Novel Non-Fiksi oleh: Lukas Luwarso
“Selamat sore, silahkan duduk,” dokter Hasan memulai percakapan di hari yang menentukan awal November itu. Aku berkunjung ke tempat prakteknya untuk mendiskusikan hasi tes MRI dan uji laboratorium seperti yang ia minta.
Aku sering sakit kepala tiga bulan terakhir dan sulit berkonsentrasi untuk bisa melakukan aktivitas rutin. Sebulan lalu, memeriksakan diri ke dokter Hasan, seorang spesialis onkologi. Setelah minum sejumlah obat sakit kepala dan kunjungan ke rumah sakit umum tidak juga membuahkan hasil.
Aku sudah lama mengenal dokter Hasan, namun hubungan kami tidak bisa disebut pertemanan, karena dia cenderung formal, seperti umumnya dokter. Dia tidak suka basa-basi dengan obrolan ringan.
“Situasi kurang baik. Anda terkena tumor otak. Ada pertumbuhan abnormal sel-sel di dalam otak Anda. Kondisi belum terlalu buruk, tumor jinak, tapi cukup serius,” ujarnya sambil menunjukkan foto MRI.
Uraian panjang lebar dokter Hasan soal tumor ini selanjutnya tidak aku perhatikan, karena otakku sibuk memikirkan hal-hal buruk. Aku bakal mati? Beberapa lama lagi bisa bertahan hidup? Kok bisa aku kena tumor? Apa yang salah dengan hidupku? Terbayang wajah anak dan istriku yang menangisi kematianku. Tapi aku belum mau mati.
Aku terus memikirkan soal tumor ini, bakal ngerinya harus menjalani operasi, menjalani pengobatan radiasi, atau kemoterapi. Apalagi dokter Hasan bilang, pengobatan mungkin tidak sepenuhnya bisa menyembuhkan tumor, sewaktu-waktu bisa muncul lagi. Perlu keajaiban untuk bisa sembuh total, katanya. Lalu, apa yang perlu aku lakukan agar ada keajaiban dan bisa melenyapkan tumorku?
Aku tidak percaya keajaiban itu ada. Tidak meyakini doa, meditasi, semedi, dan segala pendekatan laku spiritual bisa mengubah sesuatu. Aku terlalu rasional dan selalu mengandalkan logika nalar untuk memahami segala hal. Tapi, saat melankoli menyergapku, aku sesekali membayangkan, kalau saja Tuhan benar ada, mungkin bisa menolongku melenyapkan tumor celaka ini. “Tuhan, lenyapkan tumor di otakku”, bisikku pada diriku.
Tapi segera pikiran nalar mengambil alih melankoliku, niat ingin berdoa memohon keajaiban pada Tuhan aku batalkan. Karena selain memang tak tahu cara berdoa, aku juga ragu apa ada yang mendengarkan.
Nalarku berbisik, jika Tuhan itu pencipta segala hal yang ada di dunia, pengatur segala peristiwa dan kejadian, itu artinya tumor di otakku juga ciptaannya. Aku kena tumor itu pasti adalah karena kehendaknya. Bagaimana mungkin aku memohon padanya untuk membatalkan kehendak itu.
Lagi pula Tuhan seperti apa, yang katanya maha baik, tega menciptakan tumor, kanker, dan berbagai penyakit mematikan. Keisengan yang kelewatan, aku rasa, jika segala penyakit dan penderitaan diciptakan Tuhan sekedar untuk menyakiti, membuat penderitaan, atau “memberi cobaan” pada manusia—untuk menguji keimanan, misalnya. Aku urungkan keinginan berdoa, untuk mendatangkan keajaiban Tuhan.
Meskipun tidak memercayai konsep adanya Tuhan, aku tidak menganggap diri sebagai seorang ateis. Kalau ditanya, apa aku punya keyakinan spiritual, maka aku sering menjawab: aku seorang Panteis.
Tuhan, bagiku, ya alam alam semesta ini. “Keyakinan” itu mungkin terpengaruh bacaan pemikiran filsuf Baruch Spinoza. Nature nurture, Alam semesta berkehendak melalui hukum-hukumnya, yang bisa dijelaskan atau dipahami melalui sains.
Aku rasa ada kesalahan dalam memahami Tuhan, dalam perspektif keyakinan agama. Tuhan, versi agama Abrahamik khususnya, tidak lain adalah gambaran manusia yang sempurna. Figur seorang bapak yang memiliki karakteristik serba-maha. Maha-manusia.
Keyakinan itu bisa dipahami jika dianut manusia era ribuan tahun lalu, yang masih sangat terbatas pengetahuannya. Tapi kini setelah banyak teka-teki alam semesta dan kehidupan terungkap, rasanya sangat tidak logis membayangkan Tuhan sebagai sosok maha-manusia. Terlalu antropomorfik.
Bagiku, kalaupun ada “sesuatu” maha-kuasa dibalik alam semesta yang tampak, entah itu energi, daya, kekuatan, kecerdasan, kehendak, unmoved-mover (“penggerak yang tak bergerak” menurut Aristoteles); pasti sesuatu itu tidak berkarakteristik maha-manusia.
“Sesuatu” di balik alam semesta, yang menggerakkan seluruh gerak kehidupan, sedikit banyak sudah diungkap oleh fisika kuantum. Mereka adalah partikel-partikel subatomik, yang sama sekali tidak sempurna. Partikel quark, proton, neutron, elektron, boson, gluon lah yang menyusun dan menggerakkan semesta dunia dan kehidupan.
Alam semesta dan kehidupan yang tidak sempurna. Menunjukkan kehendak penyusunnya, para partikel subatomik, yang juga tidak sempurna. Mereka saling membentur atau membelah menyusun dunia, melahirkan kehidupan, melalui rangkaian proses evolusi yang panjang dan lama, selama belasan milyar tahun. Entah untuk maksud dan tujuan apa.
Ketidakjelasan tujuan penciptaan ini, bagiku, menjelaskan ketidaksempurnaan dunia. Menunjukkan proses penciptaan dunia yang tidak terencana dengan baik, dan dikerjakan dengan banyak kesalahan.
Jika dunia sempurna, kenapa ada tumor? Dan untuk apa pula tumor itu tumbuh di otakku? Kalau saja aku orang beriman, pasti ini pertanyaanku: Apa salahku? Kenapa Tuhan memberiku cobaan?
Alih-alih bertanya pada entitas yang tidak jelas, yang pasti juga tidak akan memberi jawaban, aku memilih menyibukkan diri dengan membaca banyak referensi, untuk menjawab rasa ingin tahuku pada tumor yang, tanpa diundang, bersemayam di otakku.
Beberapa jenis tumor otak terkait dengan faktor genetik, kata satu buku, yang aku peroleh melalui Google. Adanya mutasi genetik yang diwarisi dari keluarga (aku jadi teringat kakak tertuaku meninggal karena leukemia). Kelainan genetik, seperti sindrom von Hippel-Lindau, sindrom neurofibromatosis, dan tuberous sclerosis, meningkatkan risiko terkena tumor otak.
Ilmu kedokteran telah mengidentifikasi sejumlah sekuens DNA yang terkait dengan munculnya tumor otak. Mutasi pada gen TP53, EGFR, PTEN, IDH1, dan IDH2, meningkatkan risiko terkena tumor otak. Kode-kode apa pula ini? Struktur DNA sungguh rumit untuk dipahami.
Tumor otak dapat menjadi kanker otak ketika sel-sel tumor tumbuh tidak terkendali, menyerang jaringan sekitar otak dan menyebar ke bagian tubuh lain. Karena tumor otak terletak di organ yang sangat sensitif dan kompleks, pengobatan tidak bisa menyembuhkan sepenuhnya. Terapi atau pengobatan dapat memperlambat atau menghentikan pertumbuhan tumor.
Nama ilmiah kedokteran untuk tumor otak adalah “neoplasma intrakranial”, terbagi dalam kategori glioma, meningioma, schwannoma, dan metastasis otak. Mencakup segala jenis tumor yang terbentuk di dalam rongga tengkorak dan mempengaruhi jaringan otak atau jaringan di sekitarnya.
Mencoba memahami tumor otak, membaca sejumlah referensi pengetahuan medis, membuatku semakin pusing sebenarnya. Dan juga tidak membuatku paham, dengan istilah-istilah asing yang rumit itu. Tapi bingung mencoba memahami penyakit yang menyerangku, membuatku sedikit lega, dari sergapan rasa penasaran.
Kenapa ada tumor? Apa peran atau fungsinya dalam skema besar evolusi kehidupan? Kesimpulanku, untuk sementara, tumor cuma soal kesalahan teknis. Kerusakan genetik, yang menunjukkan “cetak biru” rancangan kehidupan—termasuk pada manusia—memang tidak sempurna. Karena kesalahan teknis, artinya bisa diupayakan perbaikannya.
Evolusi, dalam pemahamanku, adalah proses “trial and error”, coba dan salah, tidak selalu menghasilkan solusi sempurna. Proses perbaikan teknis sedikit demi sedikit. Tumor adalah contoh produk kesalahan teknis proses evolusi, yang pada akhirnya bisa diatasi secara teknis.
Dan aku tidak mungkin berharap kesalahan teknis-biologis itu bisa diperbaiki dengan doa-doa bernuansa spiritualis. Sebagaimana mobil yang rusak perlu direparasi di bengkel, bukan didoai agar bisa memperbaiki sendiri.
“Jadi sembari menunggu mati, dan dikemoterapi, aku musti bagaimana, dok?,” tanyaku saat kembali memeriksakan diri ke dokter Hasan. Pertanyaan itu menutup rangkaian ngedumelan yang aku sampaikan padanya, terkait kehidupan, kematian, evolusi, Tuhan, dan penciptaan.
“Berhentilah berpikir,” jawab dokter Hasan enteng, dengan nada mirip dialog di film Nagabonar. “Setidaknya, itu membuat otakmu lebih fit untuk melawan tumor.”
(Bersambung)
Add comment