ForSains

Sains, Misteri, Teka-Teki Alam Semesta dan Kehidupan

Kesalahan asumsi yang membuat banyak kalangan tidak berkhidmat pada sains adalah, sains berpretensi melenyapkan misteri. Cara pandang ini bukan cuma diyakini kaum  penghayat takhyul atau penganut agama, namun juga dianut sebagian intelektual yang bersikap romantik, atau agnostik, dengan misteri.

Mereka menganggap eksistensi kehidupan dan alam semesta, muasal dan esensinya, adalah misteri. Esensi misteri itu berada di luar (beyond) realitas fisik, dunia paralel yang tak terjangkau inderawi, sempurna, dan abadi. Dunia ethereal, tempat segala ramuan keajaiban diolah, dan sesekali dipamerkan ke dunia untuk memukau manusia (di masa lalu, atau di masa kini, berupa penampakan hantu).

Dunia phantasm (surgawi) itu mustahil bisa diobservasi atau dideteksi oleh sains. Karena misterinya dijaga ketat agar tidak terungkap. Hanya orang-orang “terpilih”, mereka yang memiliki kemampuan intuitif tinggi atau melalui olah mistik, bisa mendeteksi atau sekelebat memasuki lorong rahasia dunia gaib dan ajaib.

Miisteri dunia ajaib itu mirip plot kisah fantastik Harry Potter, yang membagi dunia dalam dua realm: Wizarding World dan Muggle world. Dua dunia ini tidak bisa berinteraksi, karena adanya ketentuan “International Statute of Wizarding Secrecy.”

Sains dan teknologi yang murni ingenuitas manusia hanya berlaku untuk dunia Muggle. Segala pencapaian keajaiban teknologinya dianggap sepele, dibanding keajaiban sesungguhnya dunia Wizard.

Itu sebabnya, keyakinan pada alam gaib dan misteri tidak mungkin bisa dilenyapkan. Meskipun sains telah menunjukkan dan membuktikan, hukum alam lah yang menggerakkan dunia. Keyakinan pada adanya dunia alternatif, yang tidak tunduk pada hukum alam, masih kuat diamini mayoritas manusia penghayat misteri atau obskuriti. Dunia gaib yang didiami hantu, iblis, jin, mahluk astral; atau segala konsep mental-metafisik yang obskur, seperti jiwa, kesadaran-murni, roh absolut, Forms, dasein, das ding an sich, dan sejenisnya.

Berbagai temuan sains telah mampu menjelaskan banyak hal yang bersifat material, dari atom, tubuh manusia, hingga galaksi. Namun dunia mental (yang terkait dengan kinerja otak manusia) memang belum sepenuhnya bisa dipahami, seperti emosi, perasaan, kesadaran atau pemaknaan. Ini tantangan neurosains yang terkait erat dengan studi complex system sains fisika, kimia, dan biologi.

Teka-teki dunia mental memang masih perlu waktu untuk bisa dijelaskan oleh sains. Namun teka-teki bukan misteri yang tidak dapat dipecahkan. Teka-teki adalah soal belum adanya data yang diperoleh untuk menyusun hipotesis dan konklusi. Sementara misteri adalah konklusi tanpa basis data valid. Teka-teki bisa dipecahkan dan dijelaskan, misteri adalah rahasia yang mustahil dibuka. Misteri cuma bisa diyakini, atau dirayakan, sebagai ekspresi keterpanaan dan keterpukauan.

Misteri dunia spiritual sepertinya tidak akan lenyap, meski sains semakin rinci mengungkap banyak hal “misterius” yang semula dianggap supranatural atau spiritual. Kaum penghayat misteri tidak perlu khawatir, karena soal keyakinan, apapun temuan sains tidak akan melenyapkan misteri.

Misteri Menyelimuti

Manusia terlahir—ada yang menyebut terbuang—ke dunia dengan selimut misteri. Tidak ada “buku panduan” yang menyertai kemunculan manusia untuk hidup di bumi. Apa alam semesta, dari mana asalnya, apa tujuannya, kenapa manusia ada, sejumlah pertanyaan solilokui yang tidak ada jawabannya.

Manusia mencoba menyusun panduan atau penjelasan (berupa kisah mitologis, kitab agama dan pemikiran filsafat) belakangan ketika mampu berbahasa dan menulis. Agama dan filsafat muncul hampir bersamaan sekitar 2600 tahun lalu. Agama oriental (non-Abrahamik) seperti Hindu-Vedanta, Budha dan Taoisme lebih berkarakter filsafat, ketimbang agama.

Dalam artikel “Sains, Filsafat, dan Storytelling” (Juni 2020) saya uraikan upaya manusia mendapatkan penjelasan dan pemaknaan hidup dengan cara menyusun cerita. “Alam semesta terbuat dari cerita, bukan dari atom,” kata Muriel Rukeyser, penyair Amerika.

Umberto Eco dalam novel “Focault Pendulum” menganggap manusia perlu berkisah, mengarang cerita, agar absurditas kehidupan yang diselimuti misteri menjadi kisah menarik. Manusia tidak bisa menerima penjelasan (saintifik) bahwa alam semesta muncul dari kebetulan, momentum, atau mekanisme hukum fisika. Karena empat partikel atom, proton, neuron, elektron, dan photon saling bertumbukan dan berinteraksi.

Kisah konspirasi kosmik perlu disusun: tentang Tuhan, malaikat, setan, surga dan neraka. “Jika tidak ada rancangan kosmik, sungguh menjengkelkan, hidup dalam pembuangan, tanpa tahu siapa yang membuang. Terbuang dari tempat yang tidak pernah ada,” kata Umberto Eco.

Pada awal peradaban, mitologi, agama, filsafat dan sastra adalah upaya awal manusia untuk mengungkap misteri. Hikayat semacam The Epic of Gilgamesh, Enuma Elish, Iliad, Oddisey, Mahabarata, Ramayana, dan kisah folklore berbagai bangsa yang diceritakan turun temurun adalah cara manusia menjawab dan memaknai eksistensinya. Agar misteri tidak terlalu misterius.

Manusia menyusun cerita tentang adanya kekuatan tersembunyi, yang lebih kuat dan berkuasa dari manusia. Kuasa kekuatan yang mengatur serta mengontrol peristiwa. Muncullah kisah-kisah dewa-dewa sebagai tafsir dan penjelasan. Apa saja yang tidak dimengerti manusia, dilimpahkan ke dewa. Manusia memanusiawikan (anthropomorphize) kekuatan dan fenomena alam sebagai ulah para dewa. Ini cara termudah untuk menjelaskan misteri yang tak dipahami. Menciptakan “agen” berkekuatan besar yang bisa melakukan berbagai hal melebihi manusia.

Saat level kognitif manusia lebih maju, sejumlah pemikir di Yunani (juga di India, Persia, dan China), sekitar 2400 tahun, lalu mencoba memikirkan misteri secara lebih sistematis.  Para filsuf mengajukan konsep filosofis, sebagai spekulasi, untuk menjawab misteri. Memperdebatkan, apa esensi dibalik alam semesta, apa elemen penyusunnya.

Thales menyebut air sebagai elemen utama; Anaximenes menganggap udara; Empedokles menggabungkan api-udara-air-tanah; Democritus memastikan atom; Anaxagoras meyakini pikiran; dan Phytagoras memilih angka (matematika) sebagai esensi dunia. Begitulah filsafat, masing-masing filsuf bersikukuh dengan kebenaran spekulatifnya. Tradisi yang terus terbawa hingga saat ini.

Salah satu konsep filsafat yang kemudian menjadi paradigma penting, menjadi “weltanschauung” untuk memahami dunia, dirumuskan oleh Plato. Ia mengajukan konsep “Theory of Forms” (theory of ideas). Satu paradigma bahwa dunia fisik adalah ilusi, tidak nyata. Dunia sebenarnya, yang abadi, absolut, tidak berubah, dan sempurna adalah dunia Forms, dunia ide.

Dunia Forms, bagi Plato, adalah esensi non-fisik dari segala sesuatu. Dunia fisik hanyalah imitasi dari Forms—sebagai esensi sumber pengetahuan. Plato mempertanyakan ada apa di balik obyek, seperti wujud, bentuk atau warna. Ini terkait perspektif (keterbatasan) indera manusia dalam mengamati. Apakah properti obyek eksis secara terpisah? Jika terpisah, apa esensi eksistensi?

Plato menganalogikan konsep dua realitas dunia, fisik dan non-fisik, dengan parabel “kisah manusia gua.” Manusia cuma bisa melihat bayangan obyek yang dipantulkan dari nyala api, tidak melihat obyek itu sendiri. Plato menilai dunia fisik sebagai subyektif dan Forms sebagai dunia obyektif. Forms, ada yang menilai, menjadi “inspirasi” bagi konsep surga (kesempurnaan) dalam teologi agama Abrahamik. Dunia spiritual yang berada di luar ruang dan waktu.

Sejak Plato, metafisika menjadi filsafat esoterik yang gemar berspekulasi, menebak “ada apa di balik yang ada”. Filsafat metafisika bermain kata-kata untuk mengurai misteri ontologi. Namun alih-alih mengurai kejelasan, metafisika seringkali justru membuat misteri menjadi kabur, gelap dan semakin misterius (meskipun, tentu, sebagai retorika konseptual menarik secara filosofis, seperti laiknya puisi).

Sains Menerangi

Beda dengan metafisika yang kental bergelap-gelap dengan konsep, sains modern yang muncul di Era Pencerahan (enlightenmen) berupaya menerangi. Sains bisa merumuskan hal yang kompleks, kabur, dan rumit menjadi sederhana dan mudah dipahami. Ini dikenal sebagai prinsip Occam’s Razor. Fisikawan Ernest Rutherford mengatakan: “Jika anda tidak bisa menjelaskan temuan atau teori fisika kepada pelayan restoran, maka besar kemungkinan anda bukan fisikawan yang pintar.”

Sains ingin menyibak misteri, sebagai teka-teki. Pertanyaan “mengapa langit biru,” jika dianggap sebagai misteri akan berhenti sebagai proposisi: memang begitulah (takdir) langit. Namun kebiruan langit bisa diurai menjadi ratusan pertanyaan lain sebagai bagian teka-teki sains fisika. Dan bisa ada penjelasannya.

Sains bukan cuma soal metode, melainkan lebih pada upaya manusia mendapatkan penjelasan. Upaya mendapatkannya selain dengan kerja sama, seringkali dilakukan dengan berkompetisi, untuk memastikan penjelasan siapa yang paling  akurat. Saat penjelasan sains terbukti akurat, komunitas saintis sepakat. Sains tidak berpolemik atau beretorika, berkomplot, mendirikan mazhab atau aliran, untuk menolak validitas temuan sains. Karena tolok ukurnya jelas, harus sesuai dengan realitas “obyektif”. Dalam arti pihak lain bisa menguji, mengukur, dan mengulang hasil temuan, sebagai fakta saintifik.

Dunia sains mudah menerima adanya penjelasan yang lebih baik dan lebih baru. Dan lazimnya teori sains yang valid akan terus digunakan dan dilengkapi semakin terinci dengan temuan-temuan baru. Teori Relativitas terus terbukti validitasnya, bahkan jauh melampaui pemikiran Einstein saat merumuskannya. Gravitasi, ruang dan waktu melengkung, energi nuklir, GPS, dan foto lubang hitam adalah sejumlah bukti empiris validitas teorinya.

Temuan-temuan terbaru biologi molekuler juga semakin mengukuhkan Teori Evolusi Darwin. Teori yang saat dirumuskan (pada 1859) belum mengenal konsep genetik, DNA, epigenetik atau meme, semakin diperkuat dengan berbagai temuan baru. Seleksi alam dan mutasi acak, sejauh ini, terbukti adalah penyebab munculnya keragaman spesies dan perubahan fisiologis mahluk hidup.

Sains juga sabar menunggu otentisitas satu prediksi, sampai tervalidasi oleh bukti. Partikel Higgs boson, yang diprediksi keberadaannya oleh fisikawan Peter Higgs pada 1964, akhirnya terbukti pada 2012. Saintis memerlukan mesin raksasa berdiameter 27 kilometer, Large Hadron Collider, dan kolaborasi ribuan saintis dari berbagai negara, untuk membuktikan adanya partikel subatomik boson yang memiliki massa. Partikel yang, dalam hipotesis Peter Higgs, menjadi faktor penting munculnya dunia materi. Partikel yang kemudian dijuluki, secara misnomer, sebagai “Partikel Tuhan”.

Proses “penciptaan” alam semesta, sebagaimana dikisahkan oleh Kitab Kejadian, di awali dengan firman Tuhan: “Jadilah terang” (Let there be light). Secara saintifik, astrofisikawan Michio Kaku membahasakan menjadi: “In the beginning, God said that the four dimensional divergence of an antisymmetric second rank tensor equals zero, and there was light” Karena cahaya tunduk pada persamaan  elektromagnetisme James Clerk Maxwell.

Sejak 1882 cahaya  (nur-Illahi) bukan lagi sebuah misteri yang sumbernya supranatural. Cahaya adalah paket energi kuantum, berupa partikel photon, yang dapat dibuat, diatur dan dikontrol. Listrik, salah satu fenomena kekuatan alam yang mencengangkan bisa dipahami dan ditundukkan.  Melalui rangkaian proses penelitian saintifik selama lebih dari 200 tahun. Melibatkan puluhan saintis dari beragam era dan wilayah, dari Benjamin Franklin, Michael Faraday, Alessandro Volta, hingga Thomas Alva Edison dan Tesla.

Penemuan listrik dan cahaya adalah kisah ketekunan penelitian dan eksperimen saintifik manusia yang penuh imajinasi. Contoh keberhasilan manusia mengungkap, dan mendayagunakan, “misteri cahaya”. Listrik menerangi rumah dan kota, menjadi medium  komunikasi, melahirkan industri dan peralatan modern, serta menyemai revolusi teknologi digital. Mewujudkan “keajaiban” yang dulu cuma bisa dibayangkan para mistikus dan filsuf pra-era pencerahan.

Bukan satu koinsidensi jika proses penemuan listrik dan cahaya beriringan dengan lahirnya Era Enlightenment. Sejumlah pemikir yang tercerahkan (enlightened) mengedepankan nalar, reason, dan kemudian memakai metode sains untuk mengungkap rahasia kekuatan alam. Alih-alih bergelap-gelap meyakini bahwa alam semesta diselimuti misteri.

Mengurai Misteri

Dunia material sering dipertentangkan dengan dunia spiritual. Materialisme kerap dinilai sebagai dunia “fana, hina, dan tidak mulia.” Berbeda dengan dunia spiritual yang diasumsikan  “abadi, indah, sempurna, dan tak terhingga”.  Sains dianggap hanya berurusan dengan dunia material, dan dunia spiritual cuma bisa “dijangkau” oleh agama, mistisisme, atau filsafat.

Materialisme juga memliki aspek fantastik, meski tidak bernuansa mistik. Sains yang kerap dianggap materialistik, sebenarnya juga berbasis “non-material”. Persepsi adanya dualisme dunia materi atau non-materi sudah ditinggalkan sejak era fisika mekanika kuantum. Sains kontemporer tidak lagi terpaku pada materi sebagai basis ontologis. Dalam leksikon fisika kuantum, unsur utama penyusun alam semesta (realitas fundamental) adalah fields dan energi. Esensi realitas bukanlah partikel dan atom, melainkan informasi dan matematika.

Konsep ruang-waktu, matematika, informasi, algoritma, energi, medan, gaya, dan  hukum alam jelas hal-hal non-materi yang terkait dengan dunia materi. Jika realitas fundamental bersifat non-materi dan otonom dari materi, lantas apa esensinya? Firman Allah? Kehendak Tuhan” Pikiran Brahman? Dansa Sang Dao? Nyanian Ying dan Yang?

Konsep, ide, pemikiran, dan istilah tentang “realitas obyektif” dirumuskan oleh otak manusia yang subyektif, bukan datang dari dunia antah-berantah. Konsep-konsep yang terikat, dibatasi, oleh bahasa dan pengalaman manusia. Benarkah ada dunia non-material dan dimensi lain dibalik realitas? Adakah penjelasan yang meyakinkan tentang dunia metafisik atau idealisme, selain sekadar konsep atau retorika? Apakah dunia non-fisik (spiritual, ideal) ada secara obyektif, otonom, terpisah, tak terjangkau perspektif subyektivitas manusia?

Ludwig Wittgenstein mengatakan “whereof one cannot speak, thereof one must be silent” (jika tidak bisa dipercakapkan, sebaiknya diam). Logika, retorika, dan kata-kata kurang bermakna jika tidak bisa mendeskripsikan pengalaman real. Konsep spiritual, seperti Tuhan atau surga, Brahman, Monad, EinSoft, Dao, keabadian, kesempurnaan, bukanlah pengalaman otentik yang bisa dialami atau diketahui, selain hanya sebagai ide atau konsep.

Dunia ide yang sempurna (the Forms ala Plato, atau surga ala agama), boleh jadi hanya manifestasi produk kesadaran, pemikiran, atau harapan. Produk kerja otak, yang juga menghasilkan seni, agama, filsafat, bahasa, matematika, termasuk sains. Otak sebagai produk evolusi alam semesta yang mencoba menjelaskan semua hal.

Otak manusia adalah “mesin” pencari pola, makna, dan tujuan. Otak mencari penjelasan dengan menyelaraskan sebab dan akibat, adanya keteraturan (cosmos). Terlepas dari kekacauan (chaos), acak, dan kebingungan di sekitar kita. Otak berupaya menyusun tafsir, bahwa kehidupan bermakna, meskipun mungkin makna itu tidak ada.

Konsep dunia spiritual, sebagaimana tercermin dalam ajaran agama, sudah diyakini manusia selama ribuan tahun. Sama halnya dengan spekulasi metafisika yang sudah ribuan tahun menjadi perdebatan filsafat. Spiritualitas, agama, filsafat, adalah narasi konseptual. Upaya manusia menebak-nebak realitas. Tebakan yang berhenti sebagai tebakan. Tebakan satu agama atau filsafat disanggah oleh tebakan agama dan filsafat lain.

Sampai kemudian muncul metode sains modern yang tidak hanya puas, berhenti, hanya dengan tebakan. Sains menguji dan membuktikan, apakah tebakan mengandung kebenaran. Karl Popper menguraikan soal ini dalam “Conjecture and Refutation” (1963). Bagi Popper hipotesis sains adalah tebakan (conjecture) yang perlu diuji validitasnya, dan dibantah jika terbukti salah (refutation).

Sains memiliki metode untuk mengeliminasi kesalahan, sekaligus mengakumulasi hal-hal yang benar. Itu sebabnya sains mampu terus berkembang untuk mengungkap atau mengurai misteri. Sains tidak cuma berkutat  pada konsep yang sama, sebagaimana dogma agama atau pemikiran filsafat.

Filsafat Immanuel Kant, Hegel, Husserl, dan Heidegger, misalnya, pernah memukau kita dalam berspekulasi menebak realitas ontologis. Para pemikir besar itu saling mempengaruhi dan berbantah tentang  “yang ada” (dasein) dengan konsep masing-masing. “Realitas sejati” dibalik alam semesta sulit dijelaskan dengan abstraksi filsafat atau dengan dogma agama yang setiap kali hanya bisa menyebut nama Tuhan sebagai kata pamungkas.

Sains memang belum bisa mengungkap apa pemicu Big Bang, atau penyebab munculnya berbagai partikel subatomik, sehingga ada alam semesta. Namun, setidaknya, rumusan “standard model partikel”. yang berbasis pada observasi dan hitungan matematis, terbukti akurat dalam  menjelaskan kinerja dunia partikel. Juga memanfaatkan partikel yang tak terjangkau indera ini untuk berbagai teknologi yang berguna.

Sains juga telah mengidentifikasi struktur DNA sebagai kode penyusun kehidupan. DNA adalah ensiklopedia kehidupan berusia 4 milyar tahun, berisi informasi (kode) kehidupan masa lalu yang terus diperbarui (up date) hingga masa kini. Asal-usul kehidupan yang semula misteri spiritual, kini menjadi teka-teki yang mulai bisa dijelaskan prosesnya.

Aristoteles 2400 tahun lalu secara intuitif berspekulasi menyebut adanya “proses vital di bumi” yang memicu munculnya kehidupan. Seratus tahun lalu, sains mulai bisa melihat dan mendeskripsikan proses kimiawi yang kompleks di dalam sel-sel mahluk hidup. Lima puluh tahun lalu saintis bereksperimen bagaimana mensintesis komponen kimiawi, membuat “synthetic life”, untuk menjelaskan asal-muasal kehidupan.

Memang, sains belum sepenuhnya bisa mengungkap rincian bagaimana kehidupan muncul atau DNA tersusun.  Bagi sains hal-hal yang belum dipahami bukan dibiarkan menjadi misteri, melainkan dikategori sebagai teka-teki. Sains, misalnya, menamai secara mana suka (arbitrary) hal-hal yang belum diketahui, seperti dark matter, dark energy, epigenetik, meme, dan sebagainya. Dengan menamai, sains mengategori misteri menjadi teka-teki yang  perlu diungkap.

Menjawab Teka-Teki

Upaya mengungkap misteri alam semesta, bagi Albert Einstein, mirip seperti mengisi teka-teki silang (crossword puzzle). Solusi untuk menuntaskan teka-teki adalah menemukan kata yang pas, dari berbagai kemungkinan kata. Einstein yakini, teka-teki semesta akan ada jawabannya. Einstein menyumbang begitu banyak temuan dan teori fisika, dari mengukur atom, sifat cahaya, pergerakan molekul, teori Relativitas khusus dan umum, hingga persamaan E = MC2.

Sebelum meninggal Einstein mencoba menemukan “The Unified Theory”,  teori yang bisa menyatukan empat kekuatan fundamental alam semesta (gaya gravitasi, elektromagnetisme, gaya nuklir lemah dan nuklir kuat) dalam satu persamaan. Teori yang bisa menyatukan dunia makro (Teori Relativitas) dan dunia mikro (Mekanika Kuantum).

Stephen Hawking melanjutkan upaya Einstein itu dengan “Theory of Everything”. Baik Einstein atau Hawking tidak berhasil menemukan persamaan ini.  Namun upaya pencarian untuk mengungkap teka-teki terus berlanjut. Sebagian fisikawan menganggap “String Theory” adalah kandidat kuat sebagai Theory of Everything, sebagian lainnya  mengusung teori “Loop Quantum Gravity”.

Persamaan Einstein E = MC2  berhasil mengungkap misteri energi dan asal-usul materi. Energi dan massa (materi), menurut Einstein, bukan dualisme absolut, karena bisa saling alih-wujud pada kecepatan cahaya. Energi menjadi materi, materi menjadi energi. Materi tidak lain adalah kondensasi sejumlah besar energi. Dan setiap materi memiliki energi.

Misteri “dualisme” energi dan materi berhasil diungkap Einstein, tidak ada hal yang “spiritual” selain mekanikal. Persamaan E = MC2 melahirkan bom atom yang daya ledaknya luar biasa, juga menjadi basis pemanfaatan energi nuklir. Selain itu, memberikan petunjuk tentang asal mula alam semesta, terjadinya Big Bang, terbentuknya galaksi, matahari dan sistem tata surya, hingga munculnya kehidupan, termasuk manusia.

Manusia adalah produk persamaan E = MC2 dan hukum alam lainnya, proses sama yang menyusun materi di alam semesta. Misteri “keajaiban” yang bisa dijelaskan prosesnya oleh sains. Proses evolusi alam semesta selama 13,8 milyar tahun kini bisa dipahami, diamati dan dialami. “Keajaiban” hukum alam berbasis sains bersifat natural (alamiah, melalui proses), berbeda dengan keajaiban versi keyakinan yang bersifat supranatural (illahiah, tanpa perlu proses). “Keajaiban” sains bisa dijelaskan secara terinci, mendetil, dan terus terakumulasi bukti-buktinya. Keajaiban keyakinan tidak memerlukan penjelasan apapun, selain dogma.

Itu sebabnya, upaya mengungkap teka-teki  hanya bisa dilakukan dengan satu cara: melalui metode sains, dengan menolak keajaiban. David Hume, filsuf empiris Skotlandia, mengajak untuk tidak memercayai keajaiban (miracle) kisah mitologis dan agama. Dalam An Enquiry Concerning Human Understanding (1748), Hume mendefinisikan keajaiban sebagai “pelanggaran hukum alam oleh entitas supranatural”. Keajaiban tidak akan terjadi karena alam mustahil melanggar hukumnya sendiri.

Hume berargumen, kisah ajaib adalah produk storytelling dari kegemaran manusia berbohong, baik untuk motif keyakinan atau ketenaran. Kisah ajaib beredar secara getok tukar dan turun termurun karena memukau atau menghibur. Orang cenderung menerima kisah ajaib tanpa mempertanyakan faktanya. Hume memastikan kisah ajaib umumnya diamini oleh masyarakat yang masih ignoran, dan lazimnya hanya dipercaya terbatas di kalangan penganutnya.

Teka-Teki Saintifik

Sampai sekitar 350 tahun lalu, sains, agama, dan filsafat masih menyatu. Epistemologi dan metode sains, sebagaimana dipahami era modern, belum lahir. Saintis, agamawan, dan filsuf adalah kerja pemikiran yang sejalan. Untuk mencari penjelasan tentang manusia dan alam semesta. Saat itu, saintis adalah seorang filsuf alam (natural philosopher) yang beragama. Isaac Newton adalah contohnya.

Sebelum menuliskan karya saintifiknya, Hukum Gerak dan Teori Gravitasi, Newton adalah seorang  filsuf alam yang mendedikasikan hidup dan ilmunya untuk agama. Menganut gereja Anglikan, Newton percaya sepenuhnya Tuhan menciptakan alam semesta dan seisinya dalam enam hari. Saat itu, sampai abad 17, paradigma intelektual (Eropa) umumnya masih terpaku pada agama.

Karya  Newton, salah satu magnum opus saintifik, memakai kata filsafat sebagai judul:  “Prinsip Matematika pada Filsafat Alam” (Philosophiae Naturalis Principia Mathematica).Terbit pada 1687, karya ini menjadi salah satu tonggak penting perkembangan sains.. Karya “filsafat” Newton ini merevolusi pemahaman manusia pada alam semesta.

Newton akurat menghitung pergerakan planet-planet, juga gerak benda di bumi, menggunakan matematika kalkulus.  Dengan teorinya, dunia yang mekanis, Newton menganggap Tuhan tidak “ikut campur” dalam urusan dunia. Tuhan “istirahat” setelah menciptakan hukum alam. Dunia berjalan secara mekanis mengikuti hukum alam yang diciptakan Tuhan. Tidak ada lagi ruang bagi terjadinya keajaiban, karena segala sesuatu bisa diidentifikasi, diukur, dan dihitung.

Setelah menulis Principia Mathematica, Newton berprinsip “hypotheses non fingo” (jangan percaya hipotesis), sebagai kredo saintifiknya. Kredo yang memisahkan Newton dari semula occultis menjadi saintis. Hipotesis, bagi Newton, harus dibuktikan dengan eksperimen, bukan cuma diyakini. Kredo ini sejalan dengan motto The Royal Society, “nullius In verba” (jangan percaya kata-kata), lembaga saintifik pertama di Inggris yang berdiri pada 1660.

Isaac Newton, bersama Francis Bacon, John Locke, David Hume serta sejumlah filsuf penganut empirisme adalah peletak dasar bagi munculnya era Enlightenment. Era pencerahan yang mengutamakan akal dan pembuktian untuk mendapatkan penjelasan. Jika kemudian sains “berpisah jalan” dengan keyakinan agama atau pemikiran filsafat (metafisika), ini konsekuensi dari paradigma berpikir manusia yang semakin berkembang.

Proses pencarian dan akumulasi pengetahuan, untuk menjawab teka-teki, diambil alih sains. Tongkat estafet upaya mencari penjelasan atas berbagai pertanyaan misteri eksistensial berpindah dari mitologi, agama, filsafat, dan kemudian ke sains. Proses alamiah yang tak terelakkan.

Mitologi atau agama bukan sarana untuk mendapat penjelasan, karena selalu berkesimpulan: “semua terjadi atas kehendak Dewa atau Tuhan”.  Pada masanya, penjelasan agama diterima karena memberikan jawaban mudah untuk misteri yang pelik. Demikian pula dengan spekulasi filsafat yang gemar berkutak-katik secara semantik. Sains adalah satu-satunya metode untuk menjelaskan teka-teki dengan memberikan bukti.

Dalam artikel “Empati untuk Para Penafsir dan Pencari Makna” (dibukukan dalam “Sains dan Pencarian Kebenaran”, terbit 2021), saya menguraikan, sains fokus mengamati dan meneliti fenomena alam yang bisa diobservasi. Sains tidak menyentuh pemaknaan atau penafsiran, tentang dunia spiritual yang mulia, mistik atau metafisik yang abstrak. Sains tidak akan berlarut-larut dalam kebingungan imajinatif atau spekulatif. Ketika sains tidak tahu, maka akan bilang: “tidak tahu.”

Sains bukan mengabaikan hal-hal supranatural atau menganggap spekulasi tidak bermanfaat. Sains hanya tidak memiliki metode bagaimana mengobservasi keajaiban atau spekulasi. Kalau saja fenomena keajaiban terjadi berulang dan bisa ditunjukkan, sehingga bisa diidentifikasi polanya, mungkin sains bisa menyusun penjelasannya. Namun selama hal-hal supranatural cuma dikisahkan dan tidak meninggalkan jejak bukti, maka sains mustahil bisa menjelaskan. Kecuali keajaiban meninggalkan jejak, sebagaimana dinosaurus meninggalkan fosil, tentu sains bisa menjelaskan misterinya.

Namun, sains tidak menutup kemungkinan adanya “dunia yang tak teramati” (sejauh bukan fenomena yang di-anthropomorphize). Alam semesta yang bisa diamati bukan cuma bisa terlihat dengan mata telanjang. Ada sejumlah frekuensi gelombang yang tidak bisa dilihat mata, seperti sinar gamma, sinar-X, ultraviolet, infra-merah, microwave, radiowave. Indera penglihatan kita sangat terbatas spektrumnya (begitu juga indera lainnya). Manusia hanya bisa melihat cahaya pada level gelombang antara 400 – 700 nanometer.

Gelombang elektromagnetik yang tak tertangkap mata, dipancarkan oleh berbagai bintang dan galaksi, memberikan banyak data dan informasi untuk menyelidiki alam semesta (cosmos). Jika mata kita tidak mampu melihat seluruh spektrum cahaya, bagaimana cara kita mengeksplorasi semesta yang maha luas atau memahami yang maha kecil. Kita memerlukan teleskop angkasa luar super canggih, mikroskop elektron, dan persamaan matematis, untuk bisa mengidentifikasi dunia yang “tak teramati”.

Teleskop Hubble, misalnya, saat ini adalah teleskop angkasa luar terbesar dan tercanggih yang dapat melihat galaksi terjauh, mengggunakan gelombang ultraviolet.

Kemampuan teleskop Hubble telah memberi kita gambar menakjubkan penampakan galaksi, nebula, atau quasar yang sangat jauh. Kecanggihan Hubble segera akan digantikan oleh teleskop James Webb yang  lebih canggih, berbasis gelombang infra-merah.

Teleskop Webb akan mampu melihat lebih jauh dan menembus lebih dalam wilayah alam semesta yang tidak bisa dicapai Hubble. Dua teleskop ini bukan cuma meningkatkan kemampuan daya penglihatan mata kita, tapi juga menjadi “mesin waktu”. Sarana kita untuk menjelajahi alam semesta yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Dengan teleskop Webb, kita bisa melihat alam semesta saat berusia 200 juta tahun, mundur 13,5 milyar tahun, dari momen big bang 13,8 milyar tahun lalu. Kita akan mengintip era ketika berbagai bintang dan galaksi pertama kali terbentuk.

Elemen partikel atom (dunia materi) diproses di pusat bintang-bintang yang meledak (supernova). Ledakan inilah yang menginisiasi proses penciptaan dunia materi dari atom, planet, hingga manusia. Teleskop Webb membantu kita melihat, mempelajari, dan memahami asal-usul kita. Misteri bukan saja bisa terjawab, tapi bahkan terlihat,  kita saksikan, seperti kita menonton film.

Melalui sains dan teknologi, manusia kini bisa mengamati dan menyelidiki skala ukuran alam smesta dari yang maha kecil hingga maha besar. Hal yang sebelumnya sama sekali tak terbayangkan. Jika ukuran manusia sebagai patokan (10 pangkat 0), maka ukuran maha kecil adalah 10 pangkat minus 35 skala Max Planck. Quark sebagai partikel terkecil, ukurannya hanya 10  pangkat minus 19. Sedangkan untuk ukuran maha besar, alam semesta yang bisa diamati (onservable universe) adalah 10 pangkat 35. Jangkauan teleskop Hubble, misalnya, hanya seluas 10 pangkat 28.

Dengan daya jelajah sains yang sedemikian imajinatif, dalam menjangkau yang maha kecil dan maha besar, adakah batas teka-teki yang sains tidak bisa amati atau selidiki? Mungkin ada, batas itu adalah imajinasi kita sendiri. Artinya, batas imajiner itu cuma ada dalam otak manusia. Karena otak kita lah yang menafsirkan, mengidentifikasi, dan membuat kita memahami alam semesta dengan segala  peristiwa dan fenomenanya.

Teka-Teki Terbesar

Otak manusia adalah teka-teki terbesar sains. Kita belum memahami cara kerjanya, dan masih terus berdebat tentang dualisme antara otak dan pikiran (mind-body dualism). Teka-teki ini sedang terus diteliti neurosaintis. Organ tubuh seberat satu setengah kilogram, bertekstur seperti jeli, yang bisa kita genggam dalam satu tangan adalah portal untuk memasuki misteri imajinasi dan teka-teki sains.

Otak membuat manusia mampu berkontemplasi menjelajahi luasnya alam semesta dengan triliunan galaksi sekaligus menelusuri kecilnya dunia partikel atom. Otak juga lah yang berimajinasi tentang keabadian, keagungan, kemuliaan, dan kesempurnaan.

Otak juga mengatur kehidupan kita sehari-hari, dari mengamati, merencanakan, melaksanakan, memikirkan, mengingat, berbicara, bermimpi saat kita tidur, dan memaknai. Aktivitas otak lah yang memunculkan seluruh spektrum kemampuan manusia, dari karakter, kepandaian, hingga kesadaran. Otak adalah misteri terakhir yang memukau agama, spiritualitas, filsafat, dan menjadi teka-teki sains.

Kinerja otak manusia sering dianalogikan seperti sebuah komputer, namun sebenarnya lebih akurat membayangkan otak sebagai interaksi kinerja ratusan miliar super-komputer kecil. Individual neuron adalah satu komputer mini yang  memproses data dan berbagi informasi.  Ketika neurosains mampu sepenuhnya memahami cara kerja otak, bagaimana ratusan milyar sel syaraf (neuron) saling berinteraksi, maka  upaya mengungkap misteri dan teka-teki mencapai destinasi.

Neurosains adalah sains yang paling unik dan rekursif, satu-satunya ilmu yang “meneliti si peneliti”, otak meneliti dirinya sendiri untuk memahami diri (sebagaimana kosmologi adalah alam semesta  yang mempelajari diri sendiri). Dalam konteks ini, manusia dan otaknya hanyalah alat bagi alam semesta untuk memahami atau menyadari misteri eksistensinya. Upaya alam semesta untuk memahami dan menyadari “dirinya sendiri”.

Alam semesta dan kehidupan memang penuh misteri. Namun misteri bukan hanya menarik untuk diekspresikan melalui keindahan puisi, ketaatan religi, olah mistik dan meditasi, atau spekulasi filosofis. Misteri perlu dianggap sebagai teka-teki yang bisa dipecahkan. Sehingga kita tidak cuma terpukau, terpana, atau menyerah pada misteri.

Memilah misteri sebagai teka-teki adalah tugas sains. Karena tidak setiap misteri  (agama dan filsafat) layak diselidiki. Misteri yang murni berbasis story-telling atau sekadar imajinasi, seperti hikayat, legenda, folklore (misteri nenek lampir, alam jin, atau misteri dasein) cukup diapresiasi.

Konsep-konsep abstrak filsafat (metafisika) sebagian sudah bisa dijelaskan secara saintifik. Teori Relativitas menjelaskan konsep metafisis tentang waktu. Mekanika kuantum menjawab spekulasi metafisika tentang “realitas fundamental”. Biologi molekuler, DNA dan RNA adalah “metafisika’ dibalik kehidupan.

Sains adalah proses mencari jawaban yang terus berlanjut, bersinambung, dan berakumulasi. Sebuah proyek bersama umat manusia, apapun latar belakang identitas kulturalnya, untuk menyibak “selimut misteri”, dan mengungkap teka-teki. Bagaimana proses partikel subatomik membentur dan menyatu menjadi atom, menyusun molekul, membentuk sel, organ tubuh, melahirkan manusia, memicu kerja otak, hingga munculnya kesadaran.

Teka-teki alam semesta dan kehidupan perlu dipahami, bukan sekedar diterima sebagai misteri. Barangkali itulah misi manusia dengan metode sains-nya: untuk memahami asal muasal, proses penciptaan, dan (jika ada) tujuan eksistensi alam semesta.

 

Artikel ini merupakan catatan saya untuk diskusi “Percakapan Sains Dan Filsafat, 3 September 2021

 

Lukas Luwarso

Lukas Luwarso

Add comment

Ukuran Huruf