Jawaban pendek, tidak. Agama, sebagai keyakinan atau ajaran tidak akan menjadi ancaman bagi sains. Yang bisa mengancam adalah manusia, penganutnya. Ketika penganut agama memahami dan menafsirkan ajaran agama secara kolot, harfiah, merekalah yang mengancam. Mereka mengancam karena merasa pemahaman atas keyakinannya terancam.
Sejumlah insiden adanya benturan agama vs sains yang pernah terjadi di masa lalu, sebenarnya tidak perlu. Namun menjadi pelajaran penting terkait keyakinan yang berlebihan, di satu sisi, dan ketidakpahaman, di sisi lain.
Giordano Bruno dan Galileo, misalnya, pada abad 16 dipersekusi oleh elit agama Katolik karena menyampaikan fakta bumi mengelilingi matahari (heliosentris). Fakta itu membantah keyakinan agama, bahwa bumi adalah pusat dunia (geosentris). Fakta saintifik mengancam keyakinan dan ketidakpahaman, yang dianggap sebagai kebenaran mutlak.
Bukti bahwa agama dan sains bisa berdampingan, tidak perlu “saling mengancam”, pernah berlaku dalam peradaban Islam pada Abad 7 – 12. Penganut Islam merangkul sains dan menjadikan peradaban Islam paling maju di dunia. Sering disebut sebagai “Golden Era of Islam”, Era Kekhalifahan Abbasiyah, dipimpin Harun Al-Rasyid dan Al-Ma’mum, berpusat di Bagdad (Persia).
Era ketika Islam merayakan pengetahuan, membangun Baitul al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Perpustakaan yang mengoleksi dan menerjemahkan naskah-naskah ilmu pengetahuan peninggalan peradaban Yunani, Asyiria, Persia, dan India ke bahasa Arab.
Islam saat itu menjadi pusat pengetahuan dan pewaris pemikiran peradaban dunia, dari filsafat, matematika, kosmologi hingga astronomi. Era ketika wilayah Eropa sedang terpuruk dalam Abad Kegelapan dan Amerika belum “ditemukan”.
Islam maju ketika penganutnya bersifat terbuka, inklusif dan toleran. Memilik rasa ingin tahu dan penasaran ingin memahami misteri dibalik alam semesta. Peradaban Islam mundur ketika karakteristik keingintahuan dan rasa penasaran itu dikalahkan oleh keyakinan berlebihan dan sikap intoleran pada perbedaan.
Peradaban bisa maju karena manusia mampu memahami kehidupan dan cara kerja dunia dengan lebih baik. Sains dan teknologi hmembentuk pemahaman manusia secara lebih baik selama 500 tahun terakhir. Kemajuan peradaban adalah sinonim dari pencapaian akumulasi teori sains dan temuan teknologi yang membuat hidup manusia lebih mudah.
Sains adalah penjelajahan wilayah baru dan pengetahuan baru. Dan itu bukan sekadar agar memahami, tapi bisa memanfaatkan untuk kegunaan praktis. Dari teori proses penciptaan alam semesta hingga munculnya kehidupan dan keberagaman mahluk hidup. Dari temuan vaksin untuk melawan wabah, smartphone untuk komunikasi global, hingga roket untuk penjelajahan angkasa luar.
Kemajuan peradaban adalah sinonim pemahaman manusia atas pencapaian akumulasi temuan dan teori sains. Berbagai temuan atau teori yang tidak faktual pasti akan ditinggalkan atau tidak berguna, jika tidak sejalan dengan kenyataan kinerja alam. Sejumlah teori dan temuan sains adakalanya bertentangan dengan keyakinan agama, Teori Evolusi dan Teori Big Bang misalnya.
Tidak soal, manusia memilih berpegang pada keyakinan agamanya atau mengamini sains. Sejauh keyakinan, atau teori sains, itu tidak dipaksakan sebagai indoktrinasi. Sains tidak memerlukan keyakinan, karena tetap benar, terlepas dari orang mempercayai atau tidak. Namun, kebenaran sains selalu bersifat tentatif, bisa dianulir jika ditemukan data atau bukti baru yang lebih valid.
Agama Katolik pernah menentang keras Teori Evolusi dan Teori Big Bang, yang dianggap tidak sejalan dengan keyakinan penciptaan (kreasionisme Tuhan). Namun bukti-bukti saintifik kedua teori itu sulit dibantah, dan berbagai bukti terbaru semakin memvalidasi. Gereja Vatikan, melalui pernyataan Paus Pius XII, menerima Teori Evolusi pada tahun 1950.
Teori Big Bang masih dalam perdebatan. Di kalangan agama Kristen moderat konsep Tuhan Sang Pencipta diganti dengan istilah “perancang cerdas”, Intelligence designer. Agama, mau tak mau, harus menyesuaikan diri, menerima teori dan temuan sains yang memang terbukti validitasnya.
Upaya “menjembatani” antara pemahaman saintifik dengan keyakinan agama pernah coba dilontarkan oleh Maurice Bucaille, penulis buku The Bible, the Quran and Science. Bucailleism kemudian menjadi istilah populer untuk merujuk argumen bahwa isi kitab suci, sebagai kitab pewahyuan, juga sesuai dengan fakta saintifik.
Di dunia Islam tokoh yang getol menunjukkan “bukti-bukti saintifik” dalam Kitab Qur’an adalah Zakir Naik. Pengkotbah Islam dari India ini sering dianggap sebagai penganut Bucailleist syariah. Ia populer karena getol melakukan “otak-atik gatuk” mencomot menafsirkan ayat-ayat Qur’an atau hadis nabi disesuaikan dengan fakta saintifik.
Gesekan antara keyakinan agama dan sains sering hanya terjadi di kalangan penganut agama Samawi (agama langit, Abrahamik). Untuk agama bumi, seperti Hindu, Budha, Janinisme, Daoisme atau Khonghucu relatif tidak terjadi. Agama bumi tidak mengenal konsep penciptaan dan adanya sang pencipta, alam semesta berjalan secara sislikal, siklus yang berulang, tanpa awal atau akhir.
Itu sebabnya salah satu pemimpin agama Budha, Dalai Lama, pernah berujar “Jika sains membuktikan sejumkah keyakinan Budhisme salah, maka penganut Budhisme harus mengikuti temuan sains.”
Bagi Dalai Lama, sains dan Budhisme memiliki komitmen yang sama, yaitu “untuk terus mencari bukti empiris tentang realitas, dan selalu terbuka meninggalkan keyakinan lama, jika temuan dan bukti saintifik lebih valid.”
Wisdom dari Dalai Lama ini baik untuk diamini, agar relasi agama dan sains tidak terkesan kurang harmonis. Khususnya untuk hal-hal yang jelas bisa dibuktikan secara empiris, agama tidak perlu merasa temuan sains mengancam keyakinan, atau sebaliknya. Fakta mustahil diabaikan oleh keyakinan.
Agama tidak akan menjadi ancaman bagi sains, karena sains berurusan dengan fakta obyektif. Apapun yang diyakini agama tidak akan berpengaruh pada upaya sains untuk terus mencari dan menemukan fakta yang benar.
Seperti dalam isu Heliosentrisme dan kenyataan bumi bulat, bukan datar, sains berurusan dengan fakta. Fakta sains mustinya tidak akan mengancam agama. Kalaupun ada “yang merasa terancam”, pastilah hanya sebagian penganutnya. Mereka yang berpikiran kolot dan gagal memahami fakta dengan benar.
Lukas Luwarso
Add comment