ForSains

Polemik Sains versus Filsafat: Rekapitulasi

polemik sains vs filsafatSELAMA polemik sains versus filsafat yang berlangsung di Facebook sepanjang Mei-Juli 2020, bermunculan reaksi “tegas” dari kubu pro-filsafat. Ekor polemik masih muncul hingga tulisan ini dibuat, awal Januari 2022. Cukup banyak pula diskusi Zoom di beberapa kota. Saya sendiri tampil di setidaknya tiga diskusi serupa; selain menerima undangan dari sebuah universitas di Bandung, meski seminggu kemudian undangan dibatalkan tanpa alasan yang jelas.

Tak lama setelah polemik yang berakhir begitu saja secara “alamiah”, Goenawan Mohamad sebagai peserta utama dari kubu filsafat, mendirikan “Beranda Filsafat” di Teater Utan Kayu. Gedung kecil di TUK direnovasi dengan baik, mengisyaratkan bakal rutinnya diskusi filsafat di sana.

“Beranda Filsafat”, lengkap dengan logo yang diperkenalkan melalui media sosial, seolah merupakan rebranding atas kegiatan serupa di TUK yang sudah berjalan dua tahunan, berupa kursus atau diskusi rutin yang diberi merek “Filsafat Underground”, merujuk ruang bawah-tanah tempat diskusi.

Lalu tak banyak lagi terdengar kegiatan “Underground” maupun “Beranda”. Tampaknya kelompok itu beserta gedung renovasinya dibuat karena emosionalisme sesaat, sebagai pekikan bahwa filsafat belum mati.

Jarangnya kegiatan diskusi filsafat di sana juga mungkin karena tak banyak bahan tersisa untuk didiskusikan, di tengah arus deras berita tentang aneka temuan terbaru sains dan teknologi.

Entah terkait dengan polemik atau tidak, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara beberapa bulan kemudian mengumumkan program extension course di dinding Facebook. Ini terhitung sikap high profile, berbeda dari watak sekolah itu selama ini. Pada poster promosinya, yang menjual paket kursus seharga Rp 1.000.000 untuk delapan pertemuan [atau Rp 150.000 untuk satu kali pertemuan], Driyarkara memajang foto 13 pengajarnya, yang rata-rata bergelar profesor.

Tema kursus dinyatakan dalam bahasa Inggris (“God in the City”), dengan materi-materi yang sebagian menimbulkan rasa heran, misalnya “beriman secara intelektual” atau “tuhan dan uang”.  Mungkin baru kali ini STF berpromosi seagresif itu. Fanpage Facebook Driyarkara sendiri memuat postingan terbarunya bertanggal 8 April 2012.

Jurusan Filsafat Universitas Parahyangan di Bandung, dipimpin Prof. Dr. Bambang Sugiharto, yang juga terlibat dalam polemik, pun mengumumkan kursus (gratis), juga dengan judul berbahasa Inggris, “Machine of Ressurrection: Post-Death and Its Alternatives.”

Tak jelas apakah kursus yang seluruh pengajarnya orang Indonesia itu dilangsungkan dalam Inggris ataukah judul itu sekadar mengikuti mode keminggris yang makin menggejala dalam obrolan remaja perkotaan maupun acara-acara hiburan di televisi.

Dr. F. Budi Hardiman, ahli filsafat yang juga peserta polemik, mengangkat isu “kematian filsafat” yang diumumkan di polemik dalam pidato pengukuhan guru besarnya di Universitas Pelita Harapan (lihat “Merayakan Kemurungan Hidup Bersama Filsafat” dalam buku ini).

Mungkin masih ada lagi diskusi-diskusi besar-kecil di seputar tema ini di tempat-tempat lain, seperti di Medan, yang bertopik “Matinya Filsafat, What Next?”, yang diadakan oleh Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI). Juga diskusi-diskusi serupa yang sekadar menyindir polemik, tanpa menyebutnya secara terbuka dan tanpa mengundang pembicara dari kubu pro-sains — semua ini tak bisa disikapi lain kecuali dimaklumi saja.

***

Nada umum dalam reaksi-reaksi yang hangat itu adalah kesalahpahaman atau keengganan membedakan antara filsafat sebagai disiplin akademis dan filsafat sebagai pemikiran filosofis.

Yang pertama, yang penubuhannya berupa fakultas filsafat di universitas atau sekolah spesialis seperti STF Driyarkara, menekuni pemikiran-pemikiran para filosof kuno Eropa ataupun “filsafat Timur”, yang disistematisasi menjadi aneka subspesialis seperti filsafat metafisika, filsafat alam, filsafat manusia, filsafat ketuhanan, filsafat analitik, dan sebagainya.

Para pengajar dan lulusannya biasanya disebut “filosof”, meskipun mereka lebih tepat diberi predikat sejarawan filsafat; mereka, setidaknya di Indonesia, tidak ada yang mengajukan ide-ide filsafat pribadi mereka sendiri dalam arti sebagaimana ide atau sistem filsafat para filosof yang mereka pelajari.

Yang kedua, pemikiran filosofis, adalah suatu kemampuan dan kemauan seseorang untuk berpikir melampaui apa yang terlihat di permukaan tentang segala macam gejala.

Terhadap suatu gejala sosial, misalnya berupa pendangkalan wacana politik seperti terlihat dari komentar para politisi atau bentuk debat politik di televisi, seseorang bisa mentransendensikannya ke arah aneka kemungkinan di masa depan bagi kehidupan politik nasional, mungkin seraya mengidentifikasi dan merefleksikan penyebab-penyebabnya hingga jauh di masa silam.

Untuk contoh lain, umpamanya suburnya kemunculan karya fiksi yang tak disertai peningkatan mutu sastra, orang juga bisa memikirkan hal serupa: mentransendensikan perkembangan yang punya banyak wajah itu ke gambaran kehidupan kesastraan di masa depan dalam bingkai kebudayaan umum Indonesia.

Dalam arti ini maka setiap orang berpeluang mengajukan pemikiran filosofis tentang banyak hal, terlepas apakah mereka pernah dididik dalam disiplin filsafat atau tidak.

Seseorang, semata-mata karena statusnya sebagai manusia yang mampu berpikir, tentu patut, bahkan dianjurkan untuk berpikir filosofis atau berpikir secara lebih mendalam daripada sekadar terpaku pada apa yang ia lihat belaka. Semangat seperti ini tidak selayaknya diredam hanya karena orang itu bukan filosof profesional atau pernah dididik dalam studi formal filsafat.

Berfilsafat atau berpikir filosofis justeru merupakan kebajikan yang sepatutnya didorong bagi setiap orang; ia bukan hak eksklusif seorang filosof profesional ataupun sejarawan filsafat.

Dan pemikiran filosofis semacam ini, seperti diduga oleh filosof Amerika Richard Rorty di awal 1980an, justeru akan makin subur seiring kian banyak dan cepatnya perubahan-perubahan sosial-budaya berkat perkembangan sains yang luar biasa pesat.

Inilah sebabnya ada dugaan bahwa yang masih relevan atau layak dikembangkan adalah filsafat ilmu atau epistemologi — meski kaum ilmuwan sendiri tidak peduli pada apa yang dikatakan oleh para ahli epistemologi itu, yang sebagian perintisnya merupakan mantan fisikawan profesional (Thomas Kuhn, Karl Raimund Popper). Jadi, pemikiran filosofis akan makin subur berkat dorongan perkembangan sains, bukan karena perkembangan filsafat.

Maka untuk ke sekian kalinya, masih perlu saya tegaskan lagi seperti berulang kali saya katakan di sepanjang polemik (tapi rupanya tetap tak dimengerti oleh para peserta): yang mati dengan niscaya — karena mekarnya sains dengan aneka temuannya yang menakjubkan dan berdasarkan pembuktian (evidence-based) — adalah filsafat sebagai disiplin yang mempelajari gagasan-gagasan spekulatif para filosof kuno (Barat dan Timur), sedangkan pemikiran filosofis oleh siapa saja justeru akan semakin subur, bukan mati.

Inlah sebabnya setiap lulusan program doktoral di bidang apapun di Amerika, misalnya, diberi gelar doctor of philosophy (disingkat Ph.D). Sudah tentu istilah ini bukan bermakna doktor filsafat — dalam arti seperti dibela oleh kubu filsafat dalam polemik — melainkan bermakna: si lulusan dinyatakan secara formal telah memahami intisari atau fondasi ilmu yang bersangkutan secara mendalam, dan karenanya ia berpeluang untuk mengembangkan ilmunya itu secara mandiri.

Maka seorang lulusan fakultas ekonomi yang mendapat gelar Ph.D, misalnya, berarti dinyatakan memahami benar landasan dan seluk-beluk ilmu ekonomi; dia bukan pula dianggap ahli filsafat ekonomi [meski mungkin dia mampu mengembangkan filsafat ekonominya sendiri], melainkan pakar ilmu ekonomi, meski gelarnya doktor filsafat.

Sangat mengherankan pembedaan yang saya utarakan dalam bahasa Indonesia yang terang benderang ini tidak juga dipahami, justeru oleh mereka yang mengesankan diri sebagai orang-orang cerdas yang gemar berpikir.

***

Di tengah hangatnya polemik sains versus filsafat itu, yang ekornya mungkin akan muncul hingga beberapa waktu mendatang, di manakah para ilmuwan sungguhan?

Mengapa mereka hanya menonton, atau bahkan tidak tahu menahu sama sekali tentang adanya polemik? Mengapa mereka tak bersikap seperti sejumlah profesor filsafat yang ikut turun ke gelanggang, kalaupun pemicu polemik tidak bisa diperlakukan sebagai representasi filsafat?

Mengapa kaum ilmuwan tidak tergerak sedikit pun untuk turut berkontribusi, memanfaatkan kesempatan langka ini, yang belum pernah terjadi di negeri kita? Jika saja mereka turut berpolemik, tentulah arena bisa semakin meriah, dan sejumlah hal yang masih terasa kabur bisa semakin jelas.

Kancah polemik semestinya dimanfaatkan juga oleh para ilmuwan untuk sedikit memberi pengertian kepada publik tentang hakikat sains; tentang kekuatan dan kekurangannya; tentang apa yang sedang mereka lakukan; tentang mengapa berpikir saintifik itu penting sekali, termasuk dalam hubungannya dengan kemajuan bangsa.

Mereka bisa menyatakan dengan meyakinkan bahwa tiada satu pun bangsa di dunia ini yang dapat maju tanpa mengembangkan sains; bahwa tidak pernah ada kekuatan non-sains yang mampu memajukan suatu bangsa, apalagi filsafat dengan watak spekulatifnya.

Gelanggang promosi sains memang sunyi senyap sejak Indonesia merdeka. Jarang sekali tulisan atau bahkan pemberitaan yang bernada promosional muncul di media cetak ataupun radio — kalah jauh dibanding promosi ide-ide religius, yang umumnya jadi pembuka siaran sejak subuh hari, dan menjadi penutup seluruh program lewat tengah malam.

Kemudian, ketika saluran informasi didominasi oleh televisi, hampir tidak pernah stasiun-stasiun yang jumlahnya makin banyak itu menayangkan program yang bernada suportif terhadap pengembangan sains. Kini, dengan datangnya era media online, artikel sains pun belum mendapat porsi yang wajar, setidaknya tak sebanding dengan proporsi nilai pentingnya dalam kehidupan.

Dalam suasana umum yang tak ramah terhadap pemikiran saintifik dan pengembangan sains itulah, kami, yang kemudian berhimpun dalam kelompok ForSains, menganggap  perlu berbuat sesuatu dalam konteks ini, betapapun kecilnya. Sebagai orang-orang yang awam sains — ini bukan sikap sok merendah atau humble-bragging (saya sendiri secara formal berpendidikan hukum dan politik) — tentu saja kami sadar bahwa kami tidak mengerti detail dan aspek teknis operasi sains yang rumit, yang tidak mungkin dikuasai orang tanpa pendidikan akademis di bidang sains.

Ketakmengertian di tingkat aspek teknis operasi sains itu kami pikir tak perlu menghalangi semangat untuk ikut menyebarluaskan pentingnya perangai ilmiah (scientific temper), sesuatu yang telah mulai ditumbuhkan pada diri setiap orang ketika pertama kali mereka masuk sekolah dasar dalam usia 6 atau 7 tahun.

Seandainya keamatiran harus jadi perintang — sebagaimana sering ditekankan oleh peserta polemik dan para pendukung mereka, bahwa entusias sains seperti saya tidak selayaknya membela sains dengan bersemangat sebab saya bukan saintis — maka mereka pun tidak akan menikmati ulasan pertandingan sepakbola (karena pengulasnya biasanya bukan eks pemain atau pelatih sepakbola), tidak bisa membaca ulasan tentang film (penulisnya pasti bukan aktor atau sutradara), dan seterusnya.

Yang tak kurang pentingnya: peserta polemik seperti Fitzerald Kennedy Sitorus, sambil terus menekankan mutlaknya profesionalisme semacam itu, tak pernah mengusik status Goenawan Mohamad, seorang antisains yang berkobar-kobar menyerang sains sambil menekankan keutamaan filsafat, padahal Sitorus pasti tahu bahwa Goenawan bukanlah filosof atau bahkan sekadar ahli sejarah filsafat — meski ia tampak sejak lama ingin diakui berstatus itu.

Dalam pernyataan lisan dan esai-esainya kemudian, Goenawan juga sering mengejek pendukung sains sebagai “mualaf sains” ataupun “penggembira sains”, sementara dia sendiri — yang mengaku “membenci sekolah” — bagi banyak pelajar filsafat sungguhan tentu patut disebut “pencemar filsafat”, karena tulisan-tulisannya yang berpretensi filsafati sering membingungkan lantaran kegemaran ekstremnya dalam menghias suatu proposisi dan mengerat pernyataan para filosof menjadi sekadar kutipan yang “sexy.”

***

Hari-hari ini bermunculan berita tentang berakhirnya operasi Lembaga Eijkman, sebuah laboratorium biologi molekuler berusia seabad lebih dan bereputasi internasional. Kegiatan lembaga tersebut diintegrasikan dan dikoordinasi oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan terjadi rasionalisasi jumlah pegawai dan masalah-masalah birokrasi lainnya. Sebelumnya perombakan-perombakan serupa juga terjadi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang beritanya hampir tak menarik perhatian publik sama sekali.

Keluhan, protes dan penyesalan dari sebagian kecil peminat muncul di seputar penghentian operasi Lembaga Eijkman. Ini memang peristiwa yang patut disesalkan, mungkin sekaligus indikasi bahwa negara kurang menghargai manfaat dan reputasi Eijkman sesuai bobotnya.

Di sisi lain, kita juga menyaksikan hal yang mengecilkan hati: kurangnya simpati publik pada penutupan operasi lembaga sepenting Eijkman, yang hasil-hasil kerjanya bisa bermanfaat besar untuk membantu banyak kegiatan di bidang-bidang lain, dari membantu kerja-kerja khusus lembaga kepolisian sampai memberitahu kita tentang asal-usul manusia Indonesia.

Mudah diduga: minimnya simpati publik tersebut juga karena kalangan ilmuwan sangat kurang melakukan kerja-kerja public relations, kurang peduli atau tidak mengerti tentang pentingnya sosialisasi dan pendidikan publik mengenai kegiatan ilmiah mereka dan hubungannya dengan pemahaman tentang nilai penting sains.

Kelompok entusias seperti ForSains tentu hanya mampu menyaksikan insiden Eijkman itu dengan prihatin. Sebagian besar masalah di dalamnya juga berwatak khas birokrasi; hal yang semakin tak relevan bagi entusias sains. Pemecahan masalahnya pun sepenuhnya urusan birokrasi dan kepegawaian.

Semua itu pasti tidak akan menyurutkan langkah kami untuk terus mengajak publik guna mengembangkan perangai ilmiah, sebagaimana yang benihnya tertanam pada diri setiap orang sejak pertama kali mereka duduk di kelas satu sekolah dasar, tapi kemudian ditindih oleh lapisan-lapisan tebal non-sains seperti mitos, religi, dan tahayul — dan, dengan caranya sendiri, juga filsafat. ***

Hamid Basyaib

Add comment

Ukuran Huruf