harus menunggu pintu surga-neraka dibuka.
Konsep singularitas menjadi semacam nubuat tekno-mesias. Kerja-kerja ketuhanan, tentang kebangkitan dan keselamatan, terinspirasi oleh mitologi agama, yang melibatkan ingenuitas manusia. Bukan cuma takdir yang—entah bagaimana caranya—diturunkan dari langit.
Sebuah dialog pendek, antara Ray Kurzweil dan Bill Gates, yang di transkrip verbatim dalam buku tebal The Singularity Is Near, membuat saya melongo. Begini, kurang lebih, terjemahannya:
Sinergi antara manusia dan teknologi akan memunculkan “spesies” baru, yang melampaui evolusi biologi. Transformasi manusia, sebagai basis Singularitas, bukan cuma melanjutkan rangkaian evolusi biologis selama jutaan tahun. Namun menjungkirbalikkan dan mengarahkan evolusi itu.
Bill Gates: “Saya setuju dengan pikiranmu 99 persen. Yang saya suka dari idemu adalah bebasis pada sains. Namun sikap optimismu mirip seperti keyakinan agama. Meski Saya juga optimis.”
Ray Kurzweil: “Ya, kita memang memerlukan agama baru. Fungsi utama agama kan merasionalisasi kematian. Sejauh ini kita belum bisa melakukan apa pun yang konkret terkait kematian.”
”Apa prinsip utama agama baru yang kau tawarkan?”
“Ada dua prinsip utama: pertama diambil dari agama tradisional; kedua, dari seni dan ajaran sekuler. Dari ajaran agama tradisional, soal penghargaan terhadap kesadaran pada kemanusiaan.”
“Ah, ya, Golden Rules”
“Betul. Konsep moralitas dan hukum kita didasarkan pada penghargaan pada kesadaran adanya orang lain. Menyakiti orang lain dianggap tidak bermoral dan melanggar hukum, karena menyebabkan penderitaan pada orang lain. Saat saya merusak properti, tidak masalah jika itu properti saya sendiri; namun menjadi amoral dan ilegal jika itu properti orang lain. Menyebabkan penderitaan bukan pada properti itu sendiri, tetapi pada pemiliknya.”
“Soal prinsip sekuler?”
“Dari seni dan sains, soal pentingnya pengetahuan. Pengetahuan melampaui informasi, yang bermakna bagi entitas sadar. Musik, seni, sastra, sains, teknologi adalah kualitas yang akan terus berkembang dari tren yang saya bicarakan.”
“Kita jauhkan dongeng muskil dan aneh yang menjadi basis ajaran agama tradisional dan konsentrasi pada pesan-pesan sederhana. Kita perlu pemimpin karismatik untuk agama baru ini.”
“Perlu pemimpin karismatik adalah konsep agama lama. Itu yang perlu dijauhi.”
“Baiklah, kalau begitu, perlu komputer yang karismatik?”
“Bagaimana kalau “sistem operasi (komputer) yang karismatik’?”
“Ha, itu kita sudah punya. Lalu, apakah ada Tuhan dalam agama ini?”
“Belum ada, tetapi akan ada. Begitu kita melingkupi materi dan energi di alam semesta dengan kecerdasan, semesta akan “terbangun.” Menjadi semesta yang sadar dan super cerdas. Bagiku, kecerdasan semesta itulah hal yang paling mendekati konsep Tuhan.”
Saat membaca dialog antara Bill Gates dan Ray Kurzweil yang tertuang dalam Singularity Is Near itu neuronku terpicu. Terkesima dengan konsep singularitas teknologi, sebagai tekno-tafsir baru tentang konsep agama dan Tuhan. Bahwa “Tuhan belum ada, tetapi akan ada”.
Tapi itu keterpanaan sesaat. Sebagaimana kebiasaanku membaca banyak buku, sebagus apapun, isi pesannya segera terlupakan. Apalagi buku berisi pemikiran spekulatif bernuansa fiksi sains. Problem hidup sehari-hari, harus mencari nafkah—selain didera pusing kepala, yang sering muncul belakangan ini—lebih penting mendesak untuk diatasi. Ketimbang berandai-andai tentang teknologi masa depan, atau memikirkan Tuhan, yang tidak jelas juntrungnya.
Sampai momen sebulan lalu. Sore hari yang menentukan, ketika dokter memvonis: aku terkena tumor otak.
(Bersambung)
Tumor tidak selalu disebabkan oleh makanan, ada faktor genetik juga yang menjadi penyebabnya. Terimakasih untuk komentarnya.
Jika tumor otak mjd prioritas masalah, ayo qt kembali ke filasafat alam…
Sumpah dariqu:
Aqu takkan pernah makan makanan yg dimasak..
Dg cara ini, udah kusembuhkan orang yg kanker usus, patudara, rahim, otak…
Diriqu juga takkan pernah terjangkit kanker, stroke, diabetes…dst