Fisika kuantum menjelaskan adanya azas ketidakpastian sebagai prinsip cara kerja alam semesta (Heisenberg’s uncertainty principle). Di sisi lain, paradigma materialisme (sains) menegaskan, bahwa alam semesta tersusun dari materi dan gerakannya, yang bisa diukur dan dihitung dengan pasti. Terkesan ada kontradiksi antara kepastian sains (dunia materi) dengan azas ketidakpastian.
Sains sering dipahami sebagai metode untuk memahami dunia materi yang identik dengan kepastian. Namun dengan temuan mekanika kuantum, bahwa ketidakpastian adalah fitur utama alam semesta, membuat kesan adanya kontradiksi. Muncul pertanyaan tentang hubungan sifat materi dan kepastian, serta sejauh mana pemahaman fisikakuantum tentang dunia subjektivitas dan ketidakpastian.
Immanuel Kant mempertanyakan sejauh mana kita tahu pada hal-hal yang dapat diketahui. Menurut Kant, pengetahuan tidak mungkin lepas dari ketidakpastian. Pengetahuan kita bersumber dari indera perseptual subyektif kita, bukan dari obyek itu sendiri (das ding an sich).
Filsuf Yunani kuno, Democritus, mengungkapkan: ‘Secara konvensi, manis adalah manis, pahit adalah pahit, panas adalah panas, dingin adalah dingin, warna adalah warna; tetapi sejatinya yang ada hanya atom dan kekosongan.’ Namun dunia atom sering disalahpahami, atom sering diibaratkan seperti bola tenis. Analogi atom sebagai “bola” menyebabkan ketidakpastian mekanika kuantum seolah menjadi bisa dipastikan. Dan itu juga berlaku untuk ilmu fisika, kimia, biologi, dan sains lainnya yang dianggap pasti.
Dalam filsafat dekonstruksi ada diktum ‘Ontologi adalah ideologi.’ Diktum ini menegaskan bahwa realitas dunia (ontologi) terlalu kompleks, luas, dan rumit untuk diuraikan dalam bahasa. Oleh karena itu, klaim metafisika, termasuk juga klaim ilmiah, tentang apa yang “nyata’ sesungguhnya hanya ‘ide-ide’.
Partikel Higgs boson secara populer dijuluki sebagai “partikel Tuhan”. Peter Higgs menghipotesiskan keberadaan partikel ini lebih dari 20 tahun sebelum bukti empirisnya ditemukan. Sebelum terbukti ada (secara meaterial) harus dibayangkan terlebih dahulu. Jika materi memiliki massa melalui partikel Higgs boson, maka materi sesungguhnya adalah entitas dinamis yang berinteraksi. Sebuah proses, bukan benda fisik.
Persamaan E=mc2 Albert Einstein memprediksi bahwa materi adalah manifestasi energi. Namun apa yang membuat materi memanifestasi menjadi bentuk, sulit dimengerti. Michael Faraday, penemu generator listrik, mengubah ide tentang medan magnet dari konsep teoretis menjadi hal yang aktual, seperti bola lampu yang menyala.
Prinsip dunia fisika kuantum telah menjungkir-balikkan pandangan bahwa dunia materialisme bersifat statis dan serba-pasti, sebagaimana dipahami dan diimajinasikan oleh orang awam atau dalam pemahaman dunia ilmu humaniora, seperti seni dan sastra.
Imajinasi, sebagaimana materi, juga penuh ketidakpastian. Partikel Higgs boson menunjukkan, bahwa konfigurasi materi harus dibayangkan terlebih dahulu sebelum bisa dibuktikan. Penyair dan seniman William Blake, pernah menyatakan “Apa yang sekarang terbukti ada, dulu hanya diimajinasikan.” Poinnya adalah bahwa bukti datang terlambat dari apa yang bisa dikreasi dalam imajinasi.
Dengan demikian, metode sains sebenarnya terkait dengan imajinasi. Sebagai alat, bukan sebagai lawan, untuk mengonfirmasi imajinasi. Mekanika kuantum membuat garis antara yang pasti dan tidak pasti menjadi samar. Mengaburkan relasi antara epistemologi dan ontologi, antara subjek dan objek; ketidakpastian kembali tak terhindarkan.
Paradigma ketidakpastian yang tak terhindarkan dalam dunia materialisme, ilmu fisika, telah menyebar ke banyak ilmuwan, termasuk ilmu sosial. Dan ini menimbulkan ketidakpastian, yang sering membingungkan masyarakat yang haus akan kebenaran dan kepastian. Dan ketidakpastian, bagi sebagian pihak, bisa membahayakan.
Psikolog Arie Kruglanski menyatakan bahwa “ketidakpastian adalah akar dari banyak perilaku buruk”: otoritarianisme, intoleransi, dan dogmatisme. Adanya ketidakpastian saat ini, dari soal perubahan iklim, pandemi virus, hingga inflasi ekonomi, menyebabkan hampir mustahil untuk menyepakati tujuan sosial bersama. Polarisasi pandangan dan perkubuan politik yang merebak, membuat moderasi politik sangat sulit.
Polarisasi ini bisa mendorong tindakan dan perilaku buruk manusia. Namun jika ternyata ketidakpastian adalah kaateristik dunia, dan bukan hanya soal keterbatasan atau kelemahan pengetahuan manusia. Maka perlu upaya mencari cara yang lebih baik untuk menghadapinya. Ketidakpastian bukanlah kesalahan kita dan bukan hanya masalah tentang pengetahuan manusia.
Dalam dunia mitologis, ancaman ketidakpastian dismbolikkan sebagai setan (demon) atau roh jahat. Narasi setan itu juga dipakai oleh ilmuwan sebagai analogi untuk menyimbolkan kemungkinan dan kontradiksi dalam simulasi berpikir atau eksperimen pikiran (though experiment). Pada 1641, René Descartes memformulasikan adanya “setan jahat” sebagai lawan skeptisisme; setan ini mensimulasikan persepsi dan menipu pikiran untuk mempercayai bahwa dunia itu nyata.
Pada 1867, James Clerk Maxwell, fisikawan penemu kaitan listrik dan magnetisme, membayangkan adanya setan (Maxwell’s Demon) dengan kemampuan menyortir, memilah, atom dan molekul yang bergerak lambat dan cepat, dalam upaya menggagalkan berlakunya hukum termodinamika. Kucing Schrödinger, contoh lain eksperimen pikiran (adanya setan) yang menyebabkan ketidakpastian antara subjek dan objek dalam menginterpretasikan mekanika kuantum.
Setan eksperimen pikiran yang paling mengerikan adalah yang dibayangkan oleh matematikawan dan fisikawan Prancis, Pierre-Simon Laplace. Setan untuk menjelaskan adanya kekuatan “sang maha kuasa” yang mengatur hukum mekanika Newton. Pada tahun 1814, Laplace membayangkan adanya entitas maha-cerdas (Laplace’s demon) yang mampu mengetahui semua gerak partikel dan gaya-gaya yang menggerakkannya. Laplace’s demon dengan demikian bisa juga dianalogikan sebagai Tuhan (Laplace’s God), alih-alih setan.
Laplace mengklaim, “bagi entitas cerdas seperti itu, tidak ada yang tidak diketahui, masa depan dan masa lalu adalah sebuah kepastian yang muncul di hadapannya.” Setan cerdas, yang bisa juga dianggap Tuhan, ini bisa menjelaskan kepastian alam semesta, yang dapat diprediksi dan teratur, dan dengan demikian mengabaikan mekanika kuantum, kompleksitas, dan teori kekacauan. Dengan informasi dan perhitungan yang benar, semua hal menjadi pasti, karena semua hal dapat dihitung secara matematis.
Kecuali Laplace’s Demon benar-benar terbukti ada, maka sebaiknya kita merangkul ketidakpastian sebagai realitas dunia. Søren Kierkegaard menegaskan bahwa ketidakpastian ada di tengah-tengah kebebasan. Ketidakpastian membuka kreativitas menjadi mungkin. Singkatnya, ketidakpastian memungkinkan kemanusiaan kita.
Tanpa ketidakpastian, terbukanya kemungkinan atau kreativitas menjadi tidak mungkin. Penyair Emily Dickinson menyebut puisi adalah kemungkinan, sebagai ‘rumah yang lebih adil’, ketimbang kepastian prosa. Ketidakpastian merupakan fondasi arsitektur dunia, bukan hanya perabotan mental kita yang berantakan. Kita tidak perlu menyalahkan diri sendiri atas sisi yang ditimbulkan oleh ketidakpastian.
Ketidakpastian, sehingga ada pilihan, diperlukan untuk mencegah kemanusiaan menjadi seperti mesin yang sudah diprogram. Alih-alih mencoba memaksakan kepastian dengan cara apapun, kita dapat merayakan kebebasan dan kreativitas yang bersumber dari ketidakpastian. Dan dengan demikian, kita bisa membebaskan diri dari kehidupan serba terprogram dengan pasti. Hidup yang monoton dan robotik.
Disadur dari: https://psyche.co/ideas/uncertainty-isnt-a-human-flaw-its-a-feature-of-the-world?
Add comment