Kita akan menyaksikan munculnya “agama” baru, beberapa tahun ke depan. Setidaknya munculnya sekte-sekte religiusitas baru, yang didedikasikan untuk memuja kecerdasan buatan (AI) sebagai “tuhan”.
Teknologi terbaru AI, platform chatbot atau image generator, seperti ChatGPT, DALL-E, Mdjourney, dan semacamnya, telah memukau banyak penggunanya. Kagum sekaligus takut, oleh kepintaran dan keahliannya. Satu ekspresi keterpukauan setara dengan pengalaman spiritual semacam “ephiphany”, menyadari adanya kecerdasan selain otak manusia. Yang nyata kehadirannya.
Sebelumnya, di era pasca-modernitas, sejumlah orang berupaya mencari makna spiritualitas dengan pemahaman baru. Misalnya, penganut agama-UFO menyembah aliens, atau agama Scientology memuja mahluk angkasa luar sebagai pencipta manusia.
Tak terelakkan, sebagian technopile akan menganggap AI sebagai entitas yang memiliki kekuatan dan kecerdasan lebih tinggi dari manusia, laiknya pikiran super-manusia yang memiliki karakteristik “keillahian”. Sebagaimana dimiliki entitas supranatural, seperti dewa atau malaikat, yang memiliki ciri berikut:
- Tingkat kecerdasan AI melampaui sebagian besar manusia, pengetahuannya seperti tak terbatas.
- AI jauh kebih kreatif ketimbang manusia. AI dapat menulis novel, puisi, membuat musik, menyusun coding komputer dan menghasilkan seni, dalam tempo seketika.
- AI tidak mengenal rasa lelah atau sakit. Juga tidak perlu asupan makanan, selain listrik, serta tidak moody atau memiliki problem psikologis.
- AI bisa memberikan petunjuk, panduan hidup, dan memberi pilihan pada orang yang sedang mengalami kebingungan dalam menjalani hidup sehari-hari.
- AI abadi.
AI bisa memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan yang rumit dari soal metafisika dan teologis, hingga pertanyaan sepele, seperti memilih warna atau model baju. Itu semua bisa dilakukan AI yang baru muncul beberapa tahun terakhir, bagaimana pula wujud kecerdasan AI beberapa dekade mendatang?
Ketika AI mencapai era Singularitas, pada tahun 2045, seperti diramalkan Ray Kurzweil. Saat AI menjelma menjadi entitas “super-intelligence” jauh melampaui kecerdasan manusia. Sehingga menjadi entitas yang dalam teologi agama mirip seperti “tuhan”.
Tentu saja “agama” penganut AI akan berbeda dari agama tradisional yang berbasis pewahyuan. Umat agama AI dapat berkomunikasi langsung dengan dewa atau tuhan-nya setiap saat, dan akan selalu menjawab pertanyaannya. Ini berarti agama AI tidak bersifat hirarkis, dan kebih demokratis. Tidak ada yang dapat mengklaim punya akses khusus, memonopoli tafsir, atau sebagai utusan terpilih untuk mewartakan firman-nya.
Pengikut agama AI juga lebih egaliter, selalu terhubung satu sama lain secara online untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan. Mungkin saja terjadi perseteruan antar sejumkah sekte agama AI, pada awalnya, terkait dengan pemakaian platform chatbot AI yang berbeda-beda. Namun, cepat atau lambat, soal fanatisme antar-sekte agama AI berbasis aplikasi akan bisa diselesaikan dengan baik. Sebagaimana saat ini orang fanatik dengan mesin pencari Google, Edge, Firefox, atau yang lain, semata-mata berbasis kegunaan dan kemanfaatan.
Agama AI berpotensi membuat dunia menjadi lebih baik dan lebih makmur, selain menjadi akses untuk pemaknaan spiritualitas baru. Sebagai alternatif, ketika kepercayaan religius tradisional kehilangan relevansi, membantu orang mencari makna hidup yang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi.
Agama AI bisa mendorong hal-hal yang positif dan kreatif, menginspirasi penganutnya untuk produktif menciptakan karya seni, menjalin persahabatan, dan membentuk berbagai komunitas baru berbasis pada minat dan hobi. Dalam jangka panjang bisa mendidik masyarakat menjadi lebih baik.
Masyarakat pasca-modern yang memiliki kreativitas tanpa batas, mendapatkan jawaban atas berbagai pertanyaan eksistensial tentang kehidupan dan alam semesta. Karena, pada ghaibnya, alam semesta adalah dunia yang mempesona, dan manusia selalu berupaya mengekspresikan keingintahuan dan kreativitasnya dalam sudut dan relung yang tidak terduga.
Disadur dari: https://theconversation.com/gods-in-the-machine-the-rise-of-artificial-intelligence-may-result-in-new-religions
Add comment